Kekayaan intelektual karya ciptaan anak bangsa rawan dilanggar. Perkembangan teknologi membuat ciptaan mudah diduplikasi, dimodifikasi, dan disebar tanpa izin penciptanya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelanggaran hukum terhadap kekayaan intelektual, utamanya hak cipta, kian mudah terjadi. Perkembangan teknologi memungkinkan suatu karya ciptaan diduplikasi, dimodifikasi, dan disebarkan tanpa izin pencipta atau pemilik hak cipta.
Ketua Pusat Studi Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Airlangga Mas Rahmah mengatakan, hak cipta meliputi hak ekonomi dan hak moral. Pelanggaran hak cipta terjadi jika hak ekonomi dan moral dicederai pihak lain.
”Misalnya, memperbanyak dan mentransmisikan (karya ciptaan) tanpa izin, mengunduh tanpa izin di internet, mengunggah karya cipta tanpa izin, streaming tanpa izin, meng-cover tanpa izin di Youtube, dan lainnya. Konsekuensinya bisa berupa gugatan perdata atau tuntutan pidana,” kata Rahmah, Rabu (18/5/2022), pada seminar daring Perlindungan Hukum dan Urgensi Hak Cipta bagi Pekerja Media dan Industri Kreatif di Era Digital.
Perlindungan hak cipta penting untuk memberi perlindungan hukum bagi pencipta atau pemegang hak cipta. Di sisi lain, perlindungan hak cipta mendorong tumbuhnya ekosistem yang kondusif untuk menciptakan karya, khususnya di industri kreatif.
Rahmah menambahkan, perlindungan hak cipta kian penting di era digital karena setiap karya cipta dapat dicari dan diunduh dari internet dengan mudah. Pelanggaran hak cipta pun mudah terjadi.
Menurut data Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, ada 958 kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual selama 2016-2021. Angka tersebut mencakup, antara lain, pelanggaran merek (650 kasus), hak cipta (243 kasus), dan paten (18 kasus).
”Dari 958 kasus itu, 169 di antaranya berlanjut sampai penuntutan. Sisanya ada yang dicabut ataupun dialihkan ke instansi lain,” kata Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto (Kompas, 7/10/2021).
Perlindungan hukum melemah
Di sisi lain, perlindungan hukum terhadap hak cipta di era digital melemah. Penegakan hukum sulit dilakukan karena karya cipta dalam format digital bersifat lintas negara. Penentuan yurisdiksi dan ketentuan hukum pun jadi sulit.
Selain itu, tidak sedikit pelanggar hak cipta berlindung di balik anonimitas. Akun media sosial pelanggar bisa jadi anonim atau merupakan akun palsu sehingga sulit dilacak.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Jakarta Ade Wahyudin mengatakan, perkembangan teknologi membuat karya cipta digital dapat menyebar dengan mudah dan cepat. Kemudahan ini memungkinkan karya disalin atau dimanipulasi.
Menurut Rahmah, perlu ada sistem dan pusat data hak cipta yang terintegrasi karena salah satu kendala perlindungan hak cipta ialah minimnya data. Pihak yang ingin memanfaatkan karya ciptaan juga jadi kesulitan membayar royalti.
Ia juga menyarankan agar pemerintah membangun sistem terpadu untuk mengakses dan meminta izin pemanfaatan hak cipta. Sistem ini juga agar melayani pembayaran royalti untuk berbagai jenis karya cipta.
Tidak sedikit pelanggar hak cipta berlindung di balik anonimitas. Akun media sosial pelanggar bisa jadi anonim atau merupakan akun palsu sehingga sulit dilacak.
Adapun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berupaya melindungi hak cipta musisi tradisi. Pendaftaran karya musisi pun dilakukan bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Musik Tradisi Nusantara juga dibentuk untuk melindungi karya musisi tradisi.
Direktur Jenderal Kemendikbudristek Hilmar Farid, sebelumnya, mengatakan, pencatatan kekayaan intelektual penting karena menjamin perlindungan karya seni budaya. Pengembangan dan pemanfaatan karya pun memiliki basis hukum yang jelas.