Di Masa Pandemi, Kekerasan Seksual Paling Tinggi Terjadi
Perempuan terus menjadi korban kekerasan seksual. Untuk melindungi perempuan perlu ada kebijakan penanggulangan kekerasan seksual di lembaga pendidikan, tempat kerja, keagamaan, hingga masyarakat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Peserta aksi yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil (Gemas) untuk Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menggelar aksi, Selasa (17/9/2019), di gerbang DPR, Senayan, Jakarta. Mereka meminta DPR segera mengesahkan RUU PKS.
JAKARTA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 tidak mengurangi berbagai kekerasan terhadap perempuan. Sepanjang tahun 2020, berbagai kekerasan terutama kekerasan seksual menyasar para perempuan di Tanah Air. Bahkan, kekerasan berbasis jender daring menjadi fenomena tersendiri selama masa pandemi, di samping pemerkosaan dan kekerasan psikis.
Tidak hanya jumlah korban kekerasan terhadap perempuan yang tetap tinggi, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan juga tidak berjalan baik, impunitas/kekebalan bagi para pelakunya masih mewarnai penegakan hukum. Kriminalisasi terhadap korban, hingga stigma oleh penegak hukum, serta pemulihan terhadap korban masih jauh dari harapan.
Situasi tersebut tergambar dalam Penelitian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 17 lembaga bantuan hukum (LBH) se-Indonesia tentang kekerasan terhadap perempuan berdasarkan pemantauan dan advokasi kasus-kasus yang ditangani LBH-YLBHI sepanjang 2020. LBH berada di Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Palangkaraya, Samarinda, Makassar, Manado, dan Papua.
Laporan tersebut disampaikan Ketua Umum YLBHI Asfinawati dan Ketua Advokasi YLBHI M Isnur, Minggu (1/8/2021). Selain Asfin dan Isnur, hadir juga memberikan laporan tentang kondisi wilayah Rezky Pratiwi (LBH Makassar) dan Vany Primaliraning (LBH Bali).
”Dari keseluruhan 239 korban jika ditotal mengalami 526 tindakan kekerasan. Sebanyak 149 orang mengalami pelecehan seksual, ini merupakan tindakan kekerasan yang paling tinggi. Jika kita lihat secara persentase seperti ini, yang tertinggi pelecehan seksual mencapai 28,38 persen kekerasan, kedua pemerkosaan 12,57 persen, kemudian kekerasan psikis sebanyak 11,81 persen, dan kekerasan berbasis jender online (KBGO) sebanyak 9,71 persen,” ujar Isnur.
Menurut Asfin, selain kasus kekerasan berbasis jender daring yang menonjol, selama pandemi Covid-19, faktor ekonomi juga meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan, kekerasan seksual juga terjadi di lingkup pendidikan. Situasi pandemi jadi modus dosen membuat janji skripsi di luar kampus.
Kendati kekerasan terhadap perempuan, akses para korban untuk mendapatkan bantuan hukum dari advokat, terutama di wilayah zona merah Covid-19 juga sulit, fasilitas perlindungan korban juga tidak bisa diakses dengan mudah, karena banyak rumah aman tutup.
Pandemi Covid-19 kerap dijadikan alasan untuk tidak menahan dan menangkap pelaku kejahatan sehingga proses penegakan hukum berjalan lambat. ”Sidang daring menyulitkan korban, korban diminta berulang-berulang menjelaskan, serta perlunya pengembangan kapasitas pendamping, dan keamanan digital,” ujar Asfin.
Dari penelitian YLBHI dan LBH, dalam proses penegakan hukum, korban enggan menempuh proses hukum, takut menghadapi penegak hukum. Kondisi tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh sensitivitas aparat dan kurang berpihaknya aparat terhadap para korban.
Misalnya, kondisi yang dihadapi korban di Palembang saat melaporkan kasusnya malah mendapat tatapan dan senyum sinis, dan kemudian dilecehkan secara verbal. Di Aceh juga masih terdapat tumpang-tindih aturan antara undang-undang dan peraturan daerah.
”Proses hukum yang berjalan juga tidak berarti adanya pemulihan psikologis dan psikososial terhadap korban. Masih ditemukan kasus-kasus dimana restitusi/kompensasi tidak diberitahukan atau diupayakan oleh aparat,” papar Asfin.
Penelitian YBHI dan LBH di daerah menemukan, dalam penanganan kasus anak dan disabilitas, yakni proses pemeriksaan di tiap tingkatan, kerap masih tidak diterapkan pendekatan khusus bagi perempuan anak dan disabilitas.
Selain itu, penegak hukum belum memahami hak dan kebutuhan korban sebagaimana dimandatkan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, bahkan aparat tidak menguasai aturan internal lembaganya. Dalam kasus disabilitas mental, penyidik tidak menindaklanjuti laporan, dan ditemukan aparat menyalahkan korban.
Baca juga: Publik Diminta Terus Kawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Meski demikian, ada capain positif terkait kebijakan dan struktur hukum di sejumlah daerah. Misalnya, di Palangkaraya, berhasil adanya sistem pencegahan tindakan dan penanganan kekerasan seksual (Surat Edaran Rektor Universitas Palangkaraya). Di Aceh, berhasil mendorong Pemerintah Aceh untuk membentuk tim evaluasi terhadap penerapan perda syariah yang berkaitan dengan pengaturan hukum untuk kasus kekerasan seksual.
Dari sisi korban, kemajuan yang terlihat, antara lain, ditemukan perubahan pada korban, yakni menjadi lebih baik, menjadi berani melaporkan, lebih kuat menjalani proses, bahkan berani tampil di muka publik. Dari sisi pemberiaan, mulai banyak media yang mendorong dan tidak memublikasikan identitas korban, serta membantu menggalang dukungan publik, alam pengobatan, biaya penanganan, dan konsumsi korban.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual oleh pemerintah menjadi tujuan utama untuk berdemo bagi sejumlah aktivis perempuan. Sejumlah aktivis perempuan menggelar aksi demo di kawasan hari bebas kendaraan bermotor di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (25/8/2019).
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Menanggapi Penelitian YLBHI, Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengungkapkan data yang dihimpun YLBHI menegaskan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan kebutuhan yang mendesak.
”Data yang berangkat dari pengalaman nyata pendampingan memperlihatkan kompleksitas permasalahan yang dihadapi korban kekerasan seksual dalam memproses kasusnya,” ujar Andy.
Secara strategis, lanjut Andy, muatan enam elemen kunci dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dapat membuka kebuntuan akses keadilan korban selama ini, termasuk dalam hal jurang norma hukum dan kepastian perlindungan serta dukungan pemulihan.
Maka, rekomendasi terkait sosialisasi,pelaksanaan dan pemantauan pelaksanaan PERMA 3/2017 perlu diperkuat dengan sosialisasi, pelaksanaan dan pemantauan pelaksanaan Pedoman Kejaksaan No 1/2021, dan perumusan kebijakan serupa untuk untuk kepolisian.
”Daya dukung bagi korban juga dapat ditingkatkan melalui mekanisme koordinasi daerah dengan mengoptimalkan kebijakan-kebijakan di tingkat nasional maupun daerah mengenai layanan bagi korban, khususnya perempuan dan anak korban kekerasan,” ujar Andy.
Anggota DPR, Hinca Panjaitan, mengungkapkan, dirinya menghargai hasil kerja penelitian dari YLBHI dan 17 LBH. Penelitian tersebut merupakan kegelisahan dari organisasi masyarakat sipil.