PSBB Dilonggarkan, Siapkan Antisipasi Lonjakan Kasus Covid-19
Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar berisiko menimbulkan lonjakan kasus Covid-19. Risiko ini mesti diantisipasi dengan penyediaan dana dan sarana kesehatan yang memadai.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini/Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan relaksasi pembatasan sosial berskala besar akan mendorong pergerakan ekonomi. Namun, pelonggaran PSBB sebaiknya hanya diterapkan di daerah yang memungkinkan, tidak harus secara nasional.
Selain itu, perlu ada skala prioritas terhadap aktivitas kegiatan usaha yang diperluas. Kegiatan usaha yang diutamakan antara lain terkait mata rantai pangan, usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM, serta produksi dan manufaktur yang menjadi penyangga dan terkait layanan kebutuhan dasar.
Adapun kegiatan terkait hiburan dan wisata sebaiknya tetap ditunda sambil melihat perkembangan kasus Covid-19.
Saran itu disampaikan Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko menanggapi rencana pemerintah melonggarkan PSBB. Namun, ia mengingatkan pemerintah agar menyiapkan dana untuk mitigasi dan mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 berulang setelah PSBB dilonggarkan. Sarana yang harus disiapkan, antara lain, kapasitas rumah sakit, tenaga medis, peralatan medis, dan alat pelindung diri.
”Kalau PSBB dilonggarkan, sangat mungkin kasus (Covid-19) naik lagi. Untuk itu, perlu disiapkan mitigasi dan anggaran kesehatan,” ujarnya.
Prasetyantoko memprediksi perekonomian Indonesia pada triwulan II-2020 tumbuh negatif setelah pada triwulan I-2020 hanya tumbuh 2,97 persen. Dampak PSBB dinilai sangat berat bagi ekonomi. Untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi sampai akhir tahun 2020 bisa tetap positif, PSBB perlu dilonggarkan di beberapa daerah yang dinilai sudah relatif aman dari kasus Covid-19.
”Memasuki triwulan III-2020, PSBB perlu dilonggarkan sedikit-sedikit supaya ada relaksasi dan ekonomi mulai bergerak sedikit. Tidak bisa dikontradiksikan antara kesehatan dan ekonomi. Akan tetapi, semua bergantung kondisi daerah,” katanya di Jakarta, Jumat (29/5/2020).
Namun, Prasetyantoko menyebutkan, kondisi normal baru pasca-pandemi Covid-19 akan membuat kegiatan usaha tidak bisa mencapai tingkat keuntungan seperti sebelumnya. Dunia usaha akan menghadapi penambahan biaya, tetapi pendapatan berkurang. Meski demikian, era normalan baru akan membuka peluang untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi positif.
”Relaksasi akan berdampak lebih baik ketimbang tidak ada relaksasi,” ujarnya.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI pada tahun ini berkisar 2,3 persen pada kondisi berat dan -0,4 persen pada kondisi sangat berat. Dampak ekonomi paling berat akibat pandemi Covid-19 akan dirasakan pada triwulan II dan III tahun ini, kemudian kondisi ekonomi diharapkan membaik pada triwulan IV-2020.
Dalam wawancara dengan Kompas, Jumat (29/5/2020), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, jika pertumbuhan ekonomi RI dalam dua bulan berturut-turut, pada triwulan II dan III, negatif, Indonesia sudah masuk dalam kondisi resesi. Namun, diharapkan, kondisi ekonomi segera pulih memasuki triwulan IV atau Oktober 2020.
Jangan terburu-buru
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal saat dihubungi di Jakarta, Jumat (29/5/2020), mengatakan, kondisi perekonomian saat ini sedang terpuruk. Pada triwulan I-2020, ketika Covid-19 baru merebak di Indonesia dan pembatasan sosial berskala besar belum diterapkan, pertumbuhan ekonomi nasional hanya mencapai 2,97 persen. Memasuki triwulan II-2020, dengan kondisi PSBB yang sudah berlaku selama dua bulan, pertumbuhan ekonomi diprediksi bisa menyentuh angka nol, bahkan minus.
Meski demikian, menurut Faisal, membuka kembali ekonomi lewat penerapan normal baru secara terburu-buru bukanlah solusi. Pelonggaran PSBB baru bisa berdampak optimal jika diterapkan setelah penularan Covid-19 mampu dikendalikan. Jika tidak, hanya akan mengulang persoalan yang sama, bahkan memperpanjang kondisi buruk, yakni kesehatan masyarakat dipertaruhkan, sedangkan perekonomian tetap lesu.
”Meskipun kita menjalankan normal baru, perbaikan ekonominya tidak akan terlalu signifikan. Apalagi, untuk bisa menyentuh angka pertumbuhan ekonomi 4 persen sangat susah,” katanya.
Menurut Faisal, pemulihan ekonomi tidak akan signifikan karena perekonomian nasional yang lesu saat ini tidak hanya disebabkan kebijakan PSBB yang menghambat pergerakan roda usaha. Ada gabungan berbagai macam faktor eksternal yang berada di luar kendali pemerintah.
Pertama, sebelum pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi memang sudah melambat. Perekonomian domestik sudah tertekan akibat perlambatan permintaan domestik dan faktor kondisi ekonomi global yang lesu. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2018 yang sebesar 5,27 persen, turun terus hingga menyentuh 4,97 persen pada triwulan IV-2019.
Kedua, di tengah rantai pasokan global yang saling terkoneksi, ekonomi tidak akan pulih dengan cepat dan signifikan karena faktor perekonomian global memengaruhi ekspor-impor dan investasi. Indonesia bisa berkaca dari pengalaman China, yang sudah mencatat penurunan kasus Covid-19, tetapi pertumbuhan ekonominya tetap tidak bisa langsung pulih ke angka 5 persen karena kondisi ekonomi negara-negara lain masih lesu.
Ketiga, selama wabah belum diberantas, meskipun masyarakat menjalankan kehidupan normal baru, aktivitas ekonomi dan produksi tidak bisa benar-benar kembali ke situasi normal. Apalagi, ditambah faktor disrupsi pada rantai pasokan global yang juga mengganggu suplai bahan baku untuk produksi dan mendorong ekspor.
”Selama masih ada pandemi Covid-19, pelaku usaha akan tetap khawatir dan menahan diri sehingga roda ekonomi tetap tidak bisa mencapai potensi penuh,” ujar Faisal.
Lebih lanjut, Faisal menyampaikan, penerapan normal baru secara terburu-buru tanpa memperhatikan prasyarat kesehatan akan berdampak lebih buruk terhadap perekonomian dan membahayakan kesehatan masyarakat. ”Di balik normal baru ini ada risiko penyebaran semakin luas. Ketika hal itu terjadi, meski sekilas membaik, ekonomi akan kembali tertekan, bahkan lebih sulit lagi untuk pulih,” kata Faisal.
Selama masih ada pandemi Covid-19, pelaku usaha akan tetap khawatir dan menahan diri,
Menurut Faisal, jika ingin menerapkan normal baru, pemerintah seharusnya memperkuat kesiapan fasilitas kesehatan dan tenaga medis untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19. Namun, sejauh ini, rumah sakit dan fasilitas kesehatan masih kewalahan menangani kasus Covid-19 yang terus bertambah.