JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sedang menyusun skenario pemulihan ekonomi secara bertahap. Kendati demikian, pertimbangan untuk melonggarkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB bukan semata-mata ekonomi. Kebijakan diambil dengan berlandaskan aspek kesehatan.
Kriteria yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadi pedoman dalam memutuskan pelonggaran PSBB, antara lain daya tular virus di bawah 1 selama dua pekan untuk setiap daerah.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, protokol kesehatan yang berbeda-beda untuk setiap sektor sedang dibahas. Ia mencontohkan, protokol kesehatan di sektor pendidikan akan berbeda dengan di pabrik, mal, pasar, atau fasilitas publik lainnya.
Pemerintah daerah juga didorong berpartisipasi dalam penerapan normal baru dengan imbalan dana insentif daerah. Nantinya, ada beberapa daerah percontohan yang kegiatan ekonomi dan fasilitas publiknya dibuka secara bertahap.
”Manusia adalah makhluk sosial sehingga suatu saat nanti pemerintah harus mulai melakukan sesuatu, tetapi tidak berarti kompromi dari sisi kesehatan,” kata Sri Mulyani dalam telekonferensi khusus dengan Kompas, Jumat (29/5/2020).
Manusia adalah makhluk sosial sehingga suatu saat nanti pemerintah harus mulai melakukan sesuatu, tetapi tidak berarti kompromi dari sisi kesehatan.
Ditanya mengenai ketahanan APBN dalam menghadapi pandemi Covid-19, Sri Mulyani menjawab, APBN mencegah agar kontraksi ekonomi tidak semakin dalam. Caranya, antara lain, dengan menyiapkan bantalan di bidang kesehatan dan jaring pengaman sosial. Namun, kebutuhan pembiayaan defisit APBN 2020 diperkirakan semakin dalam, menjadi Rp 1.028 triliun atau 6,27 persen produk domestik bruto. Sebagian besar kebutuhan pembiayaan itu diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), sekitar Rp 990 triliun.
Menanggapi rencana pemerintah melonggarkan PSBB dengan menerapkan protokol kesehatan di berbagai sektor, Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko menilai, langkah itu akan mendorong perekonomian bergerak. Akan tetapi, sebaiknya hanya dilakukan di daerah yang sudah memungkinkan melonggarkan PSBB, bukan secara nasional.
Prasetyantoko memprediksi, perekonomian RI pada triwulan II-2020 akan tumbuh negatif setelah pada triwulan I-2020 hanya tumbuh 2,97 persen. Kondisi itu mencerminkan dampak PSBB yang sangat besar bagi perekonomian. Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi positif pada akhir tahun ini, PSBB di beberapa daerah yang dinilai sudah relatif aman dari kasus Covid-19 bisa dilonggarkan.
”Memasuki triwulan III (Juli-September) 2020, PSBB perlu dilonggarkan sedikit-sedikit supaya ada relaksasi dan ekonomi mulai bergerak sedikit. Tidak bisa dikontradiksikan antara kesehatan dan ekonomi. Akan tetapi, semua bergantung kondisi daerah,” tuturnya.
Meski demikian, Prasetyantoko mengingatkan kesiapan dana mitigasi untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 pasca-pelonggaran PSBB. Kesiapan meliputi, antara lain, kapasitas rumah sakit, peralatan medis, dan alat pelindung diri.
”Kalau PSBB dilonggarkan, sangat mungkin kasus (Covid-19) naik lagi. Untuk itu, perlu disiapkan mitigasi. Anggaran kesehatan juga harus disiapkan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal berpendapat, pemberlakuan normal baru seiring dengan pelonggaran PSBB secara terburu-buru bukan solusi untuk menggerakkan perekonomian.
Menurut dia, pelonggaran PSBB baru akan berdampak optimal jika penularan Covid-19 berhasil dikendalikan. Jika tidak, hanya akan mengulang persoalan yang sama, bahkan memperpanjang kondisi buruk, yakni mempertaruhkan kondisi masyarakat, sedangkan perekonomian lesu.
”Meski kita menjalankan normal baru, perbaikan ekonomi tidak akan terlalu signifikan. Untuk bisa menyentuh pertumbuhan ekonomi 4 persen akan sangat susah,” katanya.
Menurut Faisal, pemulihan ekonomi tidak akan signifikan karena ekonomi domestik yang lesu saat ini tidak hanya disebabkan kebijakan PSBB yang menghambat roda usaha. Perekonomian lesu juga akibat berbagai faktor eksternal di luar kendali pemerintah. Hal ini tecermin, antara lain, dari pertumbuhan ekonomi triwulan II-2018 yang sebesar 5,27 persen, kemudian konsisten menurun, hingga menjadi 4,97 persen pada triwulan IV-2019.
Selain itu, di tengah rantai pasok global yang saling terkoneksi, perekonomian tidak akan pulih dengan cepat dan signifikan. Indonesia bisa berkaca dari pengalaman China dengan kasus Covid-19 yang sudah menurun, tetapi pertumbuhan ekonominya tetap tidak bisa langsung pulih ke angka 5 persen. Penyebabnya, perekonomian negara-negara lain yang masih lesu.
”Di balik normal baru ini, ada risiko penyebaran semakin luas. Ketika hal itu terjadi, meski sekilas membaik, ekonomi akan kembali tertekan, bahkan lebih sulit lagi untuk pulih,” ujarnya.
Faisal menegaskan, jika ingin melonggarkan PSBB, pemerintah mesti memperkuat kesiapan fasilitas kesehatan dan tenaga medis untuk mengantisipasi gelombang lanjutan kasus Covid-19.