64.000 Permohonan Dispensasi Perkawinan Diajukan Sepanjang Tahun 2020
Bahaya perkawinan anak hingga kini belum banyak disadari masyarakat. Bahkan, saat pandemi Covid-19 pun perkawinan anak terus terjadi dengan berbagai alasan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkawinan anak masih terus berlangsung meskipun undang-undang yang mengatur batas usia minimal untuk perkawinan menjadi 19 tahun sudah direvisi lebih dari dua tahun. Bahkan, selama masa pandemi Covid-19, permohonan dispensasi perkawinan meningkat menjadi 64.000 permohonan. Perkawinan anak yang tidak melalui permohonan dispensasi diperkirakan jauh lebih besar lagi.
Demikian terungkap dalam Diskusi publik ”Menguatkan Implementasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 untuk Mencegah Praktik Perkawinan Anak di Indonesia” yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) didukung oleh Oxfam Indonesia, Rabu (29/12/2021).
”Tantangan dalam implementasi kebijakan perkawinan anak juga masih cukup kuat, terutama ketika menghadapi cara pandang budaya dan agama yang masih memaknai perkawinan anak sebagai hal yang lumrah,” ujar Sekretaris Jenderal KPI Mike Verawati.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 1/1974 tentang Perkawinan mengubah batas usia perkawinan yang sebelumnya 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki menjadi 19 tahun untuk perempuan dan laki-laki.
Perubahan tersebut merupakan langkah maju yang diambil oleh negara mengingat angka perkawinan anak di Indonesia yang cukup serius, apalagi Indonesia menjadi negara kedua dengan praktik perkawinan anak tertinggi di Asia Tenggara. Selain UU 16/2019, pemerintah juga meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak. Akan tetapi, di lapangan hingga kini perkawinan anak terus terjadi. Bahkan, masa pandemi kondisi perkawinan anak meningkat.
Rohika Kurdniadi Sari, Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan, data Mahkamah Agung memperlihatkan, permohonan dispensasi perkawinan pada 2020 mencapai 64.000 perkara atau meningkat lebih dari 200 persen dibandingkan dengan tahun 2019 yang sekitar 24.000 perkara. ”Masih banyak yang mengajukan permohonan, ada data yang menyebutkan 1,2 juta yang perempuan menikah di bawah usia 18 tahun,” ujar Rohika.
Ia menegaskan, selain yang tercatat di MA, ada perkawinan anak yang tidak tercatat. Hal itu justru menjadi pekerjaan rumah terbesar dalam mencegah perkawinan anak.
Peneliti Indonesia Judicial Research Community (IJRS), Bestha Inatsan Ashila, mengungkapkan, analisis putusan perkara dispensasi tahun 2019 oleh The Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) menemukan bahwa lebih dari 95 persen perkawinan anak terjadi tanpa mengajukan permohonan dispensasi kawin sesuai dengan persyaratan dalam hukum Indonesia.
”Usia rata-rata anak perempuan dalam perkara dispensasi kawin 14,5 tahun dan usia rata-rata anak laki-laki 16,5 tahun. Sebanyak 99 persen, permohonan dispensasi kawin yang diajukan ke pengadilan, dikabulkan oleh hakim,” ujarnya.
Selain itu, 1 dari 2 anak tidak didengar keterangannya. Hanya 55 persen putusan yang secara jelas mencatumkan bahwa anak yang dimintakan dispensasi kawin hadir dan didengar keterangannya di pengadilan. Temuan lain adalah 1 dari 4 perempuan dalam perkara perceraian, menikah ketika mereka anak-anak.
Selain cara pandang masyarakat yang masih melihat perkawinan anak bukan persoalan serius, faktor budaya dan situasi kondisi ekonomi masyarakat pada masa pandemi ikut melanggengkan perkawinan anak. Oleh karena itulah, sosialisasi dan upaya penghapusan praktik perkawinan anak harus dilakukan lebih masif dan lebih serius, termasuk meningkatkan kolaborasi semua pihak untuk menyelamatkan anak-anak dari bahaya perkawinan anak.
Usia rata-rata anak perempuan dalam perkara dispensasi kawin 14,5 tahun dan usia rata- rata anak laki-laki 16,5 tahun
Menurut Mike, di tahun ke-3 pascapengesahan UU No 16/2019, percepatan kebijakan, mekanisme hukum, dan penguatan norma dalam masyarakat untuk menyelamatkan generasi muda dari bahaya perkawinan anak semakin mendesak dilakukan.
Mardi Candra, Hakim Yustisial MA, menyampaikan, MA telah melakukan inovasi dan strategi untuk mencegah perkawinan anak dengan menerbitkan Peraturan MA (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin. Perma tersebut merupakan regulasi tertinggi dari produk kewenangan atributif MA.
”Artinya apa? MA itu sudah sangat maksimal, tidak ada lagi produk hukum tertinggi, kecuali perma. Perma tersebut sebagai payung hukum bagi hakim ataupun referensi bagi masyarakat luas,” ujar Mardi.
Sementara itu, meskipun Kementerian Dalam Negeri tidak secara eksplisit memiliki program pencegahan perkawinan anak, perlindungan perempuan dan anak tetap mendapat perhatian. Misalnya, dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan, seperti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tentang Perencanaan dan Penganggaran dalam Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, atau SE Mendagri tentang Pembentukan Kelembagaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak.
Sebagai tindak lanjut, Kemendagri juga mendorong sinergi dan kolaborasi dalam mencegah perkawinan anak. ”Pemerintah membangun dialog kerja sama dengan para pemangku kepentingan di tingkat daerah untuk memprioritaskan isu perkawinan anak dan mendorong strategi implementasi yang tepat sesuai dengan perkembangan kondisi daerah masing-masing,” kata Parulian Siagian, Analis Kebijakan Ahli Muda Kemendagri.
Bahkan, Parulian menegaskan, untuk menjamin pencegahan perkawinan anak dilaksanakan oleh pemerintah daerah, harus dipastikan dulu hal itu tercantum dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah.