Di usia belia, banyak anak tak bisa menuntaskan pendidikan dasar. Kemiskinan memupus mimpi mereka untuk menikmati pendidikan wajib belajar sembilan tahun.
Oleh
Tim Kompas
·6 menit baca
Saat banyak anak riang gembira bersekolah demi meraih cita-cita masa depan, puluhan ribu anak-anak usia SD dan SMP dari keluarga miskin justru berjibaku untuk bertahan hidup. Kesempatan bersekolah yang pernah dirasakan sejenak terenggut dari keseharian mereka. Bekerja bahkan merantau jauh dari keluarga demi mencari upah untuk keluarga jauh lebih penting daripada bersekolah.
Faldo (12) berjalan menerobos padatnya pengunjung Pasar Naikoten, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang berdiri berjubel di sebuah lorong sempit pada Sabtu (26/2/2022) pagi. Tubuh mungilnya bergerak zig-zag sembari matanya tertuju kepada seorang perempuan paruh baya yang kerepotan membawa barang belanjaan. Ia berusaha secepatnya mendekati perempuan tersebut sebelum didahului teman yang lain.
”Beta bantu ka mama (Bisa saya bantu, Ibu)?” ujar Faldo sambil mengatur napas. Perempuan tersebut tampak risi melihat bocah dekil tak bermasker itu. Setelah memandangi Faldo, ia mengangguk sambil berujar, ”Masker mana?”. Segera Faldo mengeluarkan masker kumal dari dalam saku celana.
Faldo kemudian mengambil beberapa barang belanjaan perempuan itu sambil berjalan mengikutinya. Selesai belanja sekitar 20 menit, ia menenteng barang itu hingga ke tempat parkir. Perempuan tadi memberinya Rp 5.000. Uang itu cukup membeli satu bungkus nasi kuning untuk sarapan pagi.
Sudah lebih dari satu bulan Faldo mencari nafkah di Pasar Naikoten. Sembari menjual kantong plastik seharga Rp 1.000 per lembar, ia menawarkan jasa membawa barang belanjaan pengunjung. Setiap hari, ia mendapat pemasukan paling banyak Rp 30.000. Uang itu dipakai makan sehari-hari. Untuk tidur, ia menumpang di lapak jualan milik sepupu dari ibunya.
Faldo datang dari Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang berjarak sekitar 110 kilometer arah timur laut Kota Kupang. Siswa kelas 1 di SMP negeri itu terpaksa meninggalkan bangku sekolah lantaran tidak bisa membayar uang komite Rp 50.000 per bulan.
Faldo diminta ibunya merantau ke Kupang lantaran ibunya kesulitan menghidupi ketujuh anaknya yang tidak lagi bersekolah. Ayah Faldo kini bekerja di salah satu perusahaan kelapa sawit di Malaysia. Namun, hampir satu tahun ini ayahnya tidak mengirim uang untuk ketujuh anaknya yang semua sudah putus sekolah.
Siswa kelas 1 di SMP negeri itu terpaksa meninggalkan bangku sekolah lantaran tidak bisa membayar uang komite Rp 50.000 per bulan.
Putus dari sekolah juga terjadi pada Rio (13), siswa salah satu SMP di Kabupaten Timor Tengah Utara. Sekolah jarak jauh selama pandemi membuat dia tidak semangat untuk belajar. Dia tidak punya gadget untuk belajar daring di rumah.
”Kami jarang ke sekolah, guru-guru juga jarang datang tetapi kami bayar uang iuran terus. Kami bayar tetapi kami tidak dapat ilmu,” kata Rio.
Di semester ganjil tahun 2021, Rio pun minta izin ke Kota Kupang dengan alasan hendak ke rumah tantenya. Ternyata siswa kelas 2 SMP ini tertarik dengan ajakan temannya untuk menjadi buruh kasar mengerjakan proyek bangunan rumah. Rio pun ikut bekerja dan tidak lagi memikirkan sekolahnya.
Penghasilan yang ia dapatkan tergantung dari besar kecilnya volume pekerjaan. ”Kalau ongkos kerja secara keseluruhan Rp 10 juta, itu saya dapat Rp 1 juta. Makan dan minum ditanggung pemborong,” katanya sambil menyemburkan asap rokok lalu menenggak satu sloki sopi (minuman alkohol lokal).
Sejak putus sekolah di kelas 6 SD empat tahun lalu, Aris Setiawan (16), warga Desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, sesekali bekerja serabutan untuk mendapat uang jajan. Ia menjadi pekerja di tempat mencuci sepeda motor atau membantu panen jagung.
Namun, Aris lebih banyak menghabiskan waktu bermain dengan teman-temannya hingga larut malam. Saat di rumah, Aris sibuk memainkan gawainya sambil menunggu makan siang. Ia mengobrol dengan teman-temannya di grup Whatsapp dan sesekali membuka akun Facebooknya.
Hidup Aris berubah drastis ketika ayahnya menikah lagi. Sang ibu membawa Aris untuk hidup bersama neneknya, Warsih (58). Ketika ibunya masih ada, kata Aris, ia masih bisa memenuhi kebutuhan sekolah seperti membeli buku tulis, seragam sekolah, hingga jajan. Ketika itu, ibunya bekerja serabutan sebagai buruh tani atau mencuci pakaian di rumah tetangga.
Namun, suatu malam ibunya mendapat telepon dari seorang temannya menawarkan pekerjaan. Besok paginya ibunya pergi dan tidak pernah kembali lagi. Teleponnya tidak pernah aktif lagi dan tidak ada kabar sama sekali.
”Sejak ibu saya pergi, ia tidak pernah lagi memberi kabar sama sekali. Beberapa bulan ibuku tidak pulang, aku tidak punya biaya sekolah. Aku sudah di kelas 6 tapi nenek tidak ada biaya sehingga tidak lulus dari SD,” ujar Aris.
Aris mengatakan, ia sebenarnya masih sangat ingin melanjutkan sekolah. Beberapa kali ia meminta kepada neneknya agar bisa sekolah lagi, tetapi selalu terkendala biaya. Mereka juga selalu terbentur data kependudukan. Aria bahkan tidak punya akta lahir dan tidak tercatat di kartu keluarga.
Warsih mengatakan, beberapa orang ingin membantu Aris agar sekolah lagi. Namun, pendaftaran kembali ke sekolah juga terkendala karena Aris tidak punya data kependudukan apa pun. ”Saya pernah urus akta lahir dan kartu tanda penduduk Aris ke kantor kepala desa, tetapi saya diminta seorang petugas Rp 500.000. Dari mana saya mendapat uang segitu banyak?” kata Warsih.
Warsih juga ingin menyekolahkan Aris kembali agar setelah dewasa bisa mendapat pekerjaan. Namun, Warsih yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani juga tidak punya uang. Ia biasanya bekerja memanen jagung dengan upah Rp 50.000 per hari, tetapi itu pun hanya beberapa kali dalam seminggu.
Keinginan untuk bisa kembali bersekolah sebenarnya ada di lubuk hati Faldo. Namun, Faldo telah mengubur mimpinya menjadi seorang guru. Ia tak mungkin bisa kembali lagi ke sekolah. ”Mau sekolah tetapi siapa yang bayar?” ujarnya.
Pandemi juga memaksa langkah Fahri (12) menempuh jenjang pendidikan berhenti di kelas 5 sekolah dasar. Cita-citanya menjadi dokter pun kandas.
Mimpi Fahri buyar begitu sistem pembelajaran beralih ke sistem daring yang bertujuan mencegah penyebaran Covid-19. ”Enggak punya HP (telepon pintar) untuk belajar online. Sempat pinjam tetangga, tetapi ibu enggak ada uang beli paket (internet),” ujarnya.
Ia tinggal bersama ibunya yang bekerja serabutan sebagai tukang cuci pakaian di Kramat Pulo. Sejak setahun lalu, ia tak lagi mengikuti pelajaran sekolah.
Karena tidak ada kegiatan rutin, Fahri mulai ikut-ikutan teman-temannya yang menjadi pengamen. Ibunya tak melarang. Biasanya ia berangkat ke Blok M menggunakan angkutan umum menjelang siang dan pulang selepas maghrib.
Penghasilannya dari mengamen tak menentu. Terkadang di atas Rp 40.000 per hari. Namun, tak jarang ia hanya membawa pulang Rp 20.000.
”Uangnya untuk jajan saja. Kalau dapatnya banyak, dikasih ke ibu juga. Ibu enggak melarang. Yang penting pulangnya jangan terlalu malam,” katanya.
Berbagai program
Anak putus sekolah di usia wajib belajar masih terjadi meskipun jumlahnya terus berkurang. Berbagai program untuk mencegah dan mengembalikan anak putus sekolah juga dilakukan. Di tingkat pusat ada Program Indonesia Pintar/Kartu Indonesia Pintar oleh Kemendikbudristek yang menyasar sekitar 18 juta siswa miskin dan rentan miskin dari jenjang SD-SMA/SMK sederajat.
Pemerintah daerah juga mencari cara untuk mengatasi ancaman putus sekolah. ”Untuk menurunkan angka putus sekolah, yang kami lakukan antara lain pemberian beasiswa dengan nama Kartu Cerdas. Beasiswa ini diberikan oleh pemerintah daerah,” kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta Didik Wardaya.
Pemberian beasiswa Kartu Cerdas itu bertujuan untuk membantu para siswa dari keluarga miskin agar bisa tetap bersekolah. Setiap penerima beasiswa Kartu Cerdas akan mendapat bantuan sebesar Rp 1,5 juta per tahun. Beasiswa itu bisa digunakan untuk membeli peralatan pendukung sekolah, misalnya berupa buku, seragam, dan sepatu. ( FRN/NSA/HRS/ELN/TAM)