Pandemi Covid-19 mendorong percepatan transformasi digital pada museum di seluruh dunia. Namun, transformasi itu mesti menyeluruh, tidak hanya memindahkan data analog menjadi data digital.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi museum tidak sekadar mengubah format koleksi dari analog menjadi digital. Digitalisasi mesti dilakukan secara menyeluruh, seperti merancang pengalaman pengguna di laman museum, menganalisis kunjungan audiens secara virtual, hingga membuat konten digital.
Menurut anggota Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia Ghilman Assilmi pada Senin (6/12/2021), penting bagi pengelola museum untuk memahami tahap-tahap transformasi digital. Dengan demikian, pengelola museum bisa mengidentifikasi posisinya saat ini, kemudian mampu merencanakan tahap selanjutnya dengan optimal.
Ada tiga tahap transformasi digital. Pertama adalah digitasi, yaitu memindahkan data analog menjadi data digital. Kedua digitalisasi, yakni pengolahan, analisis, dan distribusi data digital agar bisa diakses publik. Terakhir transformasi digital, yaitu pemanfaatan teknologi dalam semua aspek permuseuman, seperti pembelian tiket museum hingga kunjungan museum secara virtual.
”Memahami ketiganya membuat kita tahu di mana posisi kita sekarang untuk mencapai tahap terakhir, yaitu transformasi digital,” kata Ghilman pada diskusi Digitalisasi sebagai Solusi Museum Masa Kini oleh Museum Kebangkitan Nasional.
Transformasi digital pada museum penting untuk beradaptasi dengan perubahan sosial akibat pandemi Covid-19. Di sisi lain, transformasi digital memudahkan masyarakat untuk mengakses museum.
Digitasi pun tidak hanya berfungsi untuk manajemen koleksi di museum, tapi juga untuk riset. Pelibatan para peneliti hingga talenta digital dinilai mampu membuka peluang pengembangan narasi koleksi museum ke depan.
Ghilman mengatakan, transformasi digital perlu dilakukan secara menyeluruh. Pengelola mesti membuat kerangka kerja transformasi digital museum, mulai dari rencana membangun pengalaman pengunjung virtual (user experience) hingga sistem operasi museum.
Menurut anggota Asosiasi Museum Indonesia Kresno Yulianto Soekardi, teknologi memungkinkan pengelola museum berinovasi. Mereka berpeluang menciptakan pengalaman berkunjung ke museum yang baru dan segar. Hal ini penting karena masyarakat kini cenderung mencari informasi dan hiburan secara daring.
Pameran lukisan di Museum Louvre, Paris bisa menjadi contoh. Pada 2019, pengelola museum meluncurkan program Mona Lisa: Beyond the Glass yang menggunakan teknologi virtual reality (VR). Pengunjung dapat mengamati lukisan Mona Lisa secara dekat, serta mempelajari teknik dan proses pembuatan lukisan karya Leonardo da Vinci tersebut.
Selain itu, Kresno juga mendorong agar pengelola museum mengembangkan konten digital untuk mempromosikan museum. Konten ini perlu didukung dengan infografik serta narasi yang singkat dan padat. Konten ini pun mesti disebarkan secara daring, baik melalui media sosial, laman museum, hingga nawala atau newsletter.
Pengelola museum perlu mengembangkan konten digital untuk mempromosikan museum. Konten ini perlu didukung dengan infografik serta narasi yang singkat dan padat. Konten ini pun mesti disebarkan secara daring, baik melalui media sosial, laman museum, maupun nawala atau newsletter.
”Web analytics juga diperlukan, yaitu proses menganalisis perilaku pengunjung ke laman museum. Pengelola museum bisa mengidentifikasi pola perilaku dan tren para pengunjung museum,” kata Kresno.
Sebelumnya, pada Mei 2021, Ketua The International Council of Museums (ICOM) Alberto Garlandini mengajak agar museum-museum di dunia, komunitas, lembaga budaya, dan pemerintah untuk bekerja sama menata kembali museum masa depan setelah pandemi. Ini karena museum menjembatani manusia dengan budaya serta mempromosikan partisipasi dan keberagaman. Museum juga merupakan respons terhadap tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi sekarang.
”Krisis ini menunjukkan perubahan adalah jalan ke depan. Kita mesti menjaga momentum ini tetap berjalan,” kata Garlandini.