Seolah-olah Berita yang Bisa Melenakan…
Kemanusiaan dan moralitas harus menjadi pijakan dalam menghasilkan produk jurnalistik, bukan semata kepentingan serta ”untuk hidup”. Kepercayaan publik harus diraih oleh media.
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. (Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers)
Seminggu menjelang peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (2/2/2022), Dewan Pers menggelar jumpa pers yang melibatkan seluruh anggotanya. Berbagai kegiatan yang diadakan wakil masyarakat pers di negeri ini pada 2021 disampaikan, menggambarkan perkembangan media massa di Indonesia. Ada berita baik, tetapi masih ada pula kabar memprihatinkan dari komunitas pers, termasuk wartawannya.
Sepanjang tahun lalu, Dewan Pers menangani 620 pengaduan sengketa pemberitaan. Jumlah itu meningkat sekitar 17 persen dibandingkan dengan 2020 sebanyak 527 pengaduan. Mayoritas sengketa terkait judul berita yang menghakimi dan abai dalam mengonfirmasi. Hal itu disampaikan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Arif Zulkifli.
Sengketa umumnya melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik yang meliputi independensi wartawan, akurasi berita, memberitakan secara berimbang, dan menerapkan asas praduga tak bersalah. Kebanyakan media yang diadukan mengakui pelanggaran itu (Kompas, 3/2/2022).
Namun, jumlah pengaduan selama dua tahun terakhir itu lebih sedikit daripada tahun 2019, saat negeri ini menggelar pemilu. Pada masa itu, Dewan Pers menerima hingga 861 aduan terkait pemberitaan media massa.
Pelanggaran yang dilakukan pengelola media massa, termasuk wartawan, umumnya sama dengan tahun sebelumnya, termasuk juga tahun 2020 dan 2021. Media massa yang melanggar pun beragam, tak hanya media dalam jaringan (daring), tetapi juga media cetak. Media massa yang melanggar tidak hanya yang belum diverifikasi oleh Dewan Pers, tetapi juga ada yang sudah diverifikasi dan terdaftar.
Mayoritas pengaduan seputar judul yang menghakimi, tak mengonfirmasi, tidak menguji informasi, atau tak melakukan wawancara. Tidak sedikit media massa yang tak secara benar menjalankan dasar-dasar jurnalistik, mematuhi kode etik jurnalistik, antara lain hanya mengutip dari media sosial yang diidentifikasi milik tokoh atau narasumber. Bahkan, ada media yang mengutip dari media lain, atau multilevel quoting, dengan tanpa menyebutkan sumbernya.
Fenomena kutip-mengutip berita dari media lain, tanpa menjelaskan sumber aslinya, yang banyak terjadi di media daring, menjadi pembahasan Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat pada rapat kerja secara daring, 5 Februari 2021. Tahun lalu, dari pengalaman, seorang rekan di Jawa Tengah terkena persoalan kutip-mengutip ini serta dilaporkan oleh seorang pengacara ke Dewan Pers. Bahkan, ia tak ingat lagi media yang pertama kali memuat pernyataan pengacara yang dikutipnya itu.
Kejadian ini mengingatkan pernyataan bintang film asal Amerika Serikat (AS), Denzel Washington, tahun 2016, yang mengkritisi perilaku pekerja media yang lebih banyak mengejar kecepatan dan mengabaikan kebenaran serta etika jurnalistik. Ingin cepat-cepat mengunggah berita, tak peduli sumbernya dari mana. Mengejar klik demi klik.
Semakin cepat sebuah berita diunggah di medianya, harapannya semakin banyak orang yang membaca dan pada gilirannya iklan (adsense) akan melimpah. Realitasnya tak seperti itu.
Konten produk multilevel quoting ini bukanlah berita sesungguhnya. Konten ini menjadi salah satu contoh seolah-olah berita, yang bisa membuat wartawan, editor, atau pimpinan redaksi terlena. Cara mudah mencari berita.
Padahal, berita sebagai produk jurnalistik haruslah menaati kode etik jurnalistik, selain Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta ”aturan” universal jurnalistik. Pengantar Kode Etik Jurnalistik menyebutkan, untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Sejumlah pengelola media bahkan menjadikan ”model” membuat berita dari mengutip media lain atau mengutip tokoh ini sebagai ”model bisnis” untuk menekan biaya.
Baca juga: Kebebasan Pers Sejumlah Negara Asia Tenggara Memburuk
Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik menegaskan, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4 menyatakan, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Seorang wartawan, apalagi pimpinan media, yang membuat berita yang hanya mengutip dari berita di media lain, atau mengutip media sosial narasumber, jelas tidak profesional dalam menjalankan tugasnya dan bisa dianggap membuat berita bohong. Paling tidak, berperilaku bohong. Padahal, wartawan tak boleh bohong meski ia bisa saja berbuat keliru.
Kompetensi wartawan
Juni 2020, Dewan Pers mengingatkan agar media massa selalu menjaga akurasi dalam memberitakan suatu putusan hukum. Hal ini disebabkan banyaknya media massa siber yang keliru dalam memberitakan hasil putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait gugatan terhadap Presiden serta Menteri Komunikasi dan Informatika soal pemutusan akses internet di Papua.
Saat itu tak kurang dari 33 media siber memberitakan Presiden Joko Widodo dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dihukum membayar denda. Padahal, dalam putusan PTUN Jakarta tak ada nama Presiden atau Menkominfo sama sekali. Namun, dalam dunia media siber, nama Presiden Jokowi memang banyak dicari orang. PTUN tak pernah menghukum orang. PTUN mengadili putusan dari pejabat tata usaha negara, tak terkait personal (barang siapa).
Pasal 1 Kode Etika Jurnalistik menegaskan, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pemberitaan putusan PTUN Jakarta yang menyebutkan nama Presiden Jokowi bisa dianggap wartawan tidak akurat, bahkan bisa dinilai beritikad buruk.
Baca juga: Tabloidisasi Pemberitaan Media
Pelanggaran berkaitan dengan berita putusan PTUN Jakarta pada Juni 2020 itu bisa juga dinilai melanggar Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik yang menyebutkan, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pelanggaran terhadap Pasal 1 atau 3 Kode Etik Jurnalistik umumnya terkait dengan daya kreasi dan pengetahuan yang dimilikinya. Kompetensi wartawan. Jika mengacu pada elemen jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang menjadi pegangan jurnalis di seluruh dunia, jelaslah seorang wartawan harus berdisiplin dalam verifikasi. Wartawan juga harus mengedepankan kebenaran serta menjaga agar berita yang dilaporkannya komprehensif dan proporsional.
Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik itu juga mengingatkan kita pada pemberitaan mengenai pernyataan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Februari 2020, yang dimuat media daring nasional. Publik terguncang dengan pemberitaan itu, yang bisa membuat sebagian warga menilai rendahnya kualitas anggota KPAI dan buruknya pengetahuan wartawan/editor yang memuat berita itu.
Di sisi lain, anggota KPAI pun bisa melihat ada niat buruk dari wartawan/media, dengan mengangkat ”sisi lain” pernyataannya sehingga sangat merugikannya. Penafsiran Pasal 1 ini menegaskan, berita seharusnya tak dibikin dengan niat merugikan pihak lain, sengaja ataupun tak disengaja.
Sesuai Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik, wartawan seharusnya selalu menguji informasi yang diperolehnya. Jika dinilai tak masuk akal, seharusnya tidak dipaksakan untuk tetap dimuat, sekalipun dapat dipastikan mengundang kerumunan (viral).
Berita seharusnya tak dibikin dengan niat merugikan pihak lain, sengaja ataupun tak disengaja.
Dalam kasus pernyataan anggota KPAI, wartawan seharusnya menjaga agar berita komprehensif dan proporsional serta dapat menguji informasi dari narasumber yang diterimanya. Tak menelan begitu saja keterangan dari narasumbernya karena sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, media tak hanya berfungsi sebagai penyebar informasi, tetapi juga mempunyai fungsi pendidikan dan memberdayakan masyarakat.
Bahkan, dalam tradisi masyarakat Eropa, bermedia (massa) merupakan bagian dari budaya serta membangun peradaban. Maka, perkembangan media massa arus utama sangat dijaga karena sekaligus menjaga peradaban masyarakat. Verba volant scripta manent (yang dibicarakan akan cepat menguap, yang tertulis lebih bertahan lama).
Di sisi lain, pekerja media pun menjaga kualitas karyanya karena karyanya adalah produk budaya dan peradaban. Kondisi ini belum sepenuhnya disadari oleh pengelola media di Indonesia.
Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Cerita tentang tindakan wartawan senior, anggota PWI, berinisial EM, yang ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian berpotensi juga, jika dinyatakan sebagai produk jurnalistik, melanggar Pasal 8 ini. Namun, pertanyaan awalnya adalah apakah yang dilakukan oleh EM merupakan produk jurnalistik atau berita? Atau, seolah-olah berita saja.
Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik menegaskan, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita…. Bukan membuat berita atau berposisi sebagai narasumber. Jurnalis dalam posisinya bisa menjadi narasumber berita, tetapi pada saat bersamaan, dia tidak dapat sekaligus menjadi wartawannya.
Tahu diri, tahu posisi, ini akan membantu wartawan untuk bisa terhindar dari persoalan hukum, termasuk pelanggaran kode etik jurnalistik. Semestinya cuma wartawan yang berjenjang utama, atau memiliki keterampilan, yang bisa menjadi narasumber.
Kompetensi wartawan tak hanya menyangkut kemampuan teknis jurnalistik, tetapi terkait pula kematangan pribadi. Mampu menjaga jarak dan menyediakan ruang dialog bagi publik.
Tantangan kini bagi pimpinan media, organisasi wartawan/perusahaan pers, dan Dewan Pers adalah melahirkan wartawan yang kompeten secara utuh. Budayawan GP Sindhunata menulis, wartawan pada awalnya pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak. Kita hadir di lapangan dan memanfaatkan momen di lapangan, di mana kita harus berhadapan dengan fakta, ketika fakta itu belum tersentuh campur tangan kita, apa pun jua.
”Jujur terhadap fakta, itulah sebenarnya moralitas jurnalistik….” (GP Sindhunata, Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas: Harga Sebuah Visi, PT Gramedia Pustaka Utama, 2019).
Budayawan Goenawan Mohamad menambahkan, menulis atau menyampaikan berita sesungguhnya adalah sebuah laku moral. Laku moral itulah yang membedakan wartawan dengan pencerita lainnya.
Jakob Oetama mengingatkan, merumuskan berita (fakta dan kebenaran) yang ditulis seorang wartawan seharusnya tetap disandarkan pada nilai kemanusiaan. Humanisme yang transendental. Kemanusiaan dan moralitas haruslah menjadi pijakan dalam menghasilkan produk jurnalistik, bukan semata kepentingan dan ”untuk hidup”. Kepercayaan publiklah yang harus diraih oleh media.