Belum usai perang dagang AS-China, dua persoalan geopolitik muncul, yaitu ketegangan AS-Iran dan Indonesia-China. Kedua hal itu berpotensi memperlambat akselerasi menumbuhkan ekonomi domestik Indonesia.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Belum usai perang dagang Amerika Serikat (AS)-China, dua persoalan geopolitik muncul. China, partner dagang terbesar Indonesia dan rekan investasi pembangunan infrastruktur kereta cepat Jakarta-Bandung, berulah. Sebanyak 30 kapal nelayan China yang dikawal tiga kapal penjaga pantai China memasuki zona ekonomi eksklusif Indonesia di perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Berapa hari sebelumnya, ketegangan AS-Iran meningkat pasca-terbunuhnya Mayor Jenderal Qassem Soleimani, orang terkuat kedua setelah pemimpin tertinggi Iran. Peristiwa itu turut menambah ketidakpastian ekonomi global karena memicu kenaikan harga minyak mentah dunia.
Awal pekan ini harga minyak mentah dunia, Brent dan West Texas Intermediate (WTI), meningkat 2-3 persen dari pekan lalu. Per Senin (6/1/2020), harga minyak mentah Brent 70,75 dollar AS per barel dan WTI 64,04 dollar AS per barel.
Ketegangan Indonesia-China berpotensi memengaruhi perdagangan kedua negara. Selama ini Indonesia selalu mengalami defisit neraca perdagangan dengan China. Pada Januari-November 2019, defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap China 16,96 miliar dollar AS.
Di samping itu, Indonesia bersama negara-negara anggota ASEAN yang lain dan China tengah menuntaskan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). Ketegangan geopolitik dengan China berpotensi mewarnai upaya-upaya penyelesaian perjanjian yang digadang-gadang menjadi salah satu solusi defisit transaksi berjalan Indonesia itu.
Di sisi lain, kenaikan harga minyak mentah akibat dampak konflik AS-Iran berpotensi memengaruhi neraca perdagangan minyak dan gas bumi (migas) Indonesia. Hal itu mengingat Indonesia merupakan negara net importir migas. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Januari-November 2019, impor minyak mentah Indonesia 5 miliar dollar AS atau turun 42,4 persen dari periode sama 2018 yang sebesar 8,69 miliar AS.
Indonesia sebenarnya dapat memanfaatkan momen kenaikan harga minyak mentah dunia itu dengan mengekspor minyak. Namun, lifting atau produksi minyak Indonesia siap jual terus turun. Pada 2016, lifting Indonesia rata-rata 829.000 barel per hari, sedangkan pada 2019 turun menjadi 745.000 barel per hari.
Hal itu memengaruhi penurunan nilai ekspor minyak mentah Indonesia. Pada Januari-November 2018 nilai ekspor minyak mentah Indonesia 4,87 miliar dollar AS, kemudian pada Januari-November 2019 turun menjadi 1,51 miliar dollar AS.
Transformasi ekonomi
Jika tak kunjung kelar, kedua tantangan global dan domestik itu akan semakin memperberat Indonesia untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Pada awal tahun ini, Pemerintah Indonesia memulai transformasi ekonomi untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan dengan cara meningkatkan produk ekspor dan mengembangkan substitusi impor.
Dua langkah prioritas itu terjabar dalam enam program perbaikan neraca perdagangan. Keenam program itu meliputi implementasi mandatori biodiesel 30 persen, gasifikasi batubara, restrukturisasi Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) untuk mengurangi impor produk petrokimia, pembangunan smelter, pengembangan kilang hijau, dan pengenaan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) terhadap produk-produk impor.
Melalui enam program itu, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 diharapkan terealisasi. Dalam draf rancangan awal RPJMN 2020-2024, pertumbuhan ekspor dan impor ditargetkan seimbang masing-masing 4,8 persen. Khusus ekspor nonmigas rata-rata ditargetkan tumbuh 7,2 persen. Adapun rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode 2020-2024 sebesar 6 persen.
Program itu digulirkan seturut permintaan Presiden Joko Widodo yang meminta transformasi ekonomi untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan segera dilaksanakan. Salah satu yang diminta Presiden adalah mengurangi impor migas.
BPS mencatat, neraca perdagangan Januari-November 2019 defisit 3,105 miliar dollar AS atau Rp 43,4 triliun. Defisit itu berpotensi memperlebar defisit transaksi berjalan pada akhir 2019. Pada triwulan III-2019, defisit transaksi berjalan 7,7 miliar dollar AS atau 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Untuk memastikan agar transformasi ekonomi tetap berjalan, Indonesia perlu menyelesaikan ketegangan dengan China melalui diplomasi atau pertemuan bilateral. Jangan sampai China menekan Indonesia melalui strateginya, gun boat diplomacy, yaitu menggunakan kekuatan laut untuk mencapai tujuan politik luar negerinya.
Namun, China tidak menggunakan kekuatan militernya, melainkan kekuatan sipil, yaitu kapal-kapal nelayan dan pemerintah.
Taktik itu membuat pusing banyak negara karena dalam kondisi damai kapal militer tidak tak boleh menembak kapal sipil (Kompas, 5 Januari 2019).
Di sinilah kekuatan negosiasi Indonesia akan semakin diuji.
Bersamaan dengan itu, Indonesia perlu mengatur strategi agar impor minyak mentah yang dilakukan tidak semakin menyebabkan defisit neraca perdagangan semakin lebar. Apabila impor minyak mentah dilakukan di saat harga minyak mentah dunia tinggi, nilai impor minyak akan turut bertambah tinggi juga.