Harapan terhadap DPR agar segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terus disuarakan sejumlah kalangan, termasuk kalangan pekerja garmen. DPR diharapkan segera mewujudkan harapan tersebut.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kompas
Pekerja menyelesaikan produksi garmen di Sritex, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/3/2014).
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual terjadi di mana saja, termasuk di tempat kerja. Pekerja garmen yang mayoritas perempuan merupakan kelompok yang rentan mengalami kekerasan seksual. Kehadiran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak untuk mencegah dan melindungi mereka agar tidak menjadi korban kekerasan seksual.
Substansi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sejalan dengan Konvensi ILO 190 yang melindungi pekerja dari kekerasan seksual secara lebih luas, tidak hanya terkait dengan tempat kerja.
”Kondisi dan kasus kekerasan seksual di pabrik garmen yang menimpa pekerja perempuan semakin banyak, sudah sampai pada tahap yang memprihatinkan, dan masuk dalam kondisi darurat kekerasan seksual,” ujar Ary Joko Sulistyo, perwakilan Aliansi Pekerja/Buruh Garmen Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI), pada Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi DPR terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Rabu (25/8/2021). Rapat dipimpin Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Baleg DPR Willy Aditya,
Sebelumnya, beberapa bulan lalu, Baleg menerima pandangan dari organisasi yang menolak ataupun yang mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Ary mengungkapkan, ada banyak hasil riset yang terkait dengan kekerasan seksual yang dialami perempuan pekerja garmen. ”Banyak laporan muncul di serikat pekerja, tetapi apakah itu masuk laporan ke kepolisian? Tentu mereka malu sampaikan, kepada kita saja malu. Karena itu aib. Apalagi sampai katakanlah diperkosa atau dilecehkan. Ini berdampak pada psikologis mereka,” ujar Ary, yang juga Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sentra Industri Umum Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FSB Garteks).
Pelecehan fisik dan verbal
Pada kesempatan tersebut, APBGATI menyampaikan hasil penelitian Perempuan Mahardika dan Mondial FNV di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung tahun 2017, dengan responden sebanyak 773 pekerja. Riset tersebut menemukan 56,5 persen responden mengaku mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, baik secara fisik maupun verbal.
Bentuk pelecehan itu beragam, seperti siulan, godaan, dan rayuan seksual; dipandang secara nakal; diejek tubuhnya; diraba-raba; tubuh dipepet; diintip lewat celah baju; diintip saat di kamar kecil; dipaksa membuka baju; tubuh disentuh; pantat dan payudara diremas; dipeluk dan digendong paksa; diajak hubungan seksual; dicium paksa; dan dipaksa berhubungan seksual.
Negosiasi perjanjian kerja bersama (PKB) akan berjalan sulit apbila tidak ada payung hukum nasional. Maka, hadirnya Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi penting.
Adapun pelaku pelecehan di pabrik garmen adalah mekanik, operator, pengawas dan keamanan/securiti. Para korban umumnya tidak melaporkan sebab takut ada ”balas dendam”. Mereka khawatir terhadap keselamatannya, risiko dipecat dari pekerjaan, dan merasa malu. Bahkan, ketika hak-hak maternitas tidak dipenuhi, pekerja perempuan takut dipecat ketika mereka hamil.
”Kelihatannya di daerah industri mereka happy-happy aja bekerja di pabrik ramai-ramai, pulang sama-sama, padahal batin mereka menangis karena banyak kejadian yang terungkapkan oleh mereka. Kami serikat pekerja berupaya membentuk komite perlindungan perempuan untuk melindungi pekerja perempuan,” ujar Helmy, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.
Selama ini belum ada payung hukum yang melindungi pekerja/buruh perempuan ditempat kerja. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan pijakan dan payung hukum dalam melindungi dan menyelamatkan pekerja perempuan, khususnya pekerja perempuan di sektor garmen.
Untuk melindungi pekerja perempuan, serikat buruh juga berupaya dengan aktif mengasiasikan perjanjian kerja bersama (PKB) yang berisi pasal-pasal yang melindungi pekerja perempuan di tempat kerja. ”Akan tetapi, negosiasi PKB akan berjalan sulit apbila tidak ada payung hukum nasional. Maka, hadirnya Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi penting,” ujar Helmy.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Pekerja industri garmen di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pulang setelah bekerja di pabrik, Kamis (23/4/2020) sore.
Amaliah Fallah dari Gender Network Platform (GNP)-platform yang dibentuk untuk berbagi pengalaman dan saling memberi dukungan antar-anggota terkait dengan isu kekerasan jender di tempat kerja, khususnya di sektor garmen, menyampaikan survei tentang Pelecehan terhadap Pekerja Perempuan di Tempat Kerja oleh Endang Rohani pada tahun 2010-2011.
Temuannya lebih dari 70 persen pekerja garmen mengakui bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual. Angka ini lebih tinggi daripada sektor otomotif (45 persen) dan perhotelan (23 persen). Tipe pelecehan yang dialami pekerja garmen, antara lain, ialah teriakan (60 persen), teguran, kata-kata kasar, tatapan, dan instruksi kasar. Sebagian besar pelaku merupakan supervisor.
Pada kesempatan itu, APBGATI meminta dan mendorong pemerintah serta DPR segera dapat menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Undang-Undang.
Anggota Baleg dari Fraksi PDI Perjuangan, My Esti Wijaya, meminta gambaran soal pelecehan seksual di tempat kerja. Selanjutnya, ia pun meminta tindakan antisipasi atau bentuk perlindungan terhadap kekerasan seksual.
Luluk Hamidah dari Fraksi PKB mengapresiasi ada kerja-kerja serius di kalangan pekerja garmen untuk melindungi perempuan pekerja dari kekerasan seksual. ”Sudah lama saya mendapat informasi, perempuan pekerja semenjak membutuhkan pekerjaan sudah rawan kekerasan seksual, mulai dirayu, dibujuk, dijanjikan, imbalan fisik, dan seksual. Di tempat kerja lebih-lebih lagi, ada situasi timpang di sana,” ujarnya.