Anto Teguh Setiawan, yang setiap pagi menyeberang sungai melewati sarang buaya, mewakili perjuangan banyak guru di daerah 3T di Indonesia. Mereka bekerja tak sebatas mencari uang. Mereka mengabdi demi kemanusiaan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Tujuh tahun sudah Anto Teguh Setiawan (33) melewati jalanan berisiko dari tempat tinggalnya ke sekolah. Berjalan kaki dalam kubangan lumpur, menyeberangi sungai selebar 500 meter dengan arus deras, dan ancaman buaya. Pria asal Pekalongan, Jawa Tengah, itu merasa ilmunya lebih bermanfaat di tempat pengabdiannya tersebut, sebuah wilayah terpencil di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Australia.
Sabtu (27/11/2021) pagi, Teguh keluar dari rumah kontrakannya di Desa Bena, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Ia mengendarai sepeda motor berangkat menuju tempat tugas di SMA Negeri 3 Amarasi Timur yang terletak di Desa Enoraen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang.
Setelah 3,5 kilometer perjalanan, ia memarkirkan sepeda motornya di dalam semak, kemudian berjalan kaki menyeberangi sebuah kali selebar lebih kurang 50 meter. Kali itu berlumpur sehingga tidak bisa dilewati kendaraan. Tak ada jembatan. Jalur itu masih berupa jalan setapak di tengah hutan.
Lepas dari kali, ia berjalan kaki sejauh 1 kilometer dengan kondisi jalanan becek. Pada musim hujan seperti saat ini, kubangun lumpur bertebaran di mana-mana. Ia terus berjalan hingga tiba di tepi Sungai Noelmina, sungai yang membatasi Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Lebar sungai itu bervariasi. Ia lalu mencari lebar terpendek, sekitar 500 meter. Di tengah arus sungai yang deras akibat hujan, ia bersiap menyeberang. Seragam, buku, dan barang bawaan lainnya dibungkus dalam tas kemudian diangkat melewati kepala.
Perlahan ia melangkah, mencari pijakan batu besar. Batu yang berjejer biasanya tergeser arus air. Sesekali salah pijakan membuat tubuhnya anjlok hingga air mencapai batang leher. Ia pun berjalan sambil menahan rasa takut dengan buaya yang biasa bermain di sungai itu. ”Tadi saya sempat lihat jejak kaki buaya di pinggir sungai,” katanya.
Setelah menyeberangi sungai dan mengenakan pakaian, ia kembali berjalan kaki menuju kampung terdekat, kemudian menunggu jemputan ojek melanjutkan perjalanan sejauh lebih kurang 5 kilometer ke sekolah. Total waktu tempuh dari rumah ke sekolah sekitar dua jam. ”Kalau air sungai naik, saya tidak berani menyeberang. Pulang ke rumah saja,” ujarnya.
Sungai Noelmina menjadi medan terberat yang dilaluinya. Sudah banyak warga yang hanyut terbawa air. Ada yang selamat, ada yang ditemukan tak bernyawa, dan ada pula yang hilang sampai saat ini.
Sungai Noelmina menjadi medan terberat yang dilaluinya. Sudah banyak warga yang hanyut terbawa air. Ada yang selamat, ada yang ditemukan tak bernyawa, dan ada pula yang hilang sampai saat ini. Lalu, mengapa Teguh tidak mencari kontrakan di dekat sekolahnya?
Teguh tidak sendirian. Ia bersama istrinya, Hamasah (33), tinggal di Kampung Bena. Istrinya yang juga sama-sama dari Pulau Jawa kini mengajar di SMP Noemuke yang berjarak sekitar 21 kilometer dari Bena. Beruntung, jalan menuju sekolah Hamasah relatif baik untuk dilewati kendaraan roda dua.
Sudah tujuh tahun Teguh melewati rute itu. Ia datang ke sana setelah lulus sebagai peserta Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM3T). Daerah itu masih tergolong 3T. Dari Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT, butuh waktu perjalanan hingga 12 jam dengan medan rusak berat. Tak ada sinyal internet. Daerah itu berbatasan dengan Australia.
Selama bertugas, pasangan suami istri yang sama-sama mengajar pelajaran fisika itu selalu pulang ke Jawa, sekali dalam setahun. ”Beberapa tahun sebelumnya, kami merayakan Idul Fitri dengan keluarga di Pulau Jawa karena bertepatan dengan liburan sekolah. Semakin ke sini, Idul Fitri sebelum liburan jadi kami tidak sempat lagi,” kata Teguh.
Hamasah menambahkan, mereka tidak menyesal bertugas di tempat itu. Mereka merasa, ilmu mereka lebih bermanfaat di daerah pedalaman ketimbang di perkotaan, seperti di Pulau Jawa. Mereka juga merasa nyaman dengan perlakuan masyarakat setempat. ”Buktinya, sepeda motor suami saya yang diparkir di semak-semak selama tujuh tahun ini tidak diapa-apain, he-he-he,” ujar Hamasah melempar canda.
Teguh merasa senang, kehadiran dirinya di SMA Negeri 3 Amarasi Timur ikut mendororng dibukanya kelas ilmu pengetahuan alam. Selain mengajar fisika, ia juga bisa mengajar matematika, kimia, dan biologi. Sebelumnya, di sekolah itu hanya ada kelas ilmu pengetahuan sosial. Untuk kelas bahasa belum ada lantaran tak ada guru bahasa asing.
Kehadiran dirinya juga menjadi inspirasi bagi anak sekolah untuk mulai bermimpi meraih cita-cita. Mereka sebagian kuliah menjadi guru dan perawat. ”Yang guru dan perawat itu ada yang sudah kembali dan mengabdi di kampung pedalaman. Mereka ingin membangun kampung mereka. Sampai saat ini, di pedalaman cari guru dan perawat masih susah,” katanya.
Kepala SMA Negeri Amarasi Timur Dina Sekbana menuturkan, kehadiran Teguh membantu siswa di sekolah tersebut dapat mengoperasi internet. Pada ujian nasional tahun ini, Teguh memasang antene penguat sinyal internet sehingga siswa dapat mengikuti ujian nasional secara daring. ”Pak Teguh ini seperti pelita di tengah kegelapan,” ujarnya.
Sekedar melihat rekam digital SMA Negeri 3 Amarasi, tak banyak yang ditampil di mesin pencarian internet. Satu yang menonjol, yakni ada tahun 2018, bangunan sekolah itu sempat roboh lantaran diterjang angin kencang. Wakil Gubernur NTT Josef N Soi sempat berkunjung ke sana. Beberapa bangunan darurat sudah diganti dengan bangunan baru. Sekolah itu kini memiliki 70 siswa.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi mengapresiasi perjuangan Teguh bersama istrinya yang terus mengabdi bagi pendidikan di daerah 3T. Linus mengaku sudah pernah melihat video Teguh menyeberang sungai beberapa tahun lalu. Video itu sempat viral. Linus juga sudah menemui Teguh beberapa waktu lalu saat berkunjung ke SMAN 3 Amarasi Selatan.
Menurut Linus, pengabdian Teguh menjadi inspirasi bagi anak muda di NTT untuk belajar sungguh-sungguh dan mau mengabdi bagi warga di pedalaman. Saat ini pun sudah banyak guru di NTT yang memiliki kisah pengabdian seperti Teguh. Pemerintah akan memberi perhatian lewat berbagi skema kebijakan seperti pengangkatan menjadi guru kontrak provinsi.
Seperti namanya, Teguh tetap teguh pada pendiriannya untuk tetap mengabdi di daerah 3T itu. Belum ada niatan ia dan istrinya untuk mengajukan mutasi dari sana. Mereka mencintai pekerjaan mereka dan tentu generasi muda di daerah itu. Meski setiap hari Teguh melewati rute berisiko seperti melangkah di atas jejak buaya.