Teater Bisa Menjadi Media Alternatif Pembelajaran Sejarah
Pentas teater tentang sejarah bisa menjadi media alternatif pembelajaran yang menarik.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inovasi metode pembelajaran yang kreatif sangat penting agar generasi muda tertarik belajar sejarah. Pentas teater tentang sejarah bisa menjadi media alternatif pembelajaran yang menarik selama isi konten bisa dipertanggungjawabkan.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Ahmad Mahendra mengatakan, tidak hanya konservasi budaya, pemerintah juga berusaha mendorong inovasi dan ketersambungan budaya ke semua aspek, termasuk pendidikan.
”Selama ini kami mencari cara membangkitkan literasi anak untuk terhubung peristiwa sejarah dan tokoh. Pelajaran umum mereka sudah tahu, tetapi ini bagaimana agar karya itu juga bisa dinikmati, mengandung unsur pendidikan, dan diterima,” kata Mahendra dalam Virtual Press Conference Titimangsa Foundation Hadirkan Seri Monolog bertajuk ”Di Tepi Sejarah”, Senin (20/9/2021).
Untuk mendorong pembelajaran kreatif, Kemendikbudristek menayangkan seri monolog ”Di Tepi Sejarah” yang merupakan hasil kolaborasi Yayasan Titimangsa, Kemendikbudristek, dan KawanKawan Media. Seri ini akan tayang di siaran televisi jaringan Indihome dan Indonesiana, sebuah kanal budaya milik Kemendikbudristek, mulai 22 September 2021.
”Di Tepi Sejarah” adalah seri monolog yang menceritakan tentang tokoh-tokoh yang turut berperan dalam sejarah Indonesia, tetapi nama mereka jarang tersebut. Seri monolog ini mengangkat empat judul monolog, yakni ”Nusa yang Hilang”; ”Radio Ibu”; ”Sepinya, Sepi”; dan ”Amir, Akhir Sebuah Syair”. Seri ini sebelumnya telah tayang di kanal Youtube bernama Budaya Saya, Agustus lalu.
”Sepinya, Sepi”, misalnya, menampilkan Laura Basuki yang memerankan The Sin Nio yang telah menua. Sin Nio adalah perempuan peranakan Tionghoa asal Wonosobo, Jawa Tengah, yang menyamar sebagai prajurit laki-laki bernama Mochamad Moeksin. Sin Nio ikut bergabung bersama para pejuang gerilya untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Mahendra melanjutkan, seri monolog itu ditayangkan karena memiliki nilai dan makna untuk keragaman, mengandung unsur pendidikan, dan mengasah nalar. ”Ini merupakan akumulasi keyakinan untuk hadir di masyarakat dan memberi sudut pandang lain,” tuturnya.
Salah satu produser ”Di Tepi Sejarah”, Yulia Evina Bhara, berpendapat, seri monolog itu dapat memberi kontribusi bagi dunia pendidikan dan sejarah di Tanah Air. ”Ini menjadi media alternatif yang memperkenalkan tokoh-tokoh dan karya lain, seperti tokoh dari tertentu atau tokoh yang belum pernah kita ketahui,” ujarnya.
Berdasarkan riset
Produser ”Di Tepi Sejarah”Happy Salma menambahkan, seri monolog tersebut tidak sekadar mengalihwahanakan cerita dari satu buku ke bentuk pementasan. Namun, para penulis monolog mencari data dan melakukan riset sebelum menyalurkan pemahaman mereka menjadi naskah yang bisa dipertanggungjawabkan.
”Memang ini adalah karya seni sehingga memiliki multi-interpretasi dan kami mengambil referensi dari berbagai sumber. Namun, seri monolog ini keunikannya adalah memberi ruang interpretasi baru tentang tokoh itu berdasarkan riset dan data yang sudah ada. Ini bisa melatih orang untuk mencari data, menghindari hoaks, dan mengkritisi karya ini,” tutur Happy.
Penulis naskah ”Nusa yang Hilang” dan ”Sepinya, Sepi”, Ahda Imran, menceritakan, penulisan naskah hanya membutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga hari. Namun, riset tokoh dalam cerita bisa sampai berminggu-minggu karena cerita atau referensi tentang tokoh kadang tidak tersedia. Data yang sudah diperoleh juga harus diuji lagi kebenarannya.
Bahan untuk ”Nusa yang Hilang” tentang Muriel Stuart Walker atau Ketut Tantri banyak tersedia. Sementara bahan ”Sepinya, Sepi” yang mengisahkan The Sin Nio hanya bisa diperoleh dari tiga artikel berita dari tahun 1980-an. Imran akhirnya harus meminta bantuan teman dari Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang bisa menghubungkannya dengan saudara Sin Nio yang masih hidup.
”Proses penulisan itu bukan hanya menghadirkan dan memperkenalkan tokoh, tetapi juga semacam penafsiran terhadap sosok itu dan melihat bagaimana hal dari masa lalu itu masih aktual. Ini karena kita hanya bisa berteladan pada orang masa lalu,” kata Imran.
Sementara itu, penulis naskah ”Radio Ibu”, Felix Nesi menyebutkan, ”Radio Ibu” bercerita tentang Riwu Ga, seorang laki-laki asal Sabu, Nusa Tenggara Timur, yang pernah menemani Presiden Soekarno dan Ibu Inggit Garnasih semasa perjuangan kemerdekaan. Felix menulis naskah ini sekitar satu setengah bulan. Beruntung dirinya sudah lama mengumpulkan bahan tentang Riwu Ga sehingga ia hanya perlu melakukan riset tambahan di Kupang.