Kejahatan seksual, terutama pemerkosaan, hingga kini menjadi ancaman serius bagi perempuan. Namun, dari ribuan kasus yang muncul, hanya segelintir yang berlanjut ke proses hukum.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan menggelar aksi diam dalam peringatan Hari Perempuan Internasional di jalan depan kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, Senin (8/3/2021). Mereka menuntut pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena angka kekerasan seksual masih tinggi, termasuk di Sumbar.
JAKARTA, KOMPAS — Data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menunjukkan, dari 24.786 kasus kekerasan sepanjang tahun 2016-2020, sebanyak 7.344 kasus atau 29,6 persen adalah kasus pemerkosaan. Dari kasus tersebut, hanya kurang dari 30 persen yang diproses hukum.
Rendahnya angka proses hukum pada kasus kekerasan seksual menunjukkan aspek substansi hukum yang ada tidak mengenal sejumlah tindak kekerasan seksual dan hanya mencakup definisi yang terbatas. Selain itu, aturan pembuktian yang membebani korban dan budaya menyalahkan korban serta terbatasnya daya dukung pemulihan korban juga menjadi kendala.
Oleh karena itulah, bertepatan dengan Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (25 November-10 Desember), Komnas Perempuan menyatakan, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) oleh Dewan Perwakilan Rakyat semakin penting mendesak dilakukan.
”Maka, tema kampanye tahun ini adalah mewujudkan payung hukum yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual. Tema dipilih untuk memperkuat dukungan dalam upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan serta perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual,” ujar anggota Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, Rabu (24/11/2021), secara daring.
Untuk itu, Komnas Perempuan mengoordinasikan jaringan masyarakat sipil di berbagai daerah serta menggerakkan publik agar terlibat aktif dalam Kampanye 16 HAKTP dengan menyuarakan pesan ”#GerakBersama dan Suarakan: Sahkan RUU mengenai Kekerasan Seksual yang Berpihak pada Korban”.
Dukungan publik, menurut Veryanto, juga bermakna bagi proses advokasi RUU TPKS yang saat ini memasuki tahap penyusunan oleh Badan Legislasi DPR. Dorongan yang besar perlu dilakukan agar RUU tentang kekerasan seksual benar-benar memuat kebutuhan korban kekerasan seksual.
Sejak tahun 2001, Komnas Perempuan menjadi inisiator sekaligus fasilitator dalam Kampanye 16 HAKTP (16 Days of Activism Against Gender Violence) atau disingkat sebagai K16HAKTP yang diselenggarakan secara nasional.
Karena itulah, bertepatan dengan Kampanye HAKTP 2021, Komnas Perempuan mendorong perwujudan jaminan rasa aman dari kekerasan seksual bagi semua dengan meminta Badan Legislasi segera melanjutkan proses pembahasan RUU TPKS dengan tidak mengabaikan substansi terkait pencegahan, hukum acara pembuktian, pemulihan dan perlindungan hak-hak korban.
Presiden Joko Widodo juga diminta memberikan arahan kepada kementerian/lembaga terkait untuk memperhatikan kasus kekerasan seksual dalam proses penyusunan payung hukum agar RUU TPKS yang dibahas dan disahkan nanti memiliki substansi yang tepat. RUU tersebut bisa menjaga, memelihara, dan membantu ruang-ruang pengaduan untuk penanganan dan pendampingan korban kekerasan seksual dengan tenaga-tenaga ahli yang memiliki kapasitas memadai.
Sangat penting untuk memastikan bahwa substansi RUU tetap pada kepentingan korban sehingga percepatan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS yang berpihak kepada korban segera terlaksana.
”Sangat penting untuk memastikan bahwa substansi RUU tetap pada kepentingan korban sehingga percepatan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS yang berpihak kepada korban segera terlaksana. Penekanan berpihak kepada korban bertujuan agar perlindungan secara utuh bagi korban kekerasan seksual, memutus mata rantai kekerasan seksual, dan menghadirkan pemulihan korban,” tegas Bahrul Fuad yang juga anggota Komnas Perempuan.
Untuk kegiatan kampanye, Komnas Perempuan melakukan serangkaian kolaborasi dengan berbagai organisasi dan jaringan masyarakat sipil, di antaranya Kedutaan Besar Amerika Serikat, Grab Indonesia, BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, dan UN Women Indonesia.
Selain diskusi, webinar dengan berbagai topik akan digelar sepanjang Kampanye 16HAKTP 2021, seperti Webinar Kekerasan dalam Pacaran, serta Peluncuran Think Piece tentang Kekerasan Berbasis Gender Online bersama SAFENet.
Kampanye yang dilakukan bersama jaringan masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan #GerakBersama juga turut mengampanyekan kampanye publik untuk mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang berpihak kepada korban.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan menggelar aksi diam dalam peringatan Hari Perempuan Internasional di jalan depan kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, Senin (8/3/2021). Mereka menuntut pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena angka kekerasan seksual masih tinggi, termasuk di Sumbar.
Lindungi korban KDRT
Sehari sebelumnya, Selasa (23/11/2021), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengajak masyarakat dan aparat pemerintah untuk bersama-sama melindungi korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, khususnya perempuan dan anak sebagai kelompok rentan menjadi korban kekerasan.
Bintang menyatakan prihatin atas kejadian yang menimpa S (21), korban KDRT yang dilakukan suaminya, seorang warga negara asing, AL (29), di Kampung Manjul, Desa Sukamaju, Kecamatan Cianjur. AL dengan keji menyiram air keras dan menyiksa korban hingga meninggal.
”Selama ini kita terus berjuang untuk tidak melanjutkan budaya kekerasan di semua lingkup masyarakat hingga lingkup terkecil, yaitu keluarga. Dalam kelompok masyarakat, perempuan dan anak adalah kelompok rentan sehingga kita semua wajib melindungi dan menghindarkan mereka menjadi korban kekerasan, termasuk kawin kontrak yang juga marak terjadi di daerah,” tegas Bintang.
Pemerintah, lanjut Bintang, wajib memenuhi dan melindungi hak asasi perempuan. UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga telah mengatur langkah-langkah antisipasi lahirnya kekerasan baru dan adanya kejelasan sanksi bagi pelaku kekerasan.
”Kami mengajak masyarakat untuk mengawal kasus ini agar tidak ada lagi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran dalam rumah tangga. Kami juga meminta aparat kepolisian memproses kasus ini sesuai aturan hukum yang berlaku. Tugas kita semua untuk semaksimal mungkin mencegah terjadinya kekerasan di sekeliling kita agar terwujud zero kekerasan,” tutur Menteri Bintang.
Perempuan bebas dari kekerasan sejalan dengan amanat konstitusi karena hal itu merupakan hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945, yang sejalan dengan prinsip Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di semua bidang, seperti sosial, politik, ekonomi, hukum, keamanan, termasuk diskriminasi dalam keluarga.