Endog-Endogan dan Pesan yang Tersimpan Saat Maulid Nabi
Endog-endogan bentuk sukacita warga Banyuwangi merayakan Maulid Nabi. Catatan tertua tradisi ini ditemukan pada laporan Raden Sudira yang diperkirakan ditulis tahun 1932. Artinya, tradisi itu sudah ada sebelum 1930-an.
Maulid Nabi dirayakan di sejumlah daerah dengan berbagai cara. Di Banyuwangi, Jawa Timur, arak-arakan kembang telur menjadi salah satu yang khas di setiap perayaan Maulid Nabi.
Orang Banyuwangi biasa menyebut tradisi tersebut dengan nama endog-endogan. Dalam Bahasa Jawa, endog berarti telur. Umumnya telur yang digunakan saat ini ialah telur ayam.
Telur tersebut mula-mula direbus hingga matang. Selanjutnya, kertas warna-warni digunakan untuk menghias telur-telur tersebut. Telur yang dihias itu lantas ditusuk menggunakan bilah bambu. Selanjutnya, bilah-bilah bambu yang sudah ditusuk telur tersebut ditancapkan ke batang pohon pisang. Batang pohon pisang seolah menjadi pohon telur yang rimbun dan meriah karena hiasan warna-warni.
Tak cukup sampai di situ, pohon telur tersebut lantas diarak oleh anak-anak berkeliling kampung di sekitar masjid. Anak-anak mengaraknya sembari melantunkan shalawat.
Tradisi lama
Penulis buku Islam Blambangan, Ayung Notonegoro, mengatakan, tradisi endog-endogan merupakan tradisi yang sudah lama tumbuh dan berkembang di Banyuwangi. Kalaupun ada tradisi serupa di daerah lain, ia menduga, tradisi itu dibawa oleh perantau asli Banyuwangi ke daerah-daerah lain.
Lantas, sejak kapan tradisi itu muncul di Banyuwangi? Ayung mengatakan, pihaknya belum dapat memastikan kapan tepatnya tradisi itu muncul di Banyuwangi. Namun, ada literatur yang menyebutkan bahwa sejak tahun 1930, tradisi itu sudah ada.
”Catatan tertua tentang tradisi endog-endogan yang kami temukan ialah laporan dari Raden Sudira. Catatan yang diperkirakan ditulis pada tahun 1932 itu sudah menyebutkan tentang tradisi endog-endogan. Kalau di tahun tersebut sudah dituliskan, itu artinya tradisi itu sudah ada sebelum tahun 1932,” ujarnya.
Baca juga : Tradisi Maulid Nabi di Keraton Kanoman Semarak meski Pandemi
Catatan tersebut, lanjut Ayung, ditulis oleh Raden Sudira atas permintaan Th Pegeaud, seorang peneliti kesusastraan Jawa sekaligus pejabat di Java Institute.
Catatan tersebut kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Indonesia. Dalam catatannya, Raden Sudira menulis tentang suguhan yang biasa disajikan dalam acara Maulid Nabi.
Woelan Moeloed, Kawit tanggal 12 sa’oeroete, slametan koempoel ana ring mesdjid, roepa sega keboeli lan sego goerih, dioewoer-oeweri iris-irisan dadar endog, iris-irisan timoen, serondeng, gorengan iwak pitik, iwak sagara, dendeng, aseman, djangan goele iwak wedoes (iwak sapi), djadjan roepa-roepa, woh-wohan lan endog-endogan, pada nganggo (diwadahi) antjak ana oega kang nganggo piring (pandjang) nanging moeng sawatara: kawait djam ½ 9 esoek mangkat dikir-moleoed sampe djam 11 leren noeli slametan kakarene kang dipangan troes dikrekas lan olih sidji oetawa loro endog-endogan.
Lebih kurang catatan itu menyebutkan, pada bulan Maulid atau kelahiran Nabi Muhammad SAW ada tradisi berkumpul di masjid. Ada suguhan nasi kebuli dan nasi gurih dengan taburan telur dadar, irisan timun, serundeng, ayam goreng, ikan, dendeng, aseman, gulai kambing, aneka jajanan, hingga hasil tanam rambat. Makanan itu diwadahi ancak atau tampah atau piring panjang. Makanan itu pun dihidangkan dalam acara zikir Maulid pada pukul 08.30 sampai pukul 11.00. Adapun telur-telur diambil satu atau dua butir untuk dibawa pulang.
Tak hanya itu, Raden Sudira juga menambahkan gambar keterangan pohon endog-endogan. Ia merinci warna dan hiasan yang digunakan dalam pohon endog-endogan tersebut.
Di sana tertulis, telur yang digunakan ialah telur bebek yang diwarnai merah. Adapun hiasan kertas berwarna dipadukan antara warna merah dan hijau. Sementara bilah bambu dililit kertas warna merah dan kuning. Batang pohon pisang dililit kertas merah dan peti tempat mendirikan batang pohon dibungkus kertas putih.
Seperti halnya potongan bambu yang dihias bunga dan buah endog, kelahiran Muhammad digambarkan sebagai peristiwa penuh berkah bagi semesta alam.
Ayung mengatakan, penggunaan telur dan aneka hiasan tersebut menyimpan makna mendalam. Pemaknaan ini dipercaya berawal dari buah pemikiran KH Abdullah Faqih asal Desa Cemoro, Kecamatan Songgon, yang turun-temurun dan tersebar melalui tradisi tutur.
”Ada pesan simbolik yang menggambarkan proses kelahiran Rasulullah. Seperti halnya potongan bambu yang dihias bunga dan buah endog, kelahiran Muhammad digambarkan sebagai peristiwa penuh berkah bagi semesta alam. Pohon bambu yang tak berbunga dan berbuah pun, pada saat kelahiran Nabi, semuanya berbunga dan berbuah,” tuturnya.
Ayung menambahkan, dari tradisi tutur itu pula dikisahkan makna atau pesan yang tersimpan dari wujud telur. Makna itu terinspirasi oleh lapisan telur.
Baca juga : Tradisi Rebutan Sambut Maulid Nabi Muhammad SAW di Sidoarjo
Kulit telur dinilai sebagai lambang keislaman, ini merupakan identitas seorang Muslim. Sementara putih telur melambangkan keimanan. Warna putih tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang beragama Islam harus memiliki keimanan yang suci dan bersih dengan memercayai dan melaksanakan perintah Allah.
”Sedangkan kuning telur melambangkan keihsanan. Seorang Islam yang beriman akan memasrahkan diri dan ikhlas dengan semua ketentuan Allah,” ucapnya.
Hiasan pohon telur warna-warni itu diarak keliling kampung di sekitar lingkungan masjid. Rute yang dipilih biasanya memutar ke arah sebelah kiri, berlawanan dengan arah jarum jam. Seperti yang ditulis Raden Sugira, tradisi endog-endogan semakin lengkap dengan hidangan sego berkat. Hidangan itu disajikan di atas ancak, merupakan wadah dari pelepah daun pisang dengan alas anyaman bambu.
Budayawan Banyuwangi, Aekanu Hariono, menambahkan, tradisi endog-endogan tak terlepas dari konsep hablum minallah hablum minannas hablum minal alam. Konsep tersebut menggambarkan hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.
Baca juga : Presiden: Tingkatkan Kepedulian, Teladani Nabi Muhammad SAW
”Jelas ini adalah perayaan milad, hari kelahiran Nabi Muhammad yang dirayakan umat-Nya. Penggunaan bahan-bahan dari alam, seperti batang, pelepah, dan daun pisang hingga buluh bambu, menggambarkan hubungan manusia dengan alam. Sedangkan arak-arakan keliling kampung merupakan cara syiar yang menandai hubungan manusia dengan sesamanya,” ujarnya.
Di Banyuwangi, tradisi endog-endogan untuk memperingati Maulid Nabi dirayakan sangat meriah. Anak-anak berkeliling kampung hingga jalan raya sambil melantunkan swalawat. Hampir setiap masjid menggelar tradisi tersebut.
Nah, bagaimana perayaan Maulid Nabi di tempat Anda?