MAGELANG, KOMPAS — Sebagian perajin gerabah di sentra gerabah di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mulai beralih profesi menjadi pedagang. Tradisi kerajinan mulai ditinggalkan karena perajin berkeinginan mendapatkan uang dengan cepat.
Ketua Kelompok Perajin Gerabah Bina Karya di Dusun Klipoh Supoyo mengatakan, jika pada tahun 2014, jumlah perajin gerabah mencapai sekitar 86 orang, maka saat ini, jumlah perajin gerabah menyusut menjadi 70 orang saja.
Menurut dia, sekitar 16 orang yang sudah tidak menekuni dunia gerabah kini telah beralih menjalankan aktivitas berdagang.
”Kebanyakan dari mereka biasanya menjadi pedagang benda-benda kerajinan produksi Yogyakarta,” ujarnya. Para perajin tersebut biasanya berdagang di pasar atau di kawasan terminal.
Dunia gerabah, menurut Supoyo, kini dianggap tidak lagi menjanjikan untuk ditekuni sebagai sumber penghasilan. Dari 70 perajin yang tersisa saat ini saja, menurut dia, hanya separuhnya, atau sekitar 35 orang, yang memproduksi gerabah secara kontinu. Adapun separuh perajin lainnya biasanya juga akan beralih menjadi pedagang pada musim-musim tertentu, seperti musim liburan sekolah dan Lebaran.
”Bagi separuh perajin tersebut, aktivitas membuat gerabah hanyalah aktivitas yang dijalankan saat dirinya tidak memiliki kesibukan lain,” ujarnya.
Aktivitas membuat gerabah sudah menjadi tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang di Dusun Klipoh. Tradisi membuat gerabah ini, menurut dia, adalah tradisi tua yang bahkan juga terukir di relief Candi Borobudur.
Supoyo mengatakan, tradisi membuat gerabah mulai ditinggalkan karena gerabah sendiri kini sudah tidak menjadi perlengkapan penting di masyarakat. Jika dahulu diandalkan sebagai bagian dari peralatan rumah tangga, seperti untuk menyimpan nasi ataupun beras, sekarang ini, gerabah seperti kuali hanya sebatas digunakan untuk tradisi menyimpan tali pusar bayi yang baru dilahirkan.
Dengan kondisi tersebut, Supoyo mengatakan, maka perajin gerabah saat ini didominasi kalangan usia 40 tahun ke atas.
”Kalangan muda, umur 20-30 tahun, kini lebih senang menekuni pekerjaan lain di luar kota,” ujarnya.
Kalangan muda, umur 20-30 tahun, kini lebih senang menekuni pekerjaan lain di luar kota
Tomblok (70), salah seorang perajin, mengatakan, dirinya memiliki empat anak, tetapi tak seorang pun di antaranya meneruskan pekerjaan sebagai perajin gerabah.
”Jangankan bekerja sebagai perajin, dilatih membuat gerabah saja pun mereka tidak mau,” ujarnya.
Jangankan bekerja sebagai perajin, dilatih membuat gerabah saja pun mereka tidak mau.
Satu anaknya yang tinggal di Kudus, menurut dia, kini memilih menjadi ibu rumah tangga, dan tiga anaknya yang lain memilih menjadi pedagang.
Tomblok mengatakan, dirinya tetap menjalankan aktivitas membuat gerabah karena hanya itulah pekerjaan yang bisa dilakukannya.
”Saya harus tetap bekerja karena harus memenuhi kebutuhan sehari-hari sendiri,” ujarnya. Tomblok menolak tinggal ataupun mendapatkan dukungan dana dari anak-anaknya.
Sani (68), perajin lainnya, mengatakan hal serupa. Dia tetap menjalankan aktivitas membuat gerabah karena merasa tidak memiliki pilihan lain.
Dia melihat banyak kalangan muda kini beralih menjadi pedagang benda-benda kerajinan tangan, tetapi dirinya pun tidak bisa melakukan hal serupa karena merasa badannya kian menua.
”Menjadi pedagang butuh tenaga untuk berkeliling dan menawarkan barang. Kondisi badan saya tidak kuat lagi untuk melakukan itu,” ujarnya.