Antara Logika, Iman, dan Hasrat (Seksual) Terlarang
Siapa saja bisa menjadi penjahat seksual, apapun profesi, pendidikan atau agamanya. Akal dan iman saja tak cukup menjaga seseorang dari pelanggaran norma dan pelecehan manusia.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·6 menit baca
Terungkapnya sejumlah kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan, umum dan keagamaan, menunjukkan siapa saja bisa menjadi penjahat seksual, apapun profesi, pendidikan atau agamanya. Akal dan iman saja nyatanya tak cukup menjaga seseorang dari berbuat hal-hal yang melanggar norma dan merendahkan manusia lain.
Pelaku kejahatan seksual, setinggi apapun pendidikan dan keimanannya, adalah orang yang tidak punya sistem kendali diri baik. "Rasionalitas tidak selalu sejalan dengan kendali diri," kata peneliti neurosains dan perilaku sosial yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Taufiq Pasiak di Jakarta, Jumat (7/1/2022).
Kendali diri merupakan fungsi puncak otak manusia, derajatnya lebih tinggi dari kemampuan berpikir rasional atau kalkulatif. Kendali diri itu memungkinkan seseorang menunda kenikmatan atau kepuasan yang bisa mereka raih, baik karena adanya aturan, norma, tekanan lingkungan, maupun keyakinan bahwa penundaan itu akan berbuah lebih manis di masa depan.
Pengendalian diri juga menjadi inti dari ajaran banyak agama. Sistem kendali diri itu dalam otak diatur di bagian korteks prefrontal yang ada di otak bagian depan dan girus singulatus yang menghubungkan antara korteks prefrontal dengan sistem limbik atau pusat emosi manusia.
"Namun, sama seperti otot, pematangan sistem kendali diri di otak itu hanya bisa dilakukan lewat latihan menghadapi tantangan yang dilegitimasi oleh lingkungan," katanya.
Pengendalian diri adalah keterampilan hidup yang harus terus diulang dengan tantangan yang beragam dan intens. Kendali diri tidak bisa dibentuk dengan hapalan. Karena itu, sistem kendali diri seringkali tak berhubungan dengan tingkat pendidikan, banyaknya pengetahuan agama, apalagi tampilan luar atau atribut keimanan seseorang.
Peneliti psikologi kognitif yang juga Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Galang Lufityanto mengatakan, pelaku kejahatan seksual punya kecenderungan kognitif yang tidak tepat. Mereka mengembangkan konsep moral yang membuatnya tidak merasa bersalah meski telah merendahkan orang lain.
Di sisi lain, kejahatan seksual yang dilakukan pendidik, baik di lembaga pendidikan umum maupun agama, terjadi karena kurangnya internalisasi logika dan moralitas yang ada dalam proses pendidikan yang mereka jalankan.
"Pendidik adalah profesi yang penuh totalitas, tidak sekedar mengajarkan pengetahuan tetapi juga membangun karakter siswa. Jika kesadaran profesi pendidik ini tidak tumbuh, maka kompas moral mereka tak akan terbangun," katanya.
Kekerasan seksual terjadi bukan karena seks semata, tetapi penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas dari relasi yang tidak setara, baik terkait status sosial, pekerjaan, gender, usia, pendidikan, atau status mereka dalam institusi pendidikan atau agama.
Sementara itu, Ketua Kelompok Studi Gender dan Kesehatan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya yang juga Mitra Pendiri Savy Amira Women's Crisis Center Surabaya NK Endah Triwijati mengatakan kekerasan seksual terjadi bukan karena seks semata, tetapi penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas dari relasi yang tidak setara, baik terkait status sosial, pekerjaan, gender, usia, pendidikan, atau status mereka dalam institusi pendidikan atau agama.
Repotnya, makin tinggi status seseorang, makin canggih atau lihai pula mereka dalam mengendalikan seseorang hingga pelecehan yang dilakukan pun makin tersamar.
"Pelecehan seksual tidak terkait dengan persoalan logika dan moral," katanya.
Selain penyalahgunaan kuasa, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dan keagamaan terjadi karena masih kuatnya budaya yang mengagungkan atau glorifikasi laki-laki hingga pelecehan seksual sering dianggap wajar. Pelaku seringkali tidak dipersalahkan, tapi justru korban yang dianggap menggoda atau memancing pelecehan.
Pengagungan laki-laki juga membuat banyak pelaku pelecehan tak malu menunjukkan tindak merendahkan yang dilakukannya. Bahkan, tindakan itu sering dianggap sebagai pembuktian kelelakian mereka serta besarnya kuasa yang dimiliki. Saat pelecehan itu menjadi persoalan, pelaku cenderung 'diselamatkan' tanpa hukuman yang memberi jera.
"Seks adalah alat paling kuat yang sering digunakan laki-laki untuk membuktikan kehebatannya," katanya.
Kekerasan seksual terjadi karena kelindan antara persoalan pribadi dan lingkungan. Karena itu untuk mencegah terus berulangnya tindak perendahan martabat manusia ini, perbaikan dari dua sisi itu perlu dilakukan bersama.
Menurut Taufiq, seks adalah hal yang sakral karena mendukung penciptaan dan keberlanjutan regenerasi manusia. Namun, dorongan seks bisa menjadi kotor jika dorongan itu mengarah pada individu atau cara yang salah sesuai norma yang berlaku di masyarakat. Karena itu, dorongan seksual yang tidak tepat itu perlu dikendalikan.
Untuk itu, kendali diri perlu diajarkan di sekolah dalam dalam pendidikan moral atau agama maupun dalam pola asuh keluarga. Kebutuhan pendidikan keterampilan mengendalikan diri ini makin besar karena di era teknologi yang serba instan, cepat, dan mudah ini membuat pengendalian diri makin jadi persoalan rumit.
Lihatlah betapa banyak orangtua kesulitan mengendalikan permintaan anak yang impulsif, mulai dari menonton gawai hingga meminta barang-barang konsumtif. Bahkan dalam berbagai kasus, ketidakmampuan anak menunda kepuasan dan menghargai norma yang ada itu sering berakhir dengan tindak kekerasan pada orangtua. Jika sistem kendali diri itu tidak terbangun, saat dewasa, individu tersebut akan sulit mengontrol dorongan impulsif yang muncul, termasuk dorongan seksualnya.
Namun untuk bisa mengendalikan diri dengan baik, butuh dukungan lingkungan. Lingkungan yang membiarkan terjadinya kekerasan seksual justru berbahaya karena memberikan contoh pada anak dan masyarakat bahwa kekerasan seksual itu seolah bisa 'dibenarkan' jika dilakukan orang yang memiliki kuasa atau otoritas.
"Budaya kolektif masyarakat juga cenderung 'melindungi' pelaku kejahatan seksual demi menjaga keutuhan atau nama baik kelompok," kata Taufiq. Karakter ini cenderung berbeda dengan masyarakat Barat yang individualis hingga kasus kekerasan seksual lebih cepat terungkap.
Endah menambahkan, penting untuk terus mengenalkan masyarakat tentang kekerasan seksual. Pandangan korban tidak pernah salah dan apapun kondisi psikologis dan status sosial pelaku tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan kejahatan seksual perlu terus ditanamkan. Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pun perlu segera disahkan dan diadopsi guna menekan peluang terjadinya kejahatan seksual.
Di tingkat individu, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang membangun refleksi diri dan penghargaan terhadap orang lain juga perlu dilakukan sejak dini. Ayah dan ibu harus terlibat aktif dalam pengasuhan keluarga yang setara hingga kekerasan berbasis gender dalam keluarga bisa segera diakhiri.
Sementara itu, Galang menegaskan perlunya memperkuat kontrol dalam lembaga pendidikan. Di antara dosen atau guru dengan mahasiswa atau murid terdapat kesenjangan kuasa yang besar. Apalagi sistem pendidikan di Indonesia masih menempatkan dosen dan guru sebagai pihak yang memiliki kuasa sosial besar serta sumber rujukan informasi dan referensi.
"Dalam kesenjangan itu, pengajar akan menjadi pengendali. Jika moralitas mereka kurang, dosen atau guru akan merasa bisa melakukan apa saja dan harus diikuti mahasiswa atau muridnya," katanya.
Lembaga pendidikan perlu memiliki komisi etik atau lembaga yang mudah diakses mahasiswa atau murid untuk melaporkan pengajar mereka yang melanggar etik atau pihak lain yang melakukan kejahatan seksual. Keberadaan lembaga ini penting untuk memonitor agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau ketidakadilan di lembaga pendidikan. Namun, pengelola lembaga harus independen dan bisa dipercaya sehingga tidak mempersulit korban atau saksi mata untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi.