Demi mengantisipasi penularan Covid-19, PLN mengurangi interaksi petugas pencatat meteran listrik pelanggan dengan cara menghitung tagihan listrik secara rata-rata. Usulan pemberian insentif tarif juga diwacanakan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mempermudah penghitungan tagihan listrik pelanggan pascabayar selama masa siaga Covid-19. Tagihan pelanggan untuk periode pembayaran April 2020 diambil dari rata-rata pemakaian daya listrik selama tiga bulan sebelumnya. Cara ini untuk mengurangi kunjungan petugas pencatat meteran pelanggan listrik dari rumah ke rumah.
Senior Executive Vice President Departemen Bisnis dan Pelayanan Pelanggan PLN Yuddy Setyo Wocaksono menyatakan, untuk pembayaran tagihan listrik bulan Maret, dasar penghitungan yang dipakai adalah rata-rata pemakaian listrik bulan Desember 2019 serta Januari dan Februari 2020. Kebijakan ini, selain tak merepotkan pelanggan yang harus berinteraksi dengan petugas pencatat, sebagai dukungan terhadap pencegahan penyebaran wabah Covid-19.
”Dalam usaha mendukung pencegahan penyebaran wabah virus, pencatatan dan pemeriksaan meteran listrik pelanggan ditangguhkan sementara waktu. Ini untuk mengurangi interaksi petugas kami dengan pelanggan di rumah,” ujar Yuddi dalam keterangan pers, Kamis (26/3/2020).
Pencatatan dan pemeriksaan meteran listrik pelanggan ditangguhkan sementara waktu.
Apabila masih ada pelanggan yang melaporkan ketidaksesuaian pencatatan penggunaan listrik, hal itu akan diperhitungkan pada pembayaran tagihan di bulan berikutnya. Menurut PLN, kebijakan ini tidak merugikan pelanggan. Pengaduan juga bisa disampaikan secara langsung melalui saluran pusat panggilan PLN di nomor 123.
PLN juga mengimbau pelanggan untuk membayar tagihan secara daring tanpa harus mendatangi kantor layanan. Dengan demikian, interaksi pelanggan dengan petugas di lapangan bisa berkurang. PLN sudah bekerja sama dengan beberapa pihak ketiga untuk pembayaran tagihan listrik pelanggan, seperti Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, atau melalui perbankan daring.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, pihaknya sudah mengusulkan pemberian insentif bagi pelanggan listrik rumah tangga golongan 450 volt ampere dan 900 volt ampere yang tidak mampu. Insentif tersebut berupa penggratisan tarif listrik untuk pemakaian 50 kilowatt jam (kWh) pertama.
”Mengapa batasannya 50 kWh? Dari berbagai penelitian, konsumsi listrik dalam kewajaran bagi rumah tangga miskin atau tidak mampu sebesar 40 kWh sampai 60 kWh per bulannya. Jadi, negara harus menjamin hak energi kelompok tersebut,” kata Fabby.
Wabah Covid-19 yang sudah melemahkan aktivitas ekonomi global menyebabkan penghasilan harian mereka terganggu dan berpotensi kesulitan membayar tagihan listrik.
Menurut Fabby, masyarakat golongan tersebut adalah salah satu golongan yang terdampak wabah Covid-19. Sebagian besar dari mereka adalah bukan pekerja tetap yang mendapat upah rutin setiap bulan. Wabah Covid-19 yang sudah melemahkan aktivitas ekonomi global menyebabkan penghasilan harian mereka terganggu dan berpotensi kesulitan membayar tagihan listrik.
”Kami menghitung kalau pembebasan tarif untuk pemakaian 50 kWh pertama per rumah tangga, dengan hitungan tarif listrik sekarang, maka diperlukan penambahan subsidi atau kompensasi kepada PLN sebesar Rp 2,2 triliun hingga Rp 2,3 triliun per bulan,” kata Fabby.
Data PLN hingga 2019, jumlah pelanggan listrik PLN mencapai 74,92 juta pelanggan. Dari 38 golongan tarif pelanggan PLN, sebanyak 25 golongan adalah penerima subsidi listrik. Golongan terbesar penerima subsidi listrik adalah rumah tangga 450 VA sebanyak 27,95 juta pelanggan. Berikutnya adalah rumah tangga 900 VA tak mampu sebanyak 8,04 juta pelanggan.
Dalam delapan tahun terakhir, pemerintah berhasil menekan angka subsidi listrik lewat verifikasi data pelanggan. Selama kurun 2011-2014, angka subsidi listrik berkisar dari Rp 93 triliun hingga Rp 103 triliun. Sejak 2015 hingga 2018, anggaran subsidi berhasil ditekan menjadi Rp 45 triliun hingga Rp 56 triliun.