Cermati Risiko, BI Pertahankan Suku Bunga Acuan
BI mempertahankan tingkat suku bunga acuan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik. Di sisi lain, BI tetap mencermati risiko perlambatan pertumbuhan kredit dan defisit transaksi berjalan.
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia mempertahankan tingkat suku bunga acuan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik. Bank Indonesia optimistis proses transmisi suku bunga terus berlanjut dan dapat turut menyokong pertumbuhan ekonomi domestik.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) tetap mencermati risiko perlambatan pertumbuhan kredit dan perlambatan ekonomi global. Perlambatan ekonomi global itu berpotensi melebarkan defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2019.
Rapat Dewan Gubernur BI pada 18-19 Desember 2019 memutuskan mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate di level 5 persen. BI juga mempertahankan tingkat suku bunga penempatan dana rupiah deposit facility sebesar 4,25 persen dan suku bunga penyediaan dana rupiah lending facility sebesar 5,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (19/12//2019), mengatakan, transmisi pelonggaran kebijakan moneter tetap berjalan dengan kecukupan likuiditas perbankan yang terjaga.
”Kebijakan moneter tetap akomodatif untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah melambatnya perekonomian global,” kata Perry dalam konferensi pers seusai Rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta.
Data BI menunjukkan, likuiditas di pasar uang dan perbankan tetap memadai, tecermin pada rerata harian volume pasar uang antar-bank (PUAB) pada November 2019 sebesar Rp 17,96 triliun.
Adapun rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) hingga Oktober 2019 ada di posisi 18,44 persen. Posisi ini jauh di atas batas bawah rasio AL/DPK sebesar 10 persen.
Sementara Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memproyeksikan tekanan likuiditas dengan alat ukur rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) sebesar 96,7 persen pada akhir 2019. Tekanan likuiditas ini akan meningkat hingga 99,5 persen pada 2020.
Sepanjang Juli-Oktober 2019, BI telah memangkas suku bunga acuan hingga 100 basis poin (bps). Meski mengakui proses transmisi suku bunga acuan terhadap bunga perbankan belum optimal, Perry optimistis proses transmisi akan terus berlanjut.
Indikatornya, ada penurunan rata-rata suku bunga deposito sebanyak 51 bps dari 6,83 persen pada akhir Juni 2019 menjadi 6,32 persen pada November 2019. Adapun suku bunga kredit modal kerja turun 18 bps sejak Juni 2019 atau 32 bps sejak Januari 2019 menjadi 10,24 persen pada November 2019.
Penurunan suku bunga perbankan juga diikuti penurunan imbal hasil obligasi korporasi dan surat berharga negara (SBN) bertenor satu tahun masing-masing 73 bps dan 125 bps sejak Juli 2019.
”Kapasitas perbankan untuk menyalurkan kredit saat ini sudah baik. Berlanjutnya transmisi suku bunga pada 2020 serta dorongan pertumbuhan ekonomi bisa membuat permintaan kredit tahun depan tumbuh 10 persen-12 persen,” ujar Perry.
Baca juga : Pacu Ekonomi, BI Kembali Longgarkan Likuiditas Perbankan
BI mencatat, pertumbuhan kredit melambat dari 7,89 persen pada September 2019 menjadi 6,53 persen pada Oktober 2019. Hal itu karena pengaruh permintaan kredit korporasi yang belum kuat.
Pertumbuhan kredit melambat dari 7,89 persen pada September 2019 menjadi 6,53 persen pada Oktober 2019.
Sementara pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada Oktober 2019 tercatat sebesar 6,29 persen atau turun dibandingkan dengan pertumbuhan September 2019 yang tumbuh 7,47 persen. Dengan mempertimbangkan perkembangan tersebut, kredit dan DPK perbankan pada 2019 diperkirakan sama-sama tumbuh sekitar 8 persen.
Defisit transaksi berjalan
Perry menyebutkan, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 diperkirakan hanya sebesar 3 persen, melambat dari capaian 2018 yang sebesar 3,6 persen. Perlambatan itu terjadi akibat kondisi geopolitik seperti perang dagang AS-China serta kelanjutan Brexit yang menurunkan aktivitas perdagangan global.
Perlambatan ekonomi global tahun ini memengaruhi melebarnya proyeksi defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) dalam negeri pada triwulan IV-2019. ”BI memperkirakan defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2019 sebesar 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB),” katanya.
BI memperkirakan defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2019 sebesar 2,7 persen dari PDB.
Defisit tersebut sama dengan defisit transaksi berjalan pada triwulan III-2019 yang sebesar 2,7 persen PDB. Sementara itu, pada Selasa lalu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memperkirakan defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2019 sebesar 2,6 persen. Defisit transaksi berjalan itu sedikit melebar dari target pemerintah dan BI yang sebesar 2,5 persen PDB.
Perry optimistis defisit transaksi berjalan akan cukup terkendali. Surplus pada transaksi modal dan finansial yang besar akan cukup untuk membiayai defisit transaksi berjalan.
"Aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik pada Oktober-November 2019 tercatat sebesar 6,2 miliar dollar AS. Aliran ini lebih tinggi dari triwulan III-2019 sebesar 4,85 miliar dollar AS," ujarnya.
Perry mengakui, keputusan mempertahankan tingkat suku bunga acuan di akhir 2019 dipengaruhi oleh proyeksi menurunnya risiko stabilitas geopolitik. Risiko ini menurun seiring dengan semakin dekatnya kesepakatan perdagangan AS-China.
Baca juga : Waspada Pelambatan Ekonomi Global Berujung Resesi
Selain perkembangan perundingan dagang AS-China, lanjut Perry, meredanya tensi dinamika Brexit serta sinyal perbaikan ekonomi Jepang dan Eropa pada 2020 akan menurunkan risiko di pasar keuangan global. Kondisi ini sekaligus mendorong berlanjutnya aliran masuk modal asing ke negara berkembang.
”Prospek pemulihan global menjadi perhatian karena dapat memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi domestik yang ditopang juga perbaikan birokrasi lewat omnibus law,” kata dia.
BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi domestik pada 2019 sebesar 5,1 persen. Adapun pada 2020, ekonomi nasional diperkirakan tumbuh 5,1 persen-5,5 persen.
Kekhawatiran perbankan
Ekonom PT Bank Danamon Tbk Wisnu Wardhana menilai, BI masih akan memantau dengan cermat fungsi intermediasi perbankan. Terbatasnya proyeksi pertumbuhan kredit sebesar 8 persen sepanjang 2019 lebih diakibatkan permintaan pinjaman masih relatif lemah.
”BI akan memperhatikan ekonomi global dan domestik untuk memanfaatkan ruang dalam menjalankan kebijakan akomodatif lebih lanjut. Tahun depan, BI masih memiliki ruang pemotongan suku bunga sebesar 25 bps,” ujarnya.
Baca juga : Tren Pelambatan Berlanjut, Kredit Hanya Tumbuh 6,6 Persen dan DPK 5,9 Persen
Untuk likuiditas sudah tidak ada masalah. Sekarang yang jadi soal adalah bagaimana bauran kebijakan bisa menggenjot permintaan kredit yang dikhawatirkan (tahun depan) masih lemah.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja menilai, keputusan BI untuk menahan tingkat suku bunga acuan sudah tepat. Terlebih bank sentral AS, The Fed, masih dipertahankan di kisaran 1,5 persen-1,75 persen.
”Untuk likuiditas sudah tidak ada masalah. Sekarang yang jadi soal adalah bagaimana bauran kebijakan bisa menggenjot permintaan kredit yang dikhawatirkan (tahun depan) masih lemah,” ujarnya.