Tambahan kapasitas terpasang listrik dari energi terbarukan sebanyak 385 megawatt tahun 2019 dinilai tidak signifikan dibandingkan target sekitar 45.000 megawatt tahun 2025.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penambahan kapasitas terpasang listrik dari energi terbarukan sebanyak 385 megawatt pada 2019 dipandang tidak signifikan. Sesuai dengan target Rencana Umum Energi Terbarukan, pada 2025 bauran energi terbarukan adalah 23 persen atau setara dengan kapasitas terpasang listrik 45.000 megawatt. Tanpa gebrakan sektor kebijakan, target tersebut akan sulit dicapai.
”Itu tak berdampak signifikan bagi target kapasitas terpasang listrik energi terbarukan 45.000 megawatt pada 2025. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen politik pemerintah yang tertuang dalam regulasi ataupun kebijakan agar investasi energi terbarukan tumbuh pesat,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, Selasa (17/12/2019), di Jakarta.
Penambahan 385 megawatt pada tahun ini menggenapi sekitar 8.173 megawatt total kapasitas terpasang listrik energi terbarukan pada pembangkit milik PLN. Investasi energi terbarukan juga dianggap kurang agresif. Dari target 1,8 miliar dollar AS tahun ini, sampai triwulan III-2019 realisasinya mencapai 1 miliar dollar AS.
Menurut Fabby, sejak pemerintah mencabut skema feed in tariff dan menetapkan harga jual listrik energi terbarukan berdasarkan biaya pokok pembangkitan listrik setempat, investasi jadi lesu. Skema feed in tariff adalah biaya patokan pembelian tenaga listrik berdasarkan biaya produksi listrik dari energi terbarukan. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
”Lembaga pembiayaan di Indonesia kurang tertarik untuk membiayai proyek energi terbarukan karena mereka melihat tidak ada prospek yang baik dan risikonya tinggi. Akibatnya, investor banyak yang lari ke luar dan lebih memilih negara-negara, seperti Vietnam atau Malaysia,” ujar Fabby.
Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Halim Sari Wardana mengakui, mengatasi tantangan sektor energi terbarukan tidaklah mudah. Beberapa penyebab beratnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia, antara lain, adalah faktor regulasi yang tumpang tindih atau aturan yang tak menarik di mata investor. Begitu pula masalah kelengkapan dan keakuratan potensi energi terbarukan di Indonesia yang perlu disempurnakan.
Penyebab beratnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia, antara lain, adalah soal regulasi yang tumpang tindih atau aturan yang tak menarik investor.
”Kami sedang melaksanakan penilaian terhadap dampak kebijakan (policy impact assesment) di sektor energi terbarukan. Pengembangan energi terbarukan memang tidak mudah, tetapi kalau dilakukan dengan komitmen tinggi dan konsisten, saya rasa tidak mustahil untuk mencapai target,” kata Halim.
Dalam beberapa tahun terakhir, nilai investasi sektor energi terbarukan fluktuatif. Pada 2014, investasi yang terealisasi tercatat sebanyak 600 juta dollar AS dan naik menjadi 1 miliar dollar AS pada 2015. Nilai investasi terus naik menjadi 1,6 miliar dollar AS di 2016 dan turun lagi di 2017 menjadi 1,3 miliar dollar AS. Kemudian, pada 2018 naik menjadi 1,6 miliar dollar AS.
Kurang agresifnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia, menurut Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Surya Darma, disebabkan kesadaran tentang asal-muasal energi di Indonesia masih terbilang rendah. Harga energi yang murah dan terjangkau menjadi lebih penting ketimbang kesadaran mengenai sumber energi yang harus bersih. Isu lingkungan dan keberlanjutan menjadi terabaikan.
”Pilih energi yang murah atau bersih? Ini menyangkut kesadaran. Selain itu, tantangan pengembangan energi terbarukan adalah regulasi yang berubah-ubah sehingga membingungkan investor,” ujar Surya.