Kekerasan seksual terus mengancam perempuan dan anak-anak, bahkan di tengah pandemi sekalipun. Namun, proses Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual hingga kini belum menunjukkan kemajuan berarti.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
KOMPAS/RINI KUSTIASIH
Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Willy Aditya saat memimpin rapat Badan Legislasi DPR secara virtual, Senin (12/7/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Proses legislasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di Dewan Perwakilan Rakyat terus mengalami tarik ulur dan jadi ajang pertarungan ideologi yang tak kunjung berakhir antara kelompok pengusung/pendukung dan kelompok yang keberatan. Pada saat yang sama, daftar korban kekerasan seksual yang seharusnya mendapat perlindungan negara melalui UU ini justru kian panjang.
”RUU ini sudah diusulkan sejak lama, proses lama, banyak hambatan dan dinamika. Tentu kita punya pertanyaan, apa yang menjadi problem. Setelah ikuti langsung dan berproses di Badan Legislasi, saya melihat salah satu problem besarnya adalah paradigma berpikir dan adanya kesalahpahaman tentang RUU ini,” kata Taufik Basari, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, pada Diskusi Mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas 2021 (tinjauan perspektif hukum, sosial kultural, agama, jender, dan HAM), Rabu (21/7/2021) secara daring.
Pada diskusi yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 itu, Taufik menegaskan, kesalahpahaman atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang selama ini didorong dan dikampanyekan gerakan perempuan terjadi karena adanya narasi-narasi yang dibangun kelompok tertentu.
Sejumlah pihak merasa terganggu dengan apa yang selama ini diperjuangkan kelompok tersebut, seperti keadilan jender, hak-hak perempuan, melawan patriarki, dan hak asasi manusia.
”Karena merasa tidak sreg dengan perjuangan tersebut, akhirnya mereka menjadikan RUU PKS ini sebagai ajang pertarungan pemikiran. Pembahasan RUU PKS, mulai dari periode yang lalu, menjadi ajang pertarungan ideologi,” kata Taufik dalam diskusi yang dibuka oleh Lestari Moerdijat, Wakil Ketua MPR.
Ia mencontohkan, kelompok yang keberatan menuding RUU PKS adalah titipan budaya Barat. Padahal, RUU tersebut justru berlandaskan sila kedua Pancasila, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
”Ada upaya memanusiakan manusia yang seharusnya tidak mendapatkan kekerasan seksual dan ada tugas dari negara untuk melindungi si korban, menjamin proses hukum yang adil dan beradab, dan kekerasan seksual harus dicegah. Jadi clear, semangat Pancasila jadi tujuan RUU ini,” kata Taufik.
Itulah sebabnya, ia berharap proses RUU PKS tidak terus berkutat di ”kubangan kesalahpahaman” tersebut dan RUU PKS bisa berlanjut.
Kekeliruan berpikir
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menegaskan, ada kekeliruan berpikir dalam melihat RUU PKS yang sangat ditunggu-tunggu bukan hanya oleh korban kekerasan, melainkan juga masyarakat di Tanah Air. Contohnya, ketakutan soal terminologi feminisme. ”Feminisme itu sebetulnya adalah suatu konsep yang lahir sebagai sebuah kesadaran untuk menyuarakan suara-suara perempuan yang tersembunyi dalam kejahatan, ketidakadilan, diskriminasi, dan lain-lain. Itu disuarakan oleh seluruh perempuan dunia, bukan oleh perempuan Barat saja,” kata Sulistyowati.
Ada upaya memanusiakan manusia yang seharusnya tidak mendapatkan kekerasan seksual dan ada tugas dari negara untuk melindungi si korban, menjamin proses hukum yang adil dan beradab, dan kekerasan seksual harus dicegah. Jadi clear, semangat Pancasila jadi tujuan RUU ini
Perempuan juga memperjuangkan pendidikan, hak politik perempuan, berbagai perjuangan perempuan miskin, dan diskriminasi karena bermacam sebab, seperti ras, agama, dan kelas. Perjuangan itu dilakukan karena hukum selama ini merugikan perempuan.
DOKUMENTASI/JARINGAN MUDA SETARA
Suasana saat Jaringan Muda Setara dan organisasi masyarakat sipil menggelar aksi mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang, Selasa (7/7/2020), di depan Gedung MPR/DPR/DPD.
Hal senada disampaikan Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014. ”Jadi, feminisme adalah sebuah kesadaran akan ketidakadilan yang dialami perempuan dan berusaha memperjuangkannya. Sesederhana itu. Tapi, orang enggak paham, takut pada istilahnya, tidak paham substansinya,” ujarnya.
Yuniyanti menyatakan prihatin karena RUU PKS gampang sekali ditolak hanya gara-gara kesalapahaman para tokoh yang tidak membaca RUU tersebut, kemudian berkomentar dan punya pandangan yang tidak sejalan dengan RUU, lalu masyarakat dengan mudah mengikutinya. ”Pusaran kesalahpahaman RUU PKS ini terjadi salah satunya karena itu,” katanya.
Ia menyampaikan, sejarah lahirnya RUU PKS bukan terjadi di ruang hampa, melainkan lahir dari kasus yang dialami Marsinah, yang menunjukkan bahwa pemerkosaan itu memiliki banyak dimensi. ”Jadi, RUU PKS ini justru ingin menghormati para korban,” ujarnya.