RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Baleg Bahas Draf Baru
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akhirnya dimulai DPR. Meski kembali pada tahap awal, pembahasan RUU tersebut diharapankan berjalan cepat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
TANGGAPAN LAYAR MEDIA SOSIAL
Ketua Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Willy Aditya saat memimpin rapat Baleg DPR , Senin (30/8/2021), di Baleg DPR.
Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (30/8/2021), akhirnya memulai dari awal proses Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dengan draf baru yang disusun oleh tim tenaga ahli. Dibandingkan dengan draf sebelumnya, pada draf rancangan undang-undang yang baru, ada beberapa perubahan, baik usulan judul maupun jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual, yang akan diatur.
Misalnya, pada judul, dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) yang baru, judul yang diusulkan ”RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual” atau tidak menggunakan kata ’penghapusan’ sebagaimana draf RUU sebelumnya yang berjudul ”Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual”.
Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang merupakan draf awal tersebut disampaikan Tim Tenaga Ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Rapat Pleno Baleg DPR yang dipimpin Ketua Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Baleg DPR Willy Aditya.
Pada rapat pleno tersebut, tim tenaga ahli Baleg DPR, Sabari Barus, mengungkapkan drat RUU tersebut. ”Apa yang kami sampaikan hari ini sebagai draf awal, draf resmi Baleg,” ujar Sabari Barus.
Adapun soal urgensi pengaturan RUU, Tim Baleg menggunakan data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yakni sepanjang tahun 2011-2019 yang tercatat 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal dan rumah tangga, dan ranah publik. Dari jumlah itu, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik, berupa perkosaan (9.039 kasus), pelecehan seksual (2.861 kasus) dan kekerasan siber bernuansa seksual (91 kasus).
RUU tersebut juga dibutuhkan karena kasus kekerasan seksual mengganggu rasa aman dan kebebasan seseorang serta dapat menimbulkan penderitaan fisik dan psikologis korban. Pancasila dan UUD 1945, dalam Pasal 28 G Ayat (1), antara lain, ditentukan bahwa setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan.
”Korban kekerasan seksual yang kebanyakan adalah perempuan dan anak terganggu keamanan dan kebebasannya sehingga mendapat perlindungan dari negara agar terhindar dan terbebas dari kekerasan seksual,” papar Barus.
Adapun perlindungan negara dimulai dari adanya landasan hukum dengan membentuk undang-undang. Oleh karena itu, sebagai bentuk kepedulian, DPR menggagas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang kemudian dibuktikan dengan masuknya RUU tersebut dalam Prolegnas Prioritas tahun 2021 dengan nomur urut 16. Adapun Naskah Akademik dan RUU disiapkan oleh Baleg DPR.
Adapun soal konsep RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke depan, Tim Tenaga Ahli Baleg DPR mengusulkan pendekatan hukum yang melihat kekerasan seksual sebagai tindak pidana khusus, yakni perbuatan dirumuskan dengan menyebut unsur-unsur sekaligus hukumannya.
Selain itu, RUU tersebut juga berperspektif korban. ”Jika hukum pidana yang umumnya berorientasi pada penindakan pelaku, RUU tersebut lebih berorientasi pada korban tanpa menghilangkan hukuman pelaku,” kata Barus.
Adapun hukum acaranya berbasis KUHAP dan aturan khusus sesuai dengan karakter kekerasan seksual dalam RUU ini. Sementara untuk definisi, kekerasan seksual didefinisikan ”setiap perbuatan yang bersifat fisik dan/atau non-fisik, mengarah pada tubuh dan/atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.”
TANGKAPAN LAYAR MEDIA SOSIAL
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual disampaikan Tim Tenaga Ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR, Sabari Barus, pada Rapat Pleno Baleg DPR yang dipimpin Ketua Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Baleg DPR Willy Aditya.
Lima jenis tindak pidana
Pada draf awal RUU yang dibahas Baleg, jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual yang diatur hanya lima, yakni Pelecehan Seksual (Pasal 2), Pemaksaan Memakai Alat Kontrasepsi (Pasal 3), Pemaksaan Hubungan Seksual (Pasal 4), Eksploitasi Seksual (Pasal 5), dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain (Pasal 6).
”Jadi, substansinya hanya empat. Jika dalam RUU lama, ada sembilan jenis setelah kami menyisir dengan melihatnya dalam KUHP dan RKUHP. Kami telah menyortirnya sehingga hanya menjadi empat, inilah yang tidak ada irisannya atau yang belum diatur dalam KUHP atau Rancangan KUHP. Jadi, tinggal empat jenis,” ujar Barus.
Draf awal tersebut disambut para anggota Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Baleg dengan beragam tanggapan dan catatan. Luluk Nur Hamidah dari Fraksi Partai Kebangkita Bangsa (PKB), misalnya. Dia mempertanyakan soal pemaksaan perkawinan yang dilihatnya belum diatur dalam RUU tersebut.
”Kalau pemaksaan hubungan seksual ada, tapi pemaksaan perkawinan berbeda, lebih dari sekadar itu. Karena, kita melihat ada praktik sosial yang memang nyata-nyatanya harus kita akui bahwa pemaksaan perkawinan memang ada, dan ini kejadian tidak hanya satu dua kasus. Jadi, ini bukan kasuistis, tetapi hampir di kebanyakan di daerah dan juga kelas-kelas sosial kita temukan banyak sekali,” ujar Luluk.
Willy mengungkapkan, setelah pembahasan awal tersebut, pihaknya masih akan melanjutkan tahapan selanjutnya. ”Panja akan mematangkan draf tersebut,” kata Willy.
Dari kalangan organisasi perempuan, pembahasan RUU tersebut mendapat apresiasi. ”Rapat pleno Baleg DPR merupakan langkah maju dalam proses penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk menjadi usul inisiatif DPR. Kami mengapresiasi DPR yang menyiarkan rapat ini hingga bisa diakses publik sehingga publik bisa mengetahui dan menilai perdebatan perdebatan yang terjadi didalamnya. Termasuk akan mendorong partisipasi publik untuk memberikan saran dan masukan,” ujar Siti Aminah Tardi, anggota Komnas Perempuan.
Apresiasi juga disampaikan Veni Siregar, Koordinator Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), bagi perempuan korban kekerasan. ”Dinamisnya proses pembahasan draf RUU tersebut menjadi harapan adanya proses dialog yang sehat antarkelompok pendukung dan penolak,” ujar Veni.