Pendidikan, kesehatan, dan pendapatan tinggi tak menjamin kebahagiaan. Pembangunan ekonomi dan sosial perlu berjalan beriringan agar penduduk sejahtera dan bahagia.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·5 menit baca
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sering dijadikan sebagai alat ukur kualitas manusia. Nyatanya, banyak daerah yang memiliki IPM tinggi justru memiliki Indeks Kebahagiaan Indonesia (IKI) yang rendah. Karena itu, pembangunan ekonomi perlu diselaraskan dengan pembangunan sosial agar masyarakat tak hanya sejahtera tetapi juga bahagia.
Indeks Kebahagiaan Indonesia (IKI) 2021 yang diluncurkan Badan Pusat Statistik pada akhir Desember 2021 menempatkan banyak provinsi dengan IPM tinggi justru memiliki nilai indeks kebahagiaan yang rendah. Sebaliknya, daerah yang paling bahagia justru provinsi-provinis yang memiliki IPM rendah.
Indeks Kebahagiaan Indonesia (IKI) 2021 yang diluncurkan Badan Pusat Statistik pada akhir Desember 2021 menempatkan banyak provinsi dengan IPM tinggi justru memiliki nilai indeks kebahagiaan yang rendah.
Seluruh provinsi di Jawa yang memiliki IPM tinggi dan sangat tinggi justru memiliki peringkat IKI di separuh terbawah. DKI Jakarta sebagai provinsi dengan IPM tertinggi, hanya ada di peringkat ke-27 pada IKI 2021. Sementara tiga provinsi paling bahagia diduduki provinsi dari Indonesia timur. Maluku Utara jadi provinsi paling bahagia sejak IKI 2017 meski IPM 2021-nya ada di peringkat ke-28.
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Depok, Turro S Wongkaren di Jakarta, Senin (3/1/2022), mengatakan, IPM dan IKI mengukur hal berbeda meski indikator dalam IPM digunakan sebagai bagian dari indikator IKI.
IPM sejatinya disusun untuk mengukur kemampuan seseorang memilih, bukan menghitung kualitas manusia. Dengan pendidikan, kesehatan dan pendapatan yang baik, seseorang punya daya untuk menentukan cara hidupnya, termasuk pola konsumsi mereka. IPM diukur berdasarkan kondisi obyektif hingga lebih mudah dibandingkan antarwilayah atau negara dalam rentang waktu berbeda.
Sementara IKI disusun berdasarkan kerangka pengukuran yang dikembangkan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). IKI bersifat subyektif karena diukur berdasarkan jawaban responden. Akibatnya, standar kebahagiaan setiap orang akan berbeda bergantung pada kondisi diri, situasi lingkungan, tempat, ataupun waktu survei.
Tiga indikator IPM: pendidikan, kesehatan, dan pendapatan menjadi bagian dari 19 indikator yang diukur dalam IKI yang masuk dalam dimensi kepuasan hidup. Meski demikian, bobotnya pun rendah. Bobot tertinggi indikator IKI diberikan pada indikator perasaan senang, tidak cemas, dan tidak tertekan yang ada dalam dimensi perasaan.
”Dari indikator yang digunakan dalam menghitung IPM dan IKI, kemungkinan terjadinya inkonsistensi di antara kedua indeks tersebut sangat besar,” tambah Sukamdi, peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan yang juga dosen Departemen Geografi dan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ketidakselarasan itulah yang membuat negara-negara maju dengan pendapatan per kapita tinggi tidak selalu menjadi bangsa yang bahagia. Situasi itu pula yang tergambar dalam perbedaan peringkat IPM dan IKI di Indonesia. Inilah paradoks Easterlin yang sejak 1974 sudah menengarai bahwa kemiskinan atau tingkat pendidikan tidak selalu berhubungan dengan tingkat kebahagiaan.
Selain itu, lanjut Turro, Survei Pengukuran Tingkat Kebahagian (SPTK) sebagai dasar pengukuran IKI dilakukan pada 1 Juli-27 Agutus 2021. Ini adalah masa puncak kedua pandemi Covid-19. Banyak kabupaten/kota di Jawa mengalami lonjakan Covid-19 tinggi sehingga wajar apabila nilai dimensi perasaan dalam IKI di wilayah tersebut rendah.
Nilai dimensi perasaan IKI 2021 seluruh provinsi di Indonesia turun dibandingkan IKI 2017. Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat adalah provinsi dengan peringkat nilai dimensi perasaan terendah 1, 2, dan 4. Penurunan nilai dimensi perasaan IKI Banten juga yang paling tinggi di Indonesia. Tak hanya itu, nilai dimensi kepuasan hidup Banten juga terendah di Indonesia, sedangkan nilai dimensi makna hidup Banten terendah kedua hingga akhirnya Banten menjadi provinsi dengan tingkat kebahagiaan terendah dalam IKI 2021.
Namun yang menjadi kekuatan di Jawa adalah perbedaan tingkat kebahagiaan antara masyarakat kota dan desa tidak terlalu tinggi. Kondisi ini berbalik dengan provinsi-provinsi di luar Jawa dengan IKI tinggi yang lebih banyak ditopang oleh masyarakat perkotaan sebagai akibat jomplangnya tingkat kebahagiaan masyarakat kota dan desa di sana.
Tekanan penduduk
Jawa yang memiliki penduduk sekitar 141 juta jiwa dan menjadi pulau terbanyak penduduknya di dunia membuat tekanan hidup di wilayah ini menjadi tinggi, khususnya di kota-kota besarnya. Cepatnya ritme hidup, besarnya tekanan ekonomi, serta pola relasi yang lebih individual rentan menimbulkan berbagai persoalan sosial yang mengurangi kebahagiaan masyarakatnya.
Meski IKI provinsi di Jawa rendah, Sukamdi mengingatkan pentingnya melihat indikator-indikator dengan nilai yang rendah, bukan melihat nilai agregrat IKI. Dengan demikian, daerah bisa fokus memperbaiki indikator bernilai yang rendah hingga tingkat kebahagiaan masyarakat bisa lebih cepat diperbaiki.
”Jika mengacu pada tataran normatif ideal, tujuan pembangunan adalah membuat orang bahagia. Memiliki pendidikan tinggi, kualitas kesehatan baik, dan pendapatan tinggi saja tidak cukup membuat orang bahagia. Karena itu, indikator dalam IKI juga perlu diperhatikan dalam pembangunan,” tambahnya.
Sementara Turro menilai pentingnya menyelaraskan pembangunan ekonomi dan sosial. Meningkatkan kualitas hidup, tingkat pendidikan dan besaran pendapatan masyarakat penting. Namun itu perlu dibarengi dengan pembangunan sosial.
Penciptaan lapangan kerja yang besar perlu guna menekan tingkat kemiskinan. Akan tetapi, itu harus dibarengi dengan penyediaan sistem jaminan sosial dan perlindungan kerja yang baik serta gaji layak. Dengan demikian, masyarakat bisa bekerja, mengakses layanan kesehatan dan pendidikan dengan baik, sehingga bisa tetap produktif karena merasa aman dan sejahtera.
”Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada sumber daya alam, tetapi harus beralih ke modal manusia. Modal manusia ini hanya bisa dibentuk jika kita memberi perhatian pada pembangunan sosial yang berkaitan langsung dengan pembangunan ekonomi,” ujarnya.
Perlindungan sosial ini juga harus menyasar kelompok-kelompok yang termarjinalkan dalam pembangunan, seperti masyarakat miskin, penyandang disabilitas, perempuan kepala rumah tangga, dan lansia telantar.
Menurut Turro, sebenarnya Indonesia telah memiliki konsep Trilogi Pembangunan di era Ode Baru, yaitu pembangunan ekonomi yang berfokus pada pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Ketiga hal itu saling terkait dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera dan bahagia.
Namun, konsep ini akhirnya ditinggalkan seiring jatuhnya Orde Baru. Akibatnya, pembangunan sering terfokus pada pertumbuhan semata serta mengabaikan pemerataan dan stabilitas. Padahal, pemerataan pembangunan penting guna mendukung stabilitas ekonomi dan politik. Jika masyarakat tidak bahagia, stabilitas ekonomi dan politik sulit diwujudkan.
Di sisi lain, pola pembangunan Indonesia masih sangat terkotak-kotak karena setiap kementerian dan lembaga sangat terfokus pada tugas dan fungsinya. Karena itu, peran tiga menteri koordinator menjadi penting agar bisa mengoordinasikan pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas tersebut.
Untuk pemerintah daerah, Sukamdi menambahkan perlunya pemerintah daerah memperhatikan kekhasan yang ada di daerahnya. Memperhatikan IPM, IKI, dan berbagai indeks pembangunan lain memang perlu, tetapi jangan sampai meninggalkan potensi unik yang ada di tiap daerah.
”Tidak akan pernah ada indeks yang ideal untuk mengukur pembangunan. Karena itu hal-hal yang bersifat lokal yang juga menentukan kebahagiaan masyarakat perlu diperhatikan dalam pembangunan,” katanya.