Hampir 3 Juta Orang di Indonesia Masih Buta Aksara
Sebanyak 2,9 juta orang di Indonesia buta aksara pada 2020. Upaya pemberantasan buta aksara terus dilakukan.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir 3 juta penduduk Indonesia masih buta aksara. Penanganan buta aksara idealnya dilakukan secara tatap muka, tetapi saat ini upaya tersebut masih terkendala pandemi Covid-19.
Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk buta aksara di Indonesia pada 2020 sebanyak 2,96 juta orang atau 1,71 persen dari total jumlah penduduk. Persentase ini sedikit menurun dibandingkan 2019 yang angkanya 1,78 persen atau 3,08 juta orang.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Jumeri mengatakan, pandemi menghambat penanganan buta aksara. Edukasi jarak jauh dengan koneksi internet tidak efektif. Pengajaran bagi penduduk buta aksara tahap awal—yang belum dapat membaca, menulis, dan berhitung (calistung)— baru efektif jika dilakukan secara tatap muka.
”Kami akan kolaborasi lebih kuat dengan Kementerian Desa (Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi). Jika satuan (pendidikan) formal di sana memadai, akan kami dorong untuk menggerakkan (literasi). Kami juga akan bekerja sama untuk menggerakkan kelompok masyarakat,” kata Jumeri pada konferensi pers daring menjelang Hari Aksara Internasional (HAI), Sabtu (4/9/2021). HAI diperingati setiap 8 September.
Ada sejumlah provinsi dengan persentase buta aksara di atas rata-rata nasional 1,71 persen. Provinsi itu mencakup Papua (22,03 persen), Nusa Tenggara Barat (7,52 persen), Sulawesi Barat (4,46 persen), Nusa Tenggara Timur (4,24 persen), Kalimantan Barat (3,54 persen), Jawa Timur (3,21 persen), Sulawesi Tenggara (2,47 persen), Jawa Tengah (2,03 persen), dan Papua Barat (1,77 persen).
Kendati Papua memiliki persentase tertinggi, provinsi dengan jumlah penududuk buta aksara tertinggi ada di Jawa Timur. Per 2020, ada lebih dari 800.000 penduduk Jawa Timur yang buta aksara. Daerah dengan jumlah buta aksara tertinggi selanjutnya ialah Papua, Jawa Tengah, NTB, Sulawesi Selatan, dan NTT.
Menurut Jumeri, pemerintah akan terus berupaya menurunkan angka buta aksara. Upaya akan fokus ke daerah-daerah dengan angka buta huruf yang tinggi lebih dulu.
Penduduk senior
Jumlah penduduk buta aksara Latin berusia 44-59 tahun paling tinggi. Persentasenya pada 2020 mencapai 4,17 persen. Sementara itu, persentase buta aksara di kelompok usia 25-44 tahun 1,11 persen dan kelompok usia 15-24 tahun 0,22 persen.
Adapun jumlah perempuan buta aksara umumnya lebih tinggi dari laki-laki. Di kelompok usia 44-59 tahun, perempuan buta aksara sebesar 5,6 persen, sedangkan laki-laki 2,73 persen. Perempuan buta aksara di kelompok usia 25-44 tahun 1,3 persen, sedangkan laki-laki 0,92 persen. Persentase laki-laki dan perempuan buta aksara usia 15-24 tahun sama, yaitu 0,22 persen.
Mengingat banyaknya penduduk usia senior yang buta aksara, literasi dengan pendekatan khusus dilakukan. Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbudristek Samto mengatakan, calistung diajarkan melalui kegiatan sehari-hari.
”Calistung diajarkan, misalnya, dengan memasak dan bertani. Ini disesuaikan dengan apa yang dilakukan mereka sehari-hari,” ujar Samto.
Pada tahun 1970-an, Mendikbud Daoed Joesoef menginisiasi program Kejar Paket A untuk memberantas buta huruf. Beberapa daerah menjalankan program ini sesuai karakter warga. Di Aceh, program digalakkan melalui meunasah atau surau. Ini agar jemaah dapat belajar huruf Latin melalui huruf Arab (Kompas, 18/9/1978).
Pada era Orde Baru, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, kini TNI) dilibatkan buat mengajarkan aksara hingga pelosok kampung. Program ini disebut Manunggal Aksara.
Jumeri mengatakan, kemampuan calistung merupakan hak penduduk. Literasi memampukan masyarakat memperoleh informasi yang berguna buat kehidupan. Dengan demikian, mereka mampu membuat pilihan terbaik untuk kehidupan yang lebih baik.