Hal ini antara lain dipicu oleh Organisasi Kesehatan Dunia yang semula memprediksi tingkat kematian di dunia akibat penyakit Covid-19 hanya sekitar 2 persen menjadi 3,4 persen. Bahkan kini tingkat kematian di dunia akibat Covid-19 sudah di atas 4 persen. Sebuah survei untuk mengetahui tingkat kecemasan kemudian dilakukan oleh University of Chicago Booth School of Business terhadap IGM Economic Experts Panel pada awal Maret 2020.
Pandemi Covid-19 akan mengganggu keseimbangan permintaan dan persediaan barang.
Survei melibatkan 36 orang panel ahli dari Amerika dan 38 orang panel ahli dari Eropa. Terhadap pernyataan pandemi virus korona akan mengakibatkan resesi besar, 19 persen panel ahli dari AS menyatakan sangat setuju, 44 persen setuju, 31 persen menyatakan tidak pasti, dan hanya 8 persen yang tidak setuju.
Sementara pada panel ahli dari Eropa, 48 persen menyatakan sangat setuju, 34 persen setuju, 13 persen tidak pasti, dan 4 persen tidak setuju. Jawaban ini menunjukkan kecemasan akan resesi ekonomi lebih banyak dari Eropa. Hal ini pun cukup beralasan karena berdasarkan data Worldometers per 24 Maret 2020 pukul 14.58, dari 25 negara yang jumlah kasus positif Covid-19-nya di atas 1.000 jiwa, 60 persennya dari Eropa.
Dari total 396.236 kasus positif per hari itu (dari 196 negara), sebanyak 192.102 kasus atau 48 persen terjadi di Eropa. Porsi terbesar kematian, yakni 10.466 kasus, terjadi di Eropa, setara dengan 61 persen dari total kematian akibat Covid-19.
Karl Whelan dari University College Dublin, yang memberikan angka 8 (strongly agree) bahwa perekonomian dunia akan resesi, menyatakan pandemi akan mengganggu keseimbangan permintaan dan persediaan barang. Hal ini berarti sulit untuk tidak melihat produk domestik bruto (PDB) suatu negara akan turun secara signifikan.
Baca juga: Cinta Sejati di Tengah Wabah Covid-19
Namun, menurut Charles Wyplosz dari The Graduate Institute Geneva yang tidak begitu yakin resesi akan terjadi (ia memberikan angka 5/uncertain), semua itu bergantung pada lamanya pandemi. Pendapat yang lebih ekstrem disampaikan Jean-Pierre Danthine dari Paris School of Economics (ia memberikan angka 4/uncertain).
Menurut dia, mungkin saja pertumbuhan ekonomi akan negatif selama dua triwulan, tetapi belum tentu akan terjadi resesi besar. Hal itu tergantung bagaimana pemerintah negara-negara menerapkan kebijakan mengatasi virus korona baru ini.
Saham terpukul
Apabila diamati, dalam tiga bulan terakhir, dari tujuh bursa saham utama yang dicermati, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tergolong turun dalam. Dari 6.299,54 pada 30 Desember 2019, menjadi 4.338,90 pada 26 Maret 2020.
IHSG meski tren perdagangan sahamnya menurun, pada awal Maret 2020 sempat terdongkrak menjadi 5.650,14 jika dibandingkan dengan akhir Februari 2020 yang berada pada angka 5.452,70. Penguatan ini agaknya terjadi karena pasar mengapresiasi langkah pemerintah yang mulai tanggap menangani penyebaran virus korona baru di Tanah Air.
Baca juga: Asa Baru Kembali ke Jamu
Namun, sayangnya, penguatan tersebut tidak berlangsung lama, IHSG kembali menurun hingga ke titik terendah pada 24 Maret 2020. Tren penurunan IHSG ini agak berbeda dengan pergerakan nilai tukar rupiah.
Berdasarkan data Bank Indonesia, nilai tukar rupiah sejak akhir tahun sempat menguat selama hampir satu bulan. Jika pada 31 Desember 2019 nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada pada angka Rp 13.901, pada 27 Januari 2020 menguat hingga mencapai angka tertingginya, yaitu Rp 13.612.
Terkoreksi 2,08 persen. Namun, setelah itu kurs perlahan melemah. Tepat satu bulan setelah penguatan tertinggi tersebut, kurs kembali menyentuh angka Rp 14.000 dan terus meroket. Pada 27 Februari 2020, nilai kurs rupiah tercatat Rp 14.018 terhadap dollar AS. Hingga 23 Maret 2020, kurs rupiah anjlok 18,5 persen menjadi Rp 16.608 per dollar AS.
Pemburukan tersebut terjadi ketika angka kasus pasien positif terkena Covid-19 di Indonesia meningkat, begitu pula dengan kematian yang terjadi. Pada 26 Maret 2020, pemerintah mengumumkan kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 893 orang dengan jumlah kematian 78 orang.
Harga minyak mentah
Selain mengganggu pergerakan saham dunia, virus korona baru juga mengoreksi harga minyak mentah. Permintaan minyak mentah dunia yang melemah akibat perekonomian terganggu penyebaran virus korona telah memperburuk harga minyak yang sebelumnya terus menurun akibat perang minyak antara Rusia dan Arab Saudi.
Harga minyak mentah dunia, baik WTI Crude Oil maupun Brent Crude Oil, stabil di kisaran 50-60 dollar AS per barel selama 2019. Namun, sejak memasuki tahun 2020, harga minyak dunia perlahan turun. Harga minyak WTI, misalnya, pada 6 Januari 2020 masih bertengger pada angka 63,27 dollar AS per barel.
Namun, pada 4 Februari turun cukup drastis sebesar 21,6 persen menjadi 49,61 dollar AS per barel. Harga tersebut terus menurun dalam sebulan sebesar 37,3 persen menjadi 31,13 dollar AS per barel pada 9 Maret 2020.Minyak mentah mencapai harga terendahnya pada 18 Maret 2020, yakni 20,37 dollar AS per barel atau turun lagi 34,6 persen dalam waktu sembilan hari.
Praktis, sejak awal tahun hingga titik terendah pada 18 Maret 2020, harga minyak mentah dunia turun 67,8 persen. Penurunan ini bisa dikatakan yang terburuk sejak tahun 1991 ketika Perang Teluk berkecamuk di Timur Tengah. Bagi Indonesia, penurunan harga minyak ini di satu sisi bisa berdampak positif terhadap neraca perdagangan. Defisit transaksi berjalan akan mengecil.
Namun, di sisi lain, bisa berdampak negatif terhadap penerimaan pemerintah. Akibatnya, defisit anggaran akan melebar. Sebaliknya bagi China, yang merupakan net-importir minyak terbesar di dunia, dengan harga minyak yang lebih rendah, bahkan mendapat diskon dari Pemerintah Arab Saudi sebesar 6-7 dollar AS per barel, China menjadi negara yang sangat diuntungkan, terutama terkait posisi neraca perdagangannya. (LITBANG KOMPAS)