Prioritaskan Seleksi PPPK untuk Guru Honorer Sekolah Negeri
Sejumlah pihak mendesak agar seleksi guru aparatur sipil negara berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja diprioritaskan bagi guru honorer di sekolah negeri.
JAKARTA – Komisi X DPR RI meminta seleksi guru aparatur sipil negara berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK difokuskan untuk guru honorer di sekolah negeri. Sebab, seleksi guru PPPK tidak semata-mata untuk meningkatkan kualitas guru, namun juga memastikan peningkatan kesejahteraan guru honorer yang menjadi tulang punggung penyelenggaraan pendidikan di sekolah negeri di pelosok Tanar Air.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pada tahun 2021 ada 2.063.230 guru di sekolah negeri yang 36 persen atau 742.459 di antaranya bukan PNS.
Ketika menghitung kebutuhan guru, di sekolah negeri seharusnya ada 2.268.716 guru. Setelah mengkalkulasi jumlah guru PNS, CPNS 2019, dan lulusan guru PPPK tahun 2020, didapati kekurangan sebanyak 947.945 guru PNS. Total guru non-PNS yang saat ini ada di sekolah negeri tidak bisa menutup kekurangan guru ini.
Pada tahap 1 Seleksi PPPK yang dimumkan 8 Oktober 2021, sebanyak 173.329 guru honorer sekolah negeri yang dinyatakan lolos. Padahal, ada 322.663 formasi di tahap ini. Ketika tahap 2 dibuka dengan peserta guru honorer sekolah negeri, guru swasta, dan sarjana kependidikan, justru banyak guru honorer sekolah negeri tersingkir. Para guru honorer tersebut kalah bersaing dengan ribuan guru swasta yang sudah memiliki sertifikat pendidikan dan sarjana pendidikan yang sudah bersertifikat pendidik.
Baca juga: Rekrutmen Guru PPPK Perlu Dievaluasi
“Seleksi PPPK Guru untuk sejuta guru bukan semata keinginan untuk meningkatkan kualitas guru. Lebih dari itu, program tersebut merupakan bagian dari afirmasi untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun. Karena itu, kami minta ada evaluasi menyeluruh sebelum pelaksanaan seleksi tahap III,” kata Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda di Jakarta, Sabtu (15/1/2022).
Menurut Huda, Komisi X akan meminta evaluasi total pelaksanaan seleksi guru PPPK. Sebab, pada seleksi tahap pertama dan kedua ada hal-hal yang tidak diantisipasi dengan baik sehingga pelaksanaannya kerap memicu protes banyak kalangan terutama para guru honorer.
Seleksi tahap pertama PPPK, ujar Huda, banyak diprotes karena dinilai tidak ramah dengan guru honorer senior. Mereka memprotes batas kelulusan ujian kompetensi yang terlalu tinggi hingga sosialisasi penanggungjawab gaji dan tunjangan para guru honorer saat lulus seleksi minim. Situasi tersebut memicu kegaduhan sehingga hasil seleksi ditunda.
“Ternyata fenomena protes ini kembali terulang pada seleksi tahap II karena muncul migrasi besar-besaran dari guru honorer yang selama ini mengajar di sekolah swasta ke sekolah negeri setelah lolos seleksi tahap II,” kata Huda.
Komisi X akan meminta evaluasi total pelaksanaan seleksi guru PPPK. Sebab, pada seleksi tahap pertama dan kedua ada hal-hal yang tidak diantisipasi dengan baik sehingga pelaksanaannya kerap memicu protes banyak kalangan terutama para guru honorer
Lolosnya seleksi para guru honorer dari sekolah swasta tersebut memunculkan persoalan baru yaitu distribusi mereka di sekolah-sekolah negeri. Setelah lolos seleksi PPPK Guru dan menyandang status ASN mereka harus memenuhi kebutuhan tenaga pengajar di sekolah-sekolah negeri. Akibatny, guru sekolah negeri yang ada tersingkir. Lalu, sekolah swasta kebingungan karena kekurangan guru berkualitas.
“Persoalan ini tidak diantisipasi dengan baik karena pola pikir penyelenggara seleksi masih memandang kualitas sebagai tolok ukur utama menentukan lolos tidaknya guru honorer dalam seleksi PPPK Guru,” kata Huda.
Baca juga: Lolos Seleksi ASN, Ribuan Guru PPPK Geser Guru Honorer di Sekolah Negeri
Menuntut keadilan
Secara terpisah, Ketua Umum Forum Guru Honorer Negeri Lulus Passing Grade Seluruh Indonesia (FGHNLPSI) Heti Kustrianingsih mengatakan, kebijakan PPPK untuk guru honorer di sekolah negeri harus adil. Saat ini, ribuan guru lulus passing grade tahap I seleksi PPPK. Namun, nasib mereka terkatung-katung karena tidak ada formasi akibat lebih mengutamakan pengangkatan guru di sekolah induk.
“Kami para guru honorer yang sudah lama mengabdi di sekolah negeri, meskipun lulus passing grade di tahap I, tetap sulit dapat formasi. Di tahap II kami dikalahkan banyak guru swasta yang sudah mendapat sertifikat pendidik dan sarjana pendidikan yang juga sudah bersertifikat pendidik. Ini sungguh tidak adil dan kami akan terus berjuang. Namun, sampai sekarang belum ada dukungan dari pemerintah maupun DPR,” kata Heti, guru honorer di sebuah SD negeri di Cilegon, Banten.
Menurut Heti, ada peluang di tahap III nanti lewat optimasi untuk guru honorer sekolah negeri yang lulus passing grade tahap 1. Artinya, mereka akan diprioritaskan untuk mengisi formasi yang ada.
“Tapi, kan, belum tentu formasi yang tersedia cocok dengan mata pelajaran yang diampu guru atau daerahnya. Tetap saja rasanya peluang guru sekolah honorer untuk diangkat jadi guru honorer PPPK kecil. Malah dari seleksi tahap II, sudah ada guru honorer sekolah negeri yang diminta mundur karena akan diisi guru swasta yang bersertifikat pendidik yang lolos seleksi dan afirmasi 100 persen,” kata Heti.
Baca juga: Sekolah Swasta Terancam Kekurangan Guru
Ketua Umum Pengurus Besar Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, PGRI memahami kebijakan PPPK di tengah keterbatasan anggaran yang tersedia. Meski demikian, pola rekrutmen guru dan tenaga kependidikan dalam PPPK perlu diperbaiki. Antara lain, dengan memberikan afirmasi 100 persen kepada guru dan tenaga kependidikan (GTK) yang telah mengabdi minimal lima tahun. Artinya, GTK yang telah mengabdi minimal lima tahun atau lebih, otomatis lulus PPPK sebagai bentuk penghargaan dan loyalitasnya terhadap pendidikan.
Selain itu, GTK yang lulus PPPK tetap ditempatkan di sekolah asalnya sehingga tidak mengganggu aktivitas belajar-mengajar di sekolah tersebut. ”Kami berharap, pemerintah menyelesaikan rekrutmen GTK honorer menjadi GTK PPPK maksimal tahun 2023,” kata Unifah.
Rekrutmen GTK baru di sekolah negeri selanjutnya hanya dengan status PNS atau PPPK dan tidak ada lagi yang berstatus honorer. Untuk itu, pemerintah perlu membuka kembali formasi PNS untuk guru di tahun 2022 dan 2023 mengingat profesi guru harus jadi salah satu profesi diminati oleh anak bangsa yang berdedikasi tinggi, berkompeten, dan mendapat jaminan kesejahteraan yang layak dari negara.
Baca juga: Afirmasi dan Solusi Guru PPPK
“Kami meminta pemerintah menyediakan formasi guru berbasis pemerataan guru yang berimbang dan berkeadilan sesuai kebutuhan daerah karena selama ini distribusi guru tidak merata dan berimbang di sejumlah daerah,” ujar Unifah yang juga Guru Besar di Universitas Negeri Jakarta.
Unifah menekankan perlunya pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh sistem perekrutan guru ASN dengan memperhatikan afirmasi yang berkeadilan bagi para guru honorer yang telah berusia di atas 35 tahun. Di balik berbagai permasalahan guru, beberapa dekade terakhir ini, para guru sebenarnya sudah melakukan banyak inovasi dan berbagai upaya terobosan yang tidak linear, kreatif, dan menyentuh akar persoalan pendidikan yang sebenarnya.
Pemerintah proaktif
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dalam wawancara dengan Kompas untuk menyambut Hari Guru Nasional 2021, mengatakan, sebelum bicara pengembangan guru kita harus memastikan guru bisa fokus pada pembelajaran. Sebelum kita meningkatkan kompetensi mereka, kalau masih tidak memenuhi kebutuhan yang sangat dasar, susah juga menjadi guru yang baik.
“Kalau kesejahteraan tidak terjamin, itu pun sangat sulit jadi guru yang baik. Jadi, salah satu fokus yang kita lakukan tahun ini adalah program guru honorer untuk diseleksi menjadi guru PPPK,” kata Nadiem.
Menurut Nadiem, guru honorer sudah menjadi masalah yang berpuluh tahun. Pemerintah perlu proaktif memperjuangkan untuk mereka. “Itu yang sebenarnya kita lakukan selama ini, berjuang untuk mengafirmasi mereka dan formasi. Bahkan, kita sampai datang ke setiap kepala daerah untuk menegosiasikan formasi. Sebab, banyak kepala daerah belum yakin apakah Kemdikbudrisetk punya anggaran besar dan ini sudah kita jamin dan kita berikan hitungan/ kalkusinya. Ini momentum yang sangat besar. Tidak bisa kita bicara kualitas kalau kesejahteraan minimum pun tidak terjamin,” kata Nadiem.