Produksi cokelat dari Kalimantan Tengah mulai dilirik negara-negara di Eropa. Cokelat asal Kabupaten Gunung Mas dan Murung Raya, Kalteng, dibawa ke Jerman untuk diuji coba, hasilnya memuaskan dan produksi 1.000 bar cokelat terjual habis. Meskipun demikian, akses ke pasar lokal di Kalteng masih terbatas dan terkendala infrastruktur.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Produksi cokelat dari Kalimantan Tengah mulai dilirik negara-negara di Eropa. Cokelat asal Kabupaten Gunung Mas dan Murung Raya, Kalteng, dibawa ke Jerman untuk diuji coba, hasilnya memuaskan dan produksi 1.000 bar cokelat terjual habis. Meskipun demikian, akses ke pasar lokal di Kalteng masih terbatas dan terkendala infrastruktur.
Di Desa Tumbang Talaken, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, petani kakao masuk dalam program penanam 1 juta pohon yang dilaksanakan oleh lembaga asal Jerman di Indonesia, Fairventures Worldwide (FVW) dan lembaga lokal Borneo Institute (BIT). Dalam program itu, petani juga diajarkan dan didampingi membudidayakan kakao.
Program Manajer Non-Timber Forest Products (NTFP) dari lembaga FVW Benjamin Schwegler mengungkapkan, pihaknya mendampingi petani kakao di dua kabupaten, yakni Murung Raya dan Kabupaten Gunung Mas. Mereka juga melakukan fermentasi biji kakao dan membawa hasil fermentasi itu ke salah satu produsen cokelat premium di Eropa, Schell Schokoladen.
”Itu merupakan bentuk pendampingan agar petani tahu proses pascapanen. Hasil fermentasi itu kemudian menghasilkan 1.000 bar cokelat untuk awal dan semuanya ludes terjual,” kata Schwegler di Palangkaraya, Minggu (12/5/2019).
Schwegler menambahkan, konsumen cokelat di Eropa mulai penasaran dengan cokelat original hutan Kalimantan yang dibudidayakan dengan cara 100 persen organik tanpa bahan kimia. ”Mereka mencicipi langsung dan hasilnya sangat menggembirakan,” ujarnya.
Itu merupakan bentuk pendampingan agar petani tahu proses pascapanen. Hasil fermentasi itu kemudian menghasilkan 1.000 bar cokelat untuk awal dan semuanya ludes terjual.
Pengembangan kakao di Kalteng, lanjut Schwegler, dimulai dengan pemberian pelatihan kepada petani di Gunung Mas pada April lalu. Setelah itu, pihaknya mendatangkan pelatih khusus dari Eropa agar petani bisa belajar mengolah cokelat pascapanen.
”Kami berharap petani memahami betul rantai nilai kakao mulai dari budidaya, panen, hingga pascapanen, sampai pada peluang pasar. Mereka sangat terlibat,” ungkap Schwegler.
Terkendala akses
Meskipun cokelatnya sudah sampai di Eropa, petani di Kabupaten Gunung Mas dan Puruk Cahu masih berharap kakao juga dikembangkan di Kalteng. Sampai saat ini akses ke pasar lokal masih terbatas dan terkendala infrastruktur.
Kader (82), petani kakao asal Murung Raya, mengungkapkan, perlu 6 jam lama perjalanan dari desanya ke kota Puruk Cahu, ibu kota Murung Raya. Itu pun tidak bisa dengan kendaraan biasa karena masih banyak jalan belum beraspal dan penuh lumpur.
”Kami hanya menunggu tengkulak datang ke sini. Itu pun dibeli dengan harga rendah. Kalau kami antar langsung, ongkosnya juga terlampau besar,” kata Kader.
Menurut Kader, di tengkulak, harga cokelat menjadi Rp 15.000 per kilogram, padahal di kota Puruk Cahu harga cokelat mencapai Rp 30.000 sampai Rp 40.000 per kilogram, tergantung musim. Pada saat musim panen, harga lebih rendah. Selain itu, hanya ada satu toko di Puruk Cahu yang mau membeli cokelat tersebut.
”Ada tengkulak saja kami sudah bersyukur. Kalau enggak ada, kami mau jual ke mana cokelat ini,” ungkap Kader.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Kalteng tahun ini menyiapkan 200 hektar lahan perkebunan khusus kopi dan cokelat kakao. Pengembangan itu menggunakan skema perhutanan sosial melalui hutan kemasyarakatan.
Kami hanya menunggu tengkulak datang ke sini. Itu pun dibeli dengan harga rendah. Kalau kami antar langsung, ongkosnya juga terlampau besar.
Lahan seluas 200 hektar itu terbagi di beberapa wilayah, antara lain di Kabupaten Gunung Mas, Seruyan, Kapuas, dan Kabupaten Barito Utara. Pembagiannya melalui kelompok tani dan setiap kelompok mendapatkan satu hektar.
Pada awal April lalu, pihak Dinas Perkebunan juga sudah membagikan 2.100 bibit kopi dan 1.200 bibit cokelat di daerah tersebut. ”Ini baru tahap awal, mungkin berikutnya akan disediakan untuk daerah lainnya,” kata Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng Rawing Rambang.