Tamansiswa Menjaga Pendidikan dengan Nilai-nilai Kebangsaan
Tamansiswa bukan sekadar sekolah, melainkan gerakan kebangsaan. Karena itu, Tamansiswa menjadi suatu persemaian karakter dan jati diri bangsa.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan sebagai pilar gerakan kebangsaan perlu dihidupkan kembali semangatnya di tengah pandemi Covid-19 yang turut berdampak pada kualitas pendidikan di Indonesia. Pendidikan semestinya dikembalikan lagi ke nilai-nilai kebudayaan di Indonesia yang telah dirumuskan sejak 100 tahun lalu di Perguruan Tamansiswa.
Ajaran nilai-nilai luhur kebangsaan harus tetap dipegang teguh oleh sistem pendidikan, proses pengajaran, dan sikap hidup semua peserta pendidikan baik guru, murid, dan orangtua siswa, lewat ajaran pendidikan dan kebudayaan yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara dan menjadi nilai-nilai basis perjuangan Tamansiswa dalam mendorong lahirnya pendidikan nasional di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Pengurus Pusat Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) saat audiensi virtual dengan harian Kompas, Jumat (13/8/2021). Hadir dalam audiensi, antara lain, Ketua Umum PP PKBTS Ki Muhammad Munawaroh yang baru terpilih dan Sekretaris Umum PP PKBTS Ki Mustadin Taggala. Turut hadir pula para pengawas dan pembina PKBTS di antaranya Ki Sutaryo, Ki Bambang Widodo, Ki Priyo Mustika, Ki Budi Basuki, Ki Tri Suparyanto, Nyi Ganawati, Nyi Karin, dan Nyi Ake.
Munawaroh mengemukakan, di tahun 2022 Tamansiswa memasuki usia 100 tahun. Perguruan Tamansiswa terus membumikan nilai-nilai ketamansiswaan di tengah moderenisasi pendidikan di Indonesia supaya nilai-nilai kebudayaan Indonesia tetap mengakar kuat. ”Menyambut perayaan 100 tahun Tamansiswa, kami ingin menggaungkan tema Tamansiswa untuk Indonesia,” ujar Munawaroh.
Menurut Munawaroh, semangat PKBTS sebagai salah satu organ otonom di Persatuan Tamansiswa memiliki tanggung jawab untuk memajukan Tamansiswa dengan mengajak alumni dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi Tamansiswa dan masyarakat umum yang mencintai dan mengembangkan ajaran Ki Hadjar Dewantara. Kebersamaan ini akan menjadi ”pagar hidup” yang menghidupi Tamansiswa demi menjaga semangat pendidikan dan kebudayaan untuk memajukan peradaban bangsa.
Munawaroh mengakui, Perguruan Tamansiswa menghadapi tantangan dalam memajukan institusi pendidikan untuk memberikan akses pendidikan hingga ke daerah-daerah. Kini banyak cabang Perguruan Tamansiswa yang tutup, sebagian karena terdampak pandemi Covid-19. Dari jumlah 440 cabang dilaporkan, kini tinggal tersisa 130 cabang.
Menjaga bangsa
Ketua Dewan Pengawas PKBTS Ki Priyo Mustika menjelaskan, Tamansiswa dipersembahkan untuk Indonesia. Ki Hadjar Dewantara mengatakan, Tamansiswa bukan sekadar sekolah, melainkan gerakan kebangsaan. Karena itu, Tamansiswa menjadi suatu persemaian karakter bangsa, jati diri bangsa di taman yang dijaga among pendidik.
Kami jadi pagar hidup dari taman ini untuk menyelamatkan dan juga memagari bangsa. (Ki Priyo Mustika)
”Kami jadi pagar hidup dari taman ini untuk menyelamatkan dan juga memagari bangsa,” kata Priyo.
Priyo mengatakan, Indonesia bisa tumbuh dengan jati diri yang digali dari nilai-nilai yang dimiliki. Pendiri bangsa telah memberi contoh nyata, seperti Bung Karno yang menggali Pancasila dari nilai-nilai yang hidup di Indonesia.
Demikian pula, Bung Hatta yang mengembangkan perekonomian dengan koperasi, Supomo dengan (konsep) pemerintahan dari sistem pemerintahan yang hidup di desa, hingga tokoh agama seperti KH Hasyim Asy’ari yang menggali agama tidak sepenuhnya dari luar, tapi juga dari budaya lokal.
”Ajaran Ki Hadjar Dewantara pun dalam pendidikan juga dengan menggali dari diri sendiri, sistem among, trilogi kepemimpinan, yang sepintas kelihatan Jawa sentris tapi kalau digali (bersifat) universal. Kami akan tetap menjadi pagar hidup dinamis dengan mengkaji pengajaran Ki Hadjar dan Tamansiswa untuk bangsa. Secara internal, kami juga bertanggung jawab memperbaiki dan menyempurnakan Tamansiswa sebagai taman,” jelas Priyo.
Idealisme Tamansiswa yang sejak dulu menjadi organisasi perjuangan pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, harus meyakinkan pendidikan dan kebudayaan agar dapat membawa Indonesia menuju peradaban bangsa yang lebih baik. Tujuannya untuk mencapai kebesaran bangsa berdasar pada pendidikan dan kebudayaan bangsa itu sendiri.
”Menjelang 100 tahun, Tamansiswa ingin mengembalikan marwah pendidikan sebagai dasar pendidikan nasional, pendidikan untuk bangsa sendiri, dan dasarnya kebudayaan sendiri,” kata Priyo.
Mustadin Taggala mengatakan, pendidikan Indonesia mengalami kemerosotan, apalagi di masa pandemi. Ada upaya serius pemerintah untuk mendorong percepatan kualitas pendidikan.
Tamansiswa punya kewajiban memberi sinyal kepada semua pihak penyelenggara pendidikan dan pemerintah agar pendidikan tetap mengakar pada kebudayaan bangsa. Modernisasi pendidikan harus dilakukan, tetapi nilai-nilai keluhuran kebangsaan mesti dipegang, mulai dari pengajaran, sikap hidup, guru, dan orangtua yang berperan dalam pendidikan anak-anak, semuanya berpijak pada nilai-nilai luhur kebangsaan Indonesia.
”Menyongsong 100 tahun Tamansiswa akan dibuat seri webinar menuju 100 tahun untuk menggaungkan kembali nilai-nilai Ki Hadjar dan Tamansiswa agar bisa diimplementasikan di tengah modernisasi pendidikan yang berjalan,” kata Mustadin.
Tri Suparyanto mengatakan, pendidikan dan kebudayaan membawa Indonesia menjadi negeri yang beradab. Kondisi saat ini memprihatinkan, orang sembarangan mencaci maki, baik kepada pemimpin negara maupun ulama, media sosial juga menjadi tempat subur bagi tumbuhnya ujaran kebencian dan hoaks.
”Pendidikan Indonesia harus menyatukan semua elemen bangsa yang mengawal negeri ini supaya tidak terpuruk. Tamansiswa terpanggil untuk menjadi penjaga nilai-nilai kebangsaan,” kata Tri.
Transformasi pendidikan lewat Merdeka Belajar, ujar Budi Basuki, sebenarnya konsep lama dari Ki Hadjar Dewantara. ”Tapi konsep ini belum matang. Sangat baik kalau pemerintah menyinergikan Merdeka Belajar dengan Tamansiswa,” kata Budi.