Keterwakilan perempuan tidak sekadar memenuhi angka afirmasi 30 persen, tapi memastikan kebijakan publik yang dihasilkan benar-benar memenuhi hak asasi perempuan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kehadiran perempuan di lembaga publik bukan lagi sekedar sebagai pelengkap untuk menyuarakan agenda politik perempuan semata. Namun, hadirnya pemimpin perempuan akan memberi warna dan kontribusi yang signifikan dalam mendorong terwujudnya kebijakan yang berperspektif jender, inklusif, dan komprehensif.
Peran perempuan sangat penting untuk mendorong pencapaian demokrasi yang substantif pada pemenuhan hak-hak warga negara, termasuk di antaranya kesetaraan dan keadilan. Maka, keterwakilan dan partisipasi perempuan di lembaga perwakilan rakyat maupun lembaga publik untuk pengambilan keputusan politik dan perumusan kebijakan publik menjadi hal yang mutlak dilakukan.
Karena itulah, bertepatan dengan Hari Demokrasi Internasional pada 15 September lalu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan partai politik agar lebih berkomitmen dalam mewujudkan kepemimpinan perempuan dalam segala tingkatan melalui pengkaderan terstruktur dan sistematis.
Pemerintah diminta lebih bersungguh-sungguh dalam memberi akses seluas-luasnya bagi kepemimpinan perempuan serta menghapus aturan-aturan yang menghambat partisipasi politik perempuan di semua bidang.
Tak hanya itu, pemerintah juga diminta agar konsisten dalam memberikan kebijakan afirmasi keterlibatan perempuan di lembaga pemerintahan maupun lembaga publik, termasuk dalam setiap tahapan proses seleksi maupun kepesertaan dalam panitia seleksi, serta menjamin perlindungan bagi perempuan pembela HAM.
“Kementerian Dalam Negeri agar memastikan dan memantau pemenuhan kuota 30 persen perempuan dalam setiap lembaga pengambilan keputusan mulai dari tingkat daerah hingga pusat,” ujar Anggota Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy, dalam siaran pers Komnas Perempuan, pekan lalu.
Harapan Komnas Perempuan cukup beralasan. Walaupun mengalami perkembangan dan kemajuan, kiprah perempuan Indonesia dalam berbagai bidang masih perlu terus didorong, terutama kepemimpinan perempuan di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan lembaga publik baik di pusat maupun daerah. Di sejumlah kementerian/lembaga, kepemimpinan masih didominasi laki-laki.
Padahal, menurut Olivia dan para komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani, Veryanto Sitohang, Rainy Hutabarat, dan Mariana Amiruddin, demokrasi yang ditopang internet dan teknologi digital pada abad ke-21 saat ini, ikut membawa perubahan besar bagi keterlibatan perempuan dalam proses politik, pengambilan kebijakan, serta partispasi substansial lainnya dalam kehidupan sosial.
Maka perlu terus didorong agar budaya dan sistem politik yang maskulin dan patriarki dapat berubah menjadi ramah perempuan, lebih terbuka, dan akomodatif terhadap kepentingan dan kebutuhan perempuan.
“Keterwakilan perempuan tidak sekadar memenuhi angka afirmasi 30 persen, tapi memastikan kebijakan publik yang dihasilkan memenuhi hak asasi perempuan, sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi negara dan sejumlah peraturan dan perundangan lainnya,” ujar
Selain ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga ada Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pembangunan Pengarusutamaan Gender serta PERPRES No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs).
Dari sisi keterwakilan perempuan dalam politik, data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, representasi perempuan pada lembaga legislatif tercatat 118 perempuan anggota DPR dari 575 kursi (20,52 persen) dan 42 perempuan anggota DPD dari 136 kursi (30,88 persen).
Tidak hanya itu, terjadi kemajuan keterwakilan perempuan yang sebelumnya tidak terjadi yaitu Ketua DPR dipimpin oleh seorang perempuan. Sebelumnya, Wakil Ketua MPR periode 2019-2024 juga pernah ada perempuan.
Komnas Perempuan mencatat, di tingkat kementerian/lembaga, terjadi peningkatan jumlah menteri perempuan, terdapat lima menteri perempuan yang menduduki pos-pos strategis yang sebelumnya didominasi laki-laki. Di pemerintahan daerah juga terdapat sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah perempuan, yakni 1 gubernur, 3 wakil gubernur, 14 bupati/walikota dan 17 wakil bupati/wakil walikota. Sedangkan untuk proporsi perempuan pada jabatan eselon 1 hanya 17,83 persen dan eselon 2, 20,44 persen.
Kendati demikian, kepemimpinan perempuan di lembaga yudikatif masih minim. Hakim perempuan sebagai hakim agung hanya 3,76 persen. Itu pun hanya merupakan hakim anggota, tidak pada tingkatan pimpinan, meskipun pada periode 2004-2008 pernah ada hakim perempuan sebagai Wakil Ketua MA. Di tingkat Mahkamah Konstitusi hanya ada 1 perempuan dari 7 hakim konstitusi.
Padahal, kepemimpinan perempuan pada lembaga yudikatif, penting, untuk memastikan tersedianya kebijakan hukum yang berperspektif gender sehingga pengawasan terhadap pelanggaran hak-hak konstitusional perempuan sebagai kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan di ranah personal, publik dan negara dapat berjalan dengan baik.
Keterwakilan perempuan dan afirmasi 30 persen pada tingkatan lembaga non-struktural, juga belum sepenuhnya terakomodir. Bahkan di lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) periode 2021-2026 sama sekali tidak ada keterwakilan perempuan.
Pada Hari Demokrasi Internasional, 15 September 2021, Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya partisipasi, keterwakilan dan kepemimpin perempuan di kementerian/lembaga dan lembaga publik lainnya sebagai wujud demokrasi substantif.