Meneropong Perkembangan Seni Indonesia dari Kacamata Claire Holt
Perempuan kelahiran Riga, Latvia, bernama Claire Holt (1901-1970) menghabiskan waktu bertahun-tahun di Indonesia untuk meneliti hubungan sejarah seni dan perubahan sosial-budaya Indonesia modern.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Borobudur Writer and Cultural Festival digelar untuk yang kesepuluh kalinya, yakni pada 18-21 November 2021, secara daring. Festival tahunan ini mengkaji perkembangan seni di Indonesia dari buku yang ditulis Claire Holt; Art in Indonesia, Continuities and Change.
Kurator Borobudur Writer and Cultural Festival (BWCF) 2021, Seno Joko Suyono, mengatakan, Claire Holt merupakan saksi mata pertumbuhan seni rupa modern di Indonesia. Hal ini tergambar dalam bukunya yang menggambarkan sejarah estetika Nusantara, kemudian diterbitkan Cornell University Press pada 1967. BWCF 2021 pun mengangkat tema Estetika Nusantara.
Menurut dia, Holt melacak gambar-gambar di goa-goa prasejarah Indonesia untuk memahami estetika Indonesia. Ia juga meneliti peradaban Hindu Buddha, lalu seni rupa modern Indonesia.
”Ia mewawancarai banyak maestro seni lukis Indonesia ketika mereka masih muda, mulai dari almarhum Hendra Gunawan sampai Affandi. Ia juga melakukan perjalanan dari Bali sampai Sulawesi untuk melakukan penelitian tari,” kata Seno pada pembukaan BWCF 2021 secara daring, Kamis (18/11/2021).
Claire Holt (1901-1970) merupakan perempuan kelahiran Riga, Latvia, yang semula bernama Claire Bagg. Pada 1930, ia pergi ke Bali dan terpesona dengan tarian Bali. Ia lalu tinggal selama beberapa tahun di Indonesia, belajar menari di Bali dan Jawa, serta mendalami kebudayaan Indonesia.
Ia pernah menjalani tur tari keliling dunia, antara lain ke Inggris, Amerika Serikat, Perancis, dan Jepang. Pada tahun 1950-an, Holt kembali ke Indonesia untuk meneliti hubungan sejarah seni dan perubahan sosial-budaya Indonesia modern. Holt datang pada masa ketika seni di Indonesia sedang berkembang.
Menurut mantan Direktur Pusat Kebudayaan Perancis Yogyakarta Jean-Pascal Elbaz, Holt mencintai kebudayaan, sejarah, seni, sastra, dan arkeologi Indonesia. Holt dinilai sebagai orientalis atau ahli bahasa, sastra, dan kebudayaan Asia.
Kiprah Holt terhadap studi seni budaya di Indonesia tidak lepas dari pertemanannya dengan dua tokoh lain. Keduanya adalah Willem Frederik Stutterheim (1892-1942) dan Louis Charles Damais (1911-1966).
”Ketiganya cinta kebudayaan, sejarah, seni, dan arkeologi Indonesia. Mereka juga suka musik dan tari. Holt adalah penari, sementara Stutterheim dan Damais adalah musisi. Holt dan Damais adalah poliglot yang menguasai bahasa Inggris, Belanda, Perancis, serta Rusia. Adapun ketiganya adalah anti-kolonialisme,” tutur Elbaz.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, buku yang ditulis Holt melampaui zaman dan masih digunakan sebagai bacaan rujukan hingga kini. Selain mencatat sejarah seni, Holt juga mencatat diskusi atau perdebatan seni yang terjadi. Hal ini dapat menjadi bahan diskusi ilmiah.
”Misalnya, apa seni kontemporer terputus sama sekali dari tradisi? Atau sesungguhnya tradisi menginspirasi generasi-generasi seterusnya untuk mewujudkan renungan dan refleksi tradisi dalam berbagai bentuk seni?” katanya.
Direktur Artistik Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Dance Company Rusdy Rukmatara menambahkan, naskah kuno mengandung kebudayaan dan kearifan lokal Indonesia. Ada sederet nilai yang dapat diadopsi generasi sekarang untuk menghadapi tantangan hidup masa kini.
”Kalau itu bisa diterjemahkan ke dunia atau pemikiran anak muda, BWCF bisa menjadi ajang yang ditunggu masyarakat Indonesia dan internasional,” kata Rusdy.
Adapun rangkaian BWCF 2021 terdiri dari pidato kebudayaan, peluncuran buku, simposium, bedah relief, dan ceramah umum. Ada pula pertunjukan seni musik, tari, teater, dan puisi. Ada pula pemberian penghargaan tahunan Sang Hyang Kamahayanikan Award untuk perupa Srihadi Soedarsono.