Meski Dihantam Pandemi, Masyarakat Lebih Bahagia
Pandemi menekan mental masyarakat. Namun, spiritualitas yang tinggi dan kuatnya relasi antarmasyarakat membuat masyarakat tetap bisa merasa bahagia.
Selama dua tahun terakhir, pandemi Covid-19 memukul kesejahteraan masyarakat. Turunnya kualitas kesehatan dan ekonomi masyarakat berdampak luas pada berbagai sendi kehidupan. Namun, di tengah berbagai keterbatasan itu, Indeks Kebahagiaan Indonesia 2021 justru meningkat dibanding sebelum pandemi.
Menjelang akhir tahun 2021, Badan Pusat Statistik meluncurkan Indeks Kebahagiaan Indonesia (IKI) 2021. Hasilnya, kebahagiaan masyarakat mencapai nilai 71,49 atau naik dibanding indeks serupa tahun 2017 sebesar 70,69 persen.
IKI itu diperoleh melalui Survei Pengukuran Tingkat Kebahagian (SPKT) 2021 yang dilakukan terhadap 75.000 rumah tangga di 34 provinsi pada 1 Juli-27 Agustus 2021. Data dikumpulkan dengan mewawancarai kepala rumah tangga atau pasangannya dengan pertanyaan yang mencakup 19 indikator dan terbagi dalam tiga dimensi.
Dari seluruh indikator itu, nilai dari 13 indikator meningkat dan tiga indikator turun. Ketiga indikator yang turun nilainya itu adalah ”perasaan tidak khawatir atau cemas” dan ”tidak tertekan” dalam dimensi perasaan serta indikator ”tujuan hidup” dalam dimensi makna hidup. Semua indikator dalam dimensi kepuasan hidup, baik personal maupun sosial, nilainya meningkat.
Baca juga : Memaknai Kebahagiaan di Tengah Pandemi
Sebanyak 11 provinsi memiliki nilai IKI lebih rendah dari rata-rata nasional dengan nilai terendah berasal dari Banten sebesar 68,08, Bengkulu (69,74), dan Papua (69,87). Sementara provinsi yang paling bahagia adalah Maluku Utara (76,34), Kalimantan Utara (76,33), dan Maluku (76,28).
Hasil survei itu menunjukkan bahwa meski masyarakat cemas dan tertekan dengan pandemi Covid-19, nyatanya kebahagiaan mereka justru meningkat dibanding 2-3 tahun sebelum pandemi.
Kepala Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Diana Setiyawati, Minggu (2/1/2022), mengatakan, pandemi memang meningkatkan distres atau stres negatif akibat besarnya tekanan dan perubahan sosial yang harus dihadapi masyarakat. Namun, peningkatannya kemungkinan tidak signifikan di Indonesia.
Munculnya distres, baik akibat cemas dengan penularan penyakit, hilang atau berkurangnya sumber pendapatan, maupun isolasi dan pembatasan sosial, adalah wajar, reaksi normal dalam situasi yang tidak normal. Reaksi yang muncul itu belum bisa dikategorikan sebagai penyakit mental.
Saat menghadapi tekanan, kehidupan masyarakat biasanya terhenti sesaat dan memaksa mereka beradaptasi dengan mengubah strategi hidup. Namun, hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang mengalami distres tersebut mengembangkan masalah mental, apalagi sampai menjadi gangguan atau penyakit mental.
Baca juga : Laporan Kebahagiaan Dunia: Pandemi Tak Memadamkan Semangat Warga
Hal ini dinilai Setiyawati sebagai keunikan masyarakat Indonesia yang menimbulkan banyak kekaguman dari peneliti asing. Meski dihantam berbagai bencana dasyat, baik alam maupun buatan, seperti tsunami, gempa bumi, likuefaksi, longsor, banjir, dan serangan bom yang menewaskan banyak orang dan menimbulkan kerugian materi sangat besar, masyarakat Indonesia cepat bangkit dan kehidupan pun segera pulih.
”Orang Indonesia itu memiliki buffer atau penyangga yang sumbernya spiritualitas masyarakat,” katanya. Spiritualitas ini ditemukan di semua budaya dan agama yang ada di Indonesia.
Peneliti psikologi kebahagian yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Diana Elfida, menambahkan, spiritualitas membuat masyarakat memiliki cara pandang berbeda saat menghadapi bencana.
Orang Indonesia itu memiliki buffer atau penyangga yang sumbernya adalah spiritualitas masyarakat.
Spiritualitas itu membuat masyarakat lebih mudah menerima bencana yang terjadi sebagai cobaan, takdir, ujian untuk naik tingkat keimanan, hingga menandakan mereka mampu menanggung derita yang ada karena yakin Tuhan tidak menguji hambanya di luar kemampuan mereka. Orang Indonesia juga meyakini ada kehidupan lain setelah mati sehingga mereka harus senantiasa berbuat baik selama hidup.
”Dengan spiritualitas, orang bisa belajar, mengasah kreativitas dan potensinya, yang justru tak terasah sebelum pandemi,” katanya.
Spiritualitas membuat orang bisa mengambil hikmah dan bisa mensyukuri apa pun masalah yang dihadapi, termasuk peristiwa yang tidak menyenangkan. Syukur membuat seseorang mudah menemukan sisi positif dari setiap hal yang terjadi, menemukan makna hidup, serta memiliki tujuan hidup lebih terarah sehingga akhirnya lebih mudah merasa bahagia.
Memperkuat spiritualitas
Spiritualitas inilah yang menyelamatkan masyarakat Indonesia dalam menghadapi pandemi. Nilai spiritualitas yang dimiliki membuat masyarakat memiliki pandangan berbeda terhadap hal-hal yang sejatinya tidak mengenakkan, seperti isolasi. Isolasi sering dipandang sebagai penguncian yang memutus hubungan dengan orang lain. Namun, orang Indonesia justru memandang isolasi sebagai kesempatan untuk lebih banyak di rumah dan berkumpul bersama keluarga.
”Nilai-nilai spiritualitas itu yang tidak ditemukan dalam masyarakat Barat yang mengedepankan rasionalitas,” kata Setiyawati. Kondisi itu didukung dengan kuatnya pandangan materialisme yang berakar pada ilmu pengetahuan dan sekulerisasi yang memisahkan sains dengan agama sehingga spiritualitas berbasis agama atau kepercayaan itu tidak muncul dalam masyarakat Barat.
Elfida mengingatkan pentingnya untuk terus memperkuat spirtualitas masyarakat. Orang Indonesia dikenal memiliki religiusitas tinggi, taat dalam menjalankan praktik keagamaan. Religiusitas tidak senantiasa sejalan dengan spiritualitas. Karena itu, penghayatan dan pemaknaan terhadap pengalaman religius perlu terus didorong.
”Religius saja tidak cukup (untuk menjadikan bahagia), tetapi perlu penghayatan yang bersifat spiritual,” tambahnya. Karena itu, aspek-aspek yang terkait ibadah sosial dan kesalehan sosial perlu terus diperkuat dan didorong.
Pandemi juga mengajarkan kuatnya relasi sosial dalam masyarakat menjadi penopang yang membuat masyarakat mampu menghadapi pandemi. Saling membantu dan dukung sesama masyarakat menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan sehingga membuat masyarakat bisa tetap bahagia. Dukungan komunitas ini juga kurang dimiliki masyarakat Barat yang cenderung individualistik.
Di luar persoalan spiritualitas, lanjut Setiyawati, tingkat pendidikan, tempat tinggal, hingga besarnya pendapatan juga memengaruhi kebahagiaan masyarakat. Hal yang bersifat material yang dimiliki akan membantu pemahaman dan pengetahuan masyarakat. Dengan pengetahuan itu, masyarakat bisa beradaptasi lebih cepat dan lebih baik dalam menghadapi pandemi.
Situasi itu selaras dengan hasil SPKT 2021 yang menunjukkan masyarakat kota lebih bahagia dibanding orang desa serta makin tinggi pendapatan dan tingkat pendidikan membuat makin bahagia. Mereka yang memiliki pendidikan dan ekonomi lebih baik menjadikan mereka lebih mudah mengakses teknologi yang kebergantunganya meningkat drastis selama pandemi.
Baca juga : Memaknai Negara Paling Bahagia
Sebaliknya, berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi itu juga menggerus nilai-nilai spiritulitas. Kondisi ini membuat pewarisan nilai-nilai spiritualitas kepada anak oleh keluarga punya andil besar. Namun, ini juga bukan hal mudah seiring banyaknya perubahan yang terjadi dalam keluarga.
Studi yang dilakukan UGM beserta ilmuwan dari sejumlah negara, lanjut Setiyawati, menunjukkan untuk membentuk keluarga tangguh dibutuhkan komitmen, kemampuan menghabiskan waktu bersama keluarga, serta komunikasi yang positif dan hangat. Dengan itu, nilai-nilai spiritualitas bisa diwariskan ke generasi yang akan datang.
Karena itu, andil pemerintah dalam pembangunan keluarga perlu terus diperkuat. Selain berbagai kebijakan ketenagakerjaan yang mendukung orangtua untuk mengasuh anak-anaknya, kursus calon pengantin perlu diperkuat sehingga calon pengantin tidak menghadapi kendala yang besar saat berkeluarga.
Peran pemuka dan tokoh agama pun perlu diperkuat. Mereka bukan hanya berperan mendorong spiritualitas masyarakat, tetapi juga bisa membantu penanganan berbagai persoalan mental akibat terbatas dan tidak meratanya tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia.