Lakoat.Kujawas ini mengisi ruang literasi dan kebudayaan yang tidak ada. Warga bisa berbagi pengetahuan, aktivitas, kebudayaan, dan kerja pengarsipan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Krisis identitas memantik sejumlah pegiat sastra untuk kembali ke akar mereka. Dalam pencarian itu, mereka membentuk komunitas yang bisa menjaga, menggali, dan mengembangkan kebudayaan lokal.
Dicky Senda, penulis dari Mollo, merasakan hal itu setelah selesai merantau di Yogyakarta dan bekerja di Kupang pada 2016. Karena aktif menulis, pemuda ini kembali ke kampungnya, Desa Taiftob, Kecamatan Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, untuk riset.
”Ketika riset saya menemukan banyak hal, secara pribadi tidak terhubung dengan realitas kebudayaan sebagai orang Timor dan NTT. Ada jurang luar biasa besar sebagai generasi muda Timor,” kata Dicky dalam sarasehan daring (sadaring) Satupena bertajuk Cerita dari Palu dan Mollo, Minggu (12/9/2021).
Dicky kesulitan memahami bahasa Dawan atau Uab Meto yang dipakai di kampungnya. Selain itu, kondisi sosial di desanya juga dibayangi isu malnutrisi dan perdagangan manusia. Dicky terganggu dengan realitas itu.
Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang kampung dan membuat komunitas literasi dan budaya bersama teman-teman. Tak lama, lahirlah komunitas Lakoat.Kujawas. Komunitas ini adalah kewirausahaan sosial yang fokus pada pengembangan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif.
”Lakoat.Kujawas ini mengisi ruang literasi dan kebudayaan yang tidak ada. Warga bisa berbagi pengetahuan, aktivitas, kebudayaan, dan kerja pengarsipan. Komunitas ini membawa semangat revitalisasi kampung dan pemberdayaan,” ujar Dicky yang turut menjadi aktivis pangan lokal.
Melalui Lakoat.Kujawas, sejarah dan kekayaan budaya Mollo yang hampir memudar akhirnya terkuak. Dari sejarahnya, Mollo yang berarti manusia di pulau kering berkaitan erat dengan ekologi, pertanian, dan ketahanan pangan. Isu-isu ini relevan dengan masalah krisis iklim dan pangan yang sedang terjadi di bumi saat ini.
Dari sisi pangan, misalnya, Dicky menemukan bahwa Mollo adalah daerah yang kaya dengan pangan lokal, seperti sorgum, jagung, dan umbi-umbian. Produk pangan lokal ini sempat tergeser karena kewajiban mengonsumsi beras dari pemerintah. Masyarakat Mollo juga memiliki teknik pengawetan makanan sendiri lewat pengasapan, seperti daging sei.
Dicky melanjutkan, temuan-temuan itu disimpan sebagai dokumentasi budaya dalam bentuk buku, film pendek, dan podcast. Sebagai sumber penghasilan, Lakoat.Kujawas turut membuat kegiatan bernilai ekonomi, seperti tur gastronomi dan penjualan buku berisi dongeng lokal atau narasi tentang desa-desa di Mollo.
Sementara itu, M Isnaeni Muhidin alias Neni Muhidin awalnya memutuskan untuk pulang ke Palu, Sulawesi, untuk menemani ibunya, pada 2007. Neni sebelumnya lama merantau di Bandung dan sempat bekerja di Jakarta.
Lama merantau membuat Neni kehilangan teman-temannya. Jika semasa muda ia adalah remaja pemberontak, Neni yang sekarang adalah sosok yang gemar membaca buku dan berdiskusi. Perubahan itu sempat dianggap aneh oleh teman-teman lamanya.
Tak goyah, Neni memutuskan untuk membuat perpustakaan mini di rumah bernama Nemu Buku. Tidak hanya sebagai tempat membaca, Nemu buku adalah tempat diskusi; penelitian, kajian seni, budaya, dan film; serta kegiatan literasi lainnya.
”Arti Nemu Buku itu saya menganggap pengalaman membaca itu adalah menemukan sesuatu sehingga seseorang dicerahkan. Sama seperti eureka. Bagi saya, bertemu buku itu adalah pengalaman personal dan spiritual,” kata Neni.
Neni juga terlibat dalam kegiatan literasi bencana. Ia, bersama seorang rekannya, pernah melakukan Ekspedisi Palu-Koro. Hasil ekspedisi itu dan rekomendasi mitigasi bencana sempat diserahkannya kepada Pemerintah Sulawesi Tengah. Sayang, bencana Palu kadung terjadi beberapa bulan kemudian pada tahun 2018.
Neni aktif menggali seluk-beluk Sulawesi Tengah. Provinsi ini adalah melting pot yang menjadi pertemuan banyak etnis sehingga menciptakan akulturasi budaya, meskipun jumlah penduduknya lebih sedikit dari Sulawesi Selatan. Satu temuan menarik Neni adalah pengetahuan lokal tentang keadaan geologis Sulawesi Tengah di atas sesar aktif telah ada sejak dulu.
Neni dan rekan-rekannya juga melakukan berbagai kegiatan yang bisa mendorong desa-desa di pelosok untuk maju, seperti dengan membuat kelas menulis. ”Saya percaya penulis menghasilkan kata-kata sehingga membuat imaji menjadi lebih konkret. Gerakan literasi adalah kegiatan baca tulis yang menjadi gerakan mengubah sesuatu di tempat kita tinggal,” tuturnya.
Tantangan eksternal
Dicky menceritakan, perjalanan awal mula komunitas Lakoat.Kujawas disambut baik oleh masyarakat Mollo dan sekitar. Bahkan, dirinya juga mendapat dukungan dari tokoh adat dan gereja setempat. Perempuan-perempuan desa yang selama ini terpinggirkan karena budaya patriarki juga aktif terlibat.
”Kami disambut baik karena warga merasa komunitas inilah yang mereka butuhkan. Ini adalah bagian dari memori kolektif dan masa kecil mereka yang membahas kekuatan lokal. Justru kami susah jalin komunikasi dengan pemerintah daerah di tahun pertama jadi kami bergerak dengan modal sendiri,” ujar Dicky.
Namun, Dicky menyebutkan, seiring waktu berlalu kegiatan komunitas itu memberikan dampak positif. Dalam dua tahun terakhir, pemerintah desa sudah memberi akses dana desa untuk proyek-proyek kebudayaan komunitas itu di sejumlah desa.
Neni menambahkan, masalah serupa juga dihadapinya saat melakukan kegiatan literasi dan kebudayaan di Palu. ”Komunikasi kurang baik, tetapi pegiat literasi itu tidak bergantung dengan pemerintah karena bisa menghimpun kekuatan sendiri,” tuturnya.
Yang paling penting, tutur Neni, dirinya bisa menemukan teman-teman sejawat yang turut memiliki kesadaran yang sama. Kegelisahan tentang kondisi literasi dan budaya di Sulawesi Tengah sudah cukup untuk mendorong mereka semua bergerak membuat perubahan.