Korban penipuan berkedok cinta membutuhkan pendampingan agar dapat menghadapi kasus ini dengan obyektif, baik untuk pelaporan maupun pemulihan psikologis.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS
Penipu berkedok cinta atau love scammer mengintai korban. Memanfaatkan aplikasi kencan atau media sosial untuk menjaring korban, para pelaku menawarkan hubungan cinta yang manis di awal kebersamaan saja. Selanjutnya, mereka mengeksploitasi korban terus-menerus. Investigasi Kompas mengungkap adanya eksploitasi finansial hingga eksploitasi seksual bertopeng cinta.
JAKARTA, KOMPAS — Selain mengalami kerugian finansial, korban penipuan berkedok cinta juga ada yang dieksploitasi secara seksual. Pendampingan korban pun dibutuhkan, baik untuk pelaporan maupun pemulihan psikologis.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, Jumat (22/4/2022), mengatakan, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) baru disetujui DPR dan belum berlaku. Itu sebabnya UU TPKS belum bisa melindungi korban penipuan berkedok cinta.
Walau begitu, korban yang mengalami eksploitasi seksual dapat melaporkan kasus penipuan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terlebih jika terduga pelaku mengancam menyebarkan konten intim nonkonsensual korban ke dunia maya. Adapun penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP.
Komnas Perempuan pada 2019-2020 mencatat ada 40 korban penipuan berkedok cinta yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Total kerugian yang dialami korban mencapai Rp 5 miliar. Menurut penelusuran Kompas, sebagian korban punya latar belakang pendidikan tinggi dan pekerjaan yang mapan.
”Kami tidak punya mandat untuk menangani korban secara langsung. Jadi, kami berkomunikasi dengan tim siber Polri, kemudian korban mengadu ke Bareskrim Polri,” kata Siti.
IRENE SARWINDANINGRUM
Tiga korban penipu berkedok cinta Faris Ahmad Faza (31) saat bersama-sama melapor ke Polres Kediri Kota, Jawa Timur, Minggu (17/3/2022). Selama 2021 hingga awal 2022, diketahui setidaknya 9 korban Faza melalui aplikasi kencan Tinder dan Line.
Ia menambahkan, para pelaku penipuan umumnya menjalin ikatan emosional dengan korban melalui alat komunikasi jarak jauh, seperti telepon dan media sosial. Begitu ikatan emosional terjalin, pelaku mulai meminta uang kepada korban atau calon korban.
Sebagian korban pun berkumpul dan membentuk kelompok dukungan antarkorban. Kelompok itu digunakan untuk saling berbagi cerita, menguatkan, dan membantu mencari solusi. Ada juga yang membagikan pengalamannya ke media sosial dan mengingatkan orang-orang agar tidak tertipu.
”Ada yang harus mendampingi (kelompok ini) karena ada korban yang mengalami dampak psikis baik karena terjerat pinjaman online atau aktivitas seksual (dengan pelaku),” ucap Siti.
Pendamping diibaratkan sebagai wasit yang memandu proses berbagi pengalaman. Pendamping juga bertugas untuk mengarahkan korban yang hendak mencari keadilan hingga pemulihan psikologis. Pendamping pun dinilai lebih obyektif dalam menyikapi kasus yang dialami korban.
Sebelumnya, Ketua Komunitas Waspada Scammer Cinta Diah Esfandari, aspek psikologis korban kerap jadi sasaran pelaku penipuan. Menurut dia, para korban mudah luluh ketika mendapat perhatian dari seseorang. Hal ini yang memicu mereka untuk bertindak di luar nalar dan tertipu.
Korban yang mengalami eksploitasi seksual, misalnya melalui ancaman penyebaran konten intim nonkonsensual, didorong untuk segera mendokumentasikan barang bukti. Barang bukti yang dimaksud seperti tangkapan layar percakapan daring dengan pelaku, menyimpan tautan unggahan atau akun media sosial pelaku.
Korban juga direkomendasikan untuk menyimpan barang bukti dalam bentuk catatan kronologis. Selain itu, korban juga dapat memutuskan komunikasi dengan pelaku, melakukan pemetaan risiko, serta melaporkan kasus ini ke platform digital.
Langkah-langkah ini terangkum dalam panduan menghadapi ancaman penyebaran konten intim nonkonsensual di laman awaskbgo.id. Laporan itu disusun oleh pihak SAFEnet dan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender.