Tanpa Teknologi, Kontribusi Industri Pengolahan terhadap Ekonomi Akan Turun
Adopsi teknologi di era Revolusi Industri 4.0 dapat meningkatkan kontribusi perindustrian dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Sebaliknya, jika tak ada adopsi teknologi, kontribusi perindustrian dapat turun.
Oleh
m paschalia judith j
·4 menit baca
Adopsi teknologi di era Revolusi Industri 4.0 dapat meningkatkan kontribusi perindustrian dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Sebaliknya, jika tak ada adopsi teknologi, kontribusi perindustrian dapat turun.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjadja Kamdani berpendapat, di era Revolusi Industri 4.0, pelaku usaha dan industri mengadopsi teknologi. Tujuannya adalah meningkatkan kecepatan, akurasi, dan luaran (output).
”Secara tidak langsung, kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) turut meningkat jika output-nya sesuai dengan kebutuhan pasar, baik dari segi jenis, kualitas, maupun kuantitas,” ujarnya pada akhir Desember 2019.
Sepanjang 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB secara tahunan 19,82 persen. Pada periode ini, ekonomi Indonesia tumbuh 5,17 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sementara pada 2011, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB 24,3 persen. Adapun ekonomi Indonesia pada 2011 tumbuh 6,17 persen.
Kedua perbandingan itu menunjukkan, porsi industri pengolahan terhadap struktur PDB semakin turun dan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Menurut kajian Kementerian Perindustrian, porsi industri pengolahan atau manufaktur terhadap struktur PDB dapat menurun jika tidak dilakukan intervensi (skenario business as usual). Pada 2030, penurunannya diperkirakan bisa 16 persen.
Menurut Shinta, selain meningkatkan kecepatan, akurasi, dan kualitas produk, adopsi teknologi juga menciptakan efisiensi usaha dari segi waktu dan biaya produksi di perindustrian. Penerapan teknologi digital di tiap sektor pun berbeda.
Hal itu bergantung dari kemampuan permodalan perusahaan serta kesiapan perusahaan dari sisi manajemen dan teknologi dalam rangka beradaptasi dengan perkembangan revolusi industri. Adopsi teknologi, khususnya digitalisasi, juga berimbas pada industri padat karya.
”Adopsi teknologi di industri dapat menghilangkan sejumlah jenis pekerjaan, tetapi pada saat yang sama menciptakan kebutuhan pekerjaan yang berorientasi pada pengoperasian, perawatan, analisis, hingga rekayasa teknologi agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan,” katanya.
Adopsi teknologi di industri dapat menghilangkan sejumlah jenis pekerjaan, tetapi pada saat yang sama menciptakan kebutuhan pekerjaan yang berorientasi pada pengoperasian, perawatan, analisis, hingga rekayasa teknologi agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Oleh karena itu, lanjut Shinta, perusahaan perlu mengantisipasinya dengan perombakan mekanisme produksi atau proses bisnis, peningkatan keterampilan dan kompetensi tenaga kerja, serta merombak susunan manajemen sehingga dapat beradaptasi dengan teknologi yang diadopsi.
Pemerintah memprioritaskan lima sektor industri yang menerapkan Revolusi Industri 4.0. Kelima sektor industri itu adalah makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, kimia, otomotif, serta elektronik.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat menyatakan, peningkatan kecepatan produksi dan efisiensi menjadi fokus pada 2020. Hal itu penting guna menopang keberlanjutan usaha.
Ade mencontohkan, teknologi penyesuaian warna (colour matching) pada produk tekstil di China membuat proses terkait berlangsung selama tiga jam. Di Indonesia, prosesnya masih berlangsung selama tujuh hari.
”Oleh karena itu, teknologi terbaru dibutuhkan dalam industri tekstil dan produk tekstil. Selain untuk meningkatkan kecepatan, adopsi teknologi juga dapat membuat pewarnaan lebih akurat,” ujarnya.
Menurut Ade, industri tekstil dan produk tekstil bersifat padat karya. Adopsi teknologi tidak serta-merta menggantikan tenaga kerja.
Para pelaku industri terus mencari keseimbangannya. ”Misalnya, upah minimum Jawa Barat lebih tinggi dibanding Jawa Tengah sehingga adopsi teknologi akan lebih banyak di Jawa Barat,” ujar Ade.
Di sektor makanan-minuman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengemukakan, pemanfaatan teknologi data raksasa dan robotik akan meningkat pada 2020.
Data raksasa dapat membantu pergudangan dan distribusi produk makanan dan minuman lebih efisien karena pelaku industri menyetok sesuai dengan kebutuhan. Adapun teknologi robotik diterapkan dalam proses produksi untuk meningkatkan akurasi hasil produk.
”Oleh karena itu, perlu ada insentif fiskal yang mendukung inovasi dalam perindustrian,” ujarnya.
Rantai pasok
Selain itu, Adhi mengharapkan, perusahaan penyedia teknologi yang menopang Revolusi Industri 4.0 juga dapat menjangkau industri kecil dan menengah (IKM) di sektor makanan-minuman. ”Perusahaan teknologi ini dapat menjangkau IKM dengan mengubah desain teknologinya agar lebih sesuai dengan skala ekonomi IKM,” katanya.
Perusahaan teknologi ini dapat menjangkau IKM dengan mengubah desain teknologinya agar lebih sesuai dengan skala ekonomi IKM.
Di sejumlah sektor, ekosistem industri tidak hanya terdiri dari pelaku skala pabrikan, tetapi juga skala IKM atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pelaku industri hanya bisa menggandeng UMKM dalam pemanfaatan digitalisasi melalui mekanisme rantai pasok.
Menurut Shinta, industri besar perlu mengidentifikasi dan mendiversifikasi rantai pasoknya agar mencakup UMKM yang sesuai. ”Perlu adaptasi dan investasi teknologi, baik di sisi perusahaan maupun UMKM, sehingga UMKM pun tidak tertinggal dalam mengadopsi teknologi,” katanya.
Ade juga menilai, teknologi digital seharusnya mampu menguatkan peran UMKM di sektor tekstil dalam rantai pasok. Salah satu bentuk penguatannya berupa adanya pemutusan jenjang distributor sehingga pelaku UMKM dapat berjualan langsung ke konsumen.