Sektor industri baja juga kena dampak pandemi Covid-19. Permintaan dari dalam negeri anjlok. Namun, industri tetap diminta mencari peluang agar dapat dimanfaatkan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri baja ikut terkena pukulan keras dari dampak pandemi Covid-19. Permintaan dari dalam negeri anjlok 90 persen dibandingkan dengan kondisi normal.
Agar bisa bertahan menghadapi krisis seperti saat ini, pelaku industri baja diminta lebih kreatif mencari peluang, antara lain menyuplai bahan baku untuk industri farmasi.
Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin dalam diskusi virtual ”Steel Industry Roundtable” yang diadakan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Rabu (20/5/2020), mengatakan, meskipun industri baja ikut terdampak pandemi, efisiensi dan produktivitas industri baja lokal tetap bisa dibangun dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada.
Disrupsi pandemi pada rantai perdagangan global membuat struktur perdagangan di masa mendatang akan bergeser. Sudah banyak negara, termasuk Indonesia, yang berpikir bahwa ekonomi tidak boleh terlalu bergantung pada suplai atau produksi dari luar negeri, tetapi kembali lagi ke dalam negeri. Dengan kata lain, pandemi ini sebenarnya membawa peluang penguatan industri dalam negeri.
”Kita bisa membangun industri dalam negeri lebih kuat agar ke depan kalau ada pandemi seperti ini lagi kita bisa kuat menghadapinya,” kata Budi.
Menurut Budi, pelaku industri harus kreatif mencari peluang di balik krisis. Industri baja bisa menutup kebutuhan bahan baku untuk beberapa sektor lain, seperti farmasi. Selama ini, sektor farmasi masih mengimpor bahan baku dari negara lain. Padahal, salah satu bahan baku untuk jarum suntik adalah baja, yang seharusnya bisa disuplai pemain industri dalam negeri.
”Industri baja ini sangat kompetitif secara global, maka pemain dalam negeri seharusnya berusaha seefisien mungkin. Ada kesempatan di pasar dalam negeri asalkan pebisnis Indonesia jeli melihat perubahan yang sedang terjadi,” ujarnya.
Selama ini, industri farmasi bukan konsumen terbesar industri baja. Industri baja lebih banyak menyuplai bahan baku ke industri konstruksi dan otomotif, yang saat ini juga tengah terpukul. Namun, ujar Budi, kesempatan apa pun yang ada saat ini bisa membalikkan keadaan. Peluang bisnis dari memasok bahan baku jarum suntik terhitung menjanjikan.
Budi, yang bertugas menangani rumah sakit BUMN selama pandemi Covid-19 mengatakan, rata-rata kebutuhan jarum suntik di Indonesia 2 jarum per kapita, sedangkan di negara maju biasanya 10-12 jarum per kapita. Selama pandemi, rata-rata kebutuhan jarum suntik akan terus meningkat.
”Kalau dihitung kasar dikali 250 juta penduduk Indonesia, bisa ada miliaran kebutuhan jarum suntik dari baja,” kata Budi.
Budi mencontohkan, salah satu perusahaan BUMN kecil di bidang tekstil yang dinilai mampu mencari peluang adalah PT Industri Sandang Nusantara. ”Mereka BUMN susah, tetapi di tengah pandemi ini bisa membuat masker dengan desain personalized. Pesannya adalah setiap ada bencana, meski ada bahaya, ada juga kesempatan,” kata Budi.
Menurut Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim, industri baja memang mengalami pukulan cukup keras. Tingkat permintaan baja di dalam negeri menurun drastis selama pandemi dan bulan Ramadhan. Pada periode Maret-April 2020, penurunan permintaan baja mencapai 50 persen. Memasuki bulan Ramadhan, kondisi semakin buruk dan permintaan jatuh hingga 80-90 persen dari kondisi normal.
Regulasi dan relaksasi
Presiden Direktur Sunrise Steel Henry Setiawan mengatakan, pabriknya yang menyuplai bahan baku untuk atap, plafon, dan genteng metal mengalami penurunan permintaan yang signifikan. Pada Maret 2020, permintaan masih normal. Memasuki April, mulai berkurang 30 persen. Selanjutnya, pada Mei, penurunan lebih dalam, hingga 60-70 persen.
”Kami berharap pada Juni, permintaan bisa kembali seperti April. Artinya terjadi penurunan tidak apa-apa, tetapi tetap 30 persen dari kondisi normal,” katanya.
Ia mengatakan, pelaku industri tetap terus mencari peluang lain. Namun, pengusaha baja juga membutuhkan dukungan berupa pembenahan regulasi, seperti kebijakan post border untuk menurunkan biaya logistik sekaligus mengawasi arus impor. Selama ini, industri baja dalam negeri kerap kalah saing dengan baja hasil impor. ”Hal ini penting agar ekonomi juga bisa lebih terjaga dengan impor yang dikendalikan,” katanya.
Sejumlah pengusaha baja juga meminta dukungan relaksasi harga energi, khususnya gas dan listrik. Henry menyampaikan, pelaku industri baja masih menunggu realisasi janji pemerintah menurunkan harga gas menjadi 6 dollar AS per MMBTU (juta metrik british thermal unit).
Kebijakan itu telah ditandatagani Menteri ESDM Arifin Tasrif pada Maret 2020 lewat Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Harga gas sebesar itu diperuntukkan bagi tujuh golongan industri, yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.