Importasi slag baja dan scrap besi akan direlaksasi untuk menopang bahan baku industri dalam negeri. Industri baja nasional semestinya bisa menyuplai sampai 70 persen, tetapi rata-rata utilisasinya kini baru 50 persen.
Oleh
·4 menit baca
Jakarta, Kompas – Pemerintah akan memperlunak pengaturan impor scrap logam serta slag baja. Selain itu, sejumlah langkah akan ditempuh untuk mendorong industri besi dan baja nasional.
Presiden Joko Widodo menginginkan pengendalian impor besi baja dan peningkatan utilitas pabrik baja dalam negeri. Presiden meminta para menteri mengerjakan tiga hal, yakni, pertama, memperbaiki ekosistem penyediaan bahan baku industri besi dan baja, baik soal ketersediaan maupun stabilitas harganya.
Kedua, para menteri diminta segera menerapkan harga gas industri sesuai Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, yakni 6 dollar AS per juta British thermal unit (mmbtu). Ketiga, para menteri diminta memanfaatkan kebijakan nontarif, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI), untuk mendorong industri besi baja dalam negeri dan melindungi konsumen.
Ketiga pesan itu ditegaskan Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas terkait ketersediaan bahan baku industri baja dan besi di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Rapat dihadiri antara lain Wakil Presiden Ma\'ruf Amin, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri ESDM Arifin Tasrif, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Sejauh ini, menurut Agus, utilisasi industri besi baja nasional rata-rata 50 persen. Sebab, pabrik-pabrik ini belum mampu berkompetisi dengan produk-produk baja dari luar negeri, terutama di sisi harga. Namun, ada beberapa produk yang juga tertinggal di sisi kualitasnya.
Industri baja nasional semestinya bisa menyuplai sampai 70 persen kebutuhan dalam negeri. Namun, kata Agus, saat ini kapasitas yang terpakai baru 40 persen. Oleh karena itu, bila utilisasi pabrik bisa ditingkatkan, industri hilir bisa menyerap industri dalam negeri, ketergantungan impor bahan baku bisa dikurangi.
Untuk mendorong utilisasi industri besi baja nasional diperlukan pemutakhiran teknologi. Apalagi, kata Agus, Menteri Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) juga menyebutkan, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi pasir besi dengan cadangan sangat besar di pantai Jawa. Namun, semua belum diolah karena masalah teknologi.
Selain itu, untuk menurunkan impor produk besi baja yang membanjiri Indonesia, pemerintah akan mendorong kebijakan yang terkait dengan bea masuk antidumping dan kebijakan SNI. SNI ini akan dirumuskan dengan baik.
Importasi slag baja dan scrap besi juga akan direlaksasi. Slag baja, kata Agus, tak lagi perlu dianggap sebagai limbah, tetapi bisa digunakan sebagai bahan baku untuk menopang circular economy. Di Uni Eropa dan Jepang, slag baja digunakan untuk pemrosesan ulang (reprocessing), bisa juga digunakan sebagai bahan baku untuk menopang atau mendukung circular economy.
“Hanya ada dua negara dunia yang melihat slag sebagai limbah, Indonesia dan Belgia. Belgia sendiri sudah tidak ada industrinya dan berdasarkan assesment dari EPA disebutkan bahwa iron and steelmaking slags adalah nonhazardous artinya tidak membahayakan,” tuturnya.
Impor scrap logam juga akan direlaksasi. Kebutuhan Indonesia akan scrap logam untuk mendukung produksi bilet adalah empat juta ton per tahun. Namun, saat ini Indonesia masih mengimpor bilet yang harganya 100 dollar AS lebih mahal ketimbang bilet yang diproduksi di dalam negeri. Bila tidak diproduksi di dalam negeri, Indonesia akan kembali defisit hanya dari bilet ini sebesar 400 juta dollar AS per tahun.
Relaksasi aturan scrap dan slag ini, kata Airlangga, akan mereplikasi yang diterapkan pada industri nikel. Adapun penurunan harga gas industri akan segera dibahas dan diputuskan Menteri ESDM dalam waktu dekat.
Para pelaku industri besi baja Indonesia sebelumnya berharap pemerintah memperbaiki kebijakan regulasi impor baja. Sebab, impor baja menyumbang defisit neraca perdagangan nasional. BPS mencatat, pada 2018, besi dan baja adalah komoditas impor terbesar ketiga, yakni sebesar 6,45 persen dari total impor dengan nilai 10,25 miliar dollar AS.
Volume impor baja tahun 2018 mencapai 6,3 juta ton atau naik 6,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sampai September 2019, importasi baja sudah mencapai 5 juta ton dan diperkirakan meningkat 7,5 persen dari total impor 2019, yaitu 6,7 juta ton.
Tingginya volume impor ini, menurut Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Silmy Karim pada 28 Januari lalu, disebabkan oleh banyaknya pelaku impor yang memanfaatkan celah untuk menghindari biaya masuk (antidumping). Selain itu, impor didukung banyak negara yang melakukan pemotongan pajak ekspor (tax rebate). Akibatnya, harga baja dari luar negeri lebih rendah (Kompas.id 28 Januari 2020).
Di sisi lain, Kementerian LHK mengusulkan supaya impuritas atau toleransi pengotor bahan baku industri besi dan baja 2 persen saja seperti berlaku di Uni Eropa. impuritas ini diharap bisa terus diturunkan sampai 0 persen dalam jangka waktu tertentu. Namun, terlalu ketatnya aturan ini dinilai menyulitkan industri besi baja.
Presiden Joko Widodo pun meminta supaya regulasi importasi skrap ini tetap memerhatikan aspek lingkungan hidup. Bahan baku dari hasil tambang nasional juga harus diprioritaskan. Sebab, ini akan menaikkan nilai tambah, mengurangi impor, serta membuka lapangan kerja.