Meluruskan Kekeliruan dan Disinformasi Seputar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terus mengancam perempuan dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, hingga kini para korban menghadapi jalan buntu untuk mencari keadilan karena adanya kekosongan hukum.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·6 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan menggelar aksi diam dalam peringatan Hari Perempuan Internasional di jalan depan Kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, Sumbar, Senin (8/3/2021). Melalu tulisan di kertas karton, mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena angka kekerasan seksual masih relatif tinggi, termasuk di Sumbar.
Kekerasan seksual tidak mengenal waktu dan tempat. Bahkan dalam kondisi pandemi Covid-19 pun, kejahatan kemanusiaan yang merendahkan martabat manusia terus berlangsung, tak berjeda. Siapa pun bisa jadi korban, mulai dari perempuan hingga anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki. Begitu juga pelaku. Bukan hanya orang orang, keluarga dekat dan oknum aparat penegak hukum pun jadi pelaku.
Daftar kasus kekerasan seksual terus memanjang. Sementara kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diharapkan menjadi jalan untuk mencegah dan melindungi korban kekerasan seksual tak kunjung terwujud. Di sisi lain, suara penolakan atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut tak berhenti.
Semenjak bergulir RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, muncul banyak tanggapan dari kelompok yang tidak setuju dengan RUU tersebut, terutama di media-media sosial. Bermacam komentar dan pernyataan memunculkan berbagai penafsiran yang keliru terkait RUU tersebut, yang kenyataannya tidak ada dalam RUU tersebut. Akibatnya, terjadi disinformasi. Kalangan masyarakat yang tidak membaca langsung draf RUU pun terseret dalam arus penolakan akan RUU tersebut.
Cakupan perlindungan dalam RUU tersebut melingkupi setiap orang yang menjadi korban kekerasan seksual, termasuk perempuan, laki-laki, anak laki-laki dan anak perempuan, orang dengan disabilitas.
”Akibat disiformasi atau bisa dikatakan kabar bohong, urgensi pemenuhan hak korban atas keadilan, perlindungan, dan pemulihan terhadap korban kekerasan menjadi hilang di publik. Energi kita terkuras untuk membincang atau saling menanggapi terkait dengan hal yang sebenarnya tidak ada dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Siti Aminah Tardi, anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dalam perbincangan dengan Kompas, Minggu (11/7/2021).
Padahal, disinformasi tersebut, menurut Aminah, tidak hanya membuat perdebatan yang berkepanjangan, tetapi juga berdampak pada korban kekerasan seksual. Dinamika tersebut semakin menjadikan korban akan bungkam karena seperti kehilangan asa dan menjadi semakin dipersalahkan atas kekerasan yang menimpanya.
”Jika kita mendengar suara korban, mengedepankan kepentingan korban, seharusnya kita mengakui bahwa ada masalah dalam pemenuhan keadilan, perlindungan, dan pemulihan korban, baik dalam pelayanan maupun penegakan hukumnya. Mendiskusikan isu kekerasan seksual adalah membuka hati untuk korban, bukan untuk yang lain,” papar Aminah.
Berangkat dari situasi itulah, selain gencar menyosialisasikan kemendesakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, beberapa waktu lalu Komnas Perempuan menyusun buku panduan berjudul Kupas Tuntas Q & A Seputar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Panduan berbentuk buklet itu berisi tanya jawab seputar RUU tersebut.
Buklet itu untuk meluruskan kekeliruan publik dalam menilai RUU tersebut, termasuk menjawab berbagai pertanyaan yang sesungguhnya tidak ada dalam naskah RUU tersebut. Buklet tersebut juga menjawab sekaligus mendokumentasikan perdebatan-perdebatan yang muncul pada pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR 2014-2019.
Pada periode DPR lalu muncul banyak kekeliruan dalam memahami rumusan norma dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kekeliruan yang bersumber dari kesalahan cara berpikir dalam menafsirkan, keengganan untuk membaca dengan cermat seluruh materi muatan, serta disinformasi tentang berbagai rumusan norma pada akhirnya mendorong sejumlah pihak untuk memobilisasi penolakan.
Oleh karena itu, agar bisa dipahami dengan mudah oleh publik, dalam buklet tersebut Komnas Perempuan menampilkan sejumlah pertanyaan yang sering disampaikan di publik dan memberikan penjelasan. Misalnya, apakah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sesuai dengan nilai Pancasila dan agama? Apakah feminisme bertentangan dengan nilai-nilai di Indonesia?
Pertanyaan lain, apakah RUU tersebut hanya melindungi perempuan, melegalisasi zina? Atau apakah RUU tersebut memidanakan pelaku sodomi, perkawinan poligami, atau perkosaan dalam perkawinan?
Ada juga pertanyaan, apakah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melegalkan aborsi, melegalkan pelacuran? Apakah RUU tersebut memidanakan hubungan seksual suami istri yang sah dengan delik perbudakan seksual?
Melindungi semua orang
Semua pertanyaan tersebut dijawab dalam buklet Komnas Perempuan. Misalnya, untuk pertanyaan apakah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hanya melindungi perempuan?
Jawabannya, RUU tersebut melindungi setiap orang atau siapa pun tanpa kecuali. Frasa ”setiap orang” memberi arti bahwa cakupan perlindungan dalam RUU tersebut melingkupi setiap orang yang menjadi korban kekerasan seksual, termasuk perempuan, laki-laki, anak laki-laki dan anak perempuan, dan orang dengan disabilitas.
Artinya, seluruh akses penanganan, perlindungan, dan pemulihan diberikan kepada korban tanpa mensyaratkan jenis kelamin tertentu ataupun identitas lain. Pengaturan tindak pidana dan pemidanaan, hingga hukum acara, juga menjangkau pelaku dari latar belakang jenis kelamin dan identitas apa pun, tanpa kecuali.
Mengenai pertanyaan yang banyak disampaikan kelompok penolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yakni apakah RUU tersebut akan melegalisasi LGBT? Komnas Perempuan menegaskan, orientasi seksual berbeda dengan kekerasan seksual. Orientasi seksual secara sederhana diartikan sebagai ketertarikan seksual seseorang kepada orang lain, baik kepada lawan jenis (heteroseksual) maupun kepada sejenis (homoseksual), atau sekaligus kepada lawan jenis dan jenis kelamin yang sama (biseksual).
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak mengatur orientasi seksual atau LGBT, tetapi mengatur segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual, mulai dari pencegahan, penanganan kasus, perlindungan dan pemulihan korban, penindakan pelaku, hingga pengawasan pelaksanaan UU.
Bagaimana terhadap pertanyaan dan tudingan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak sejalan dengan nilai Pancasila dan agama? Selain secara universal, tidak ada agama dan kepercayaan mana pun yang membenarkan terjadinya kekerasan terhadap siapa pun. Di Indonesia, kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk kekerasan seksual, adalah tindakan yang bertentangan dengan semua ajaran agama dan kepercayaan, Pancasila, serta nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia.
RUU tersebut justru hadir mengakomodasi nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan di Indonesia karena memuat ruang lingkup perlindungan dan penanganan korban kekerasan seksual sebagai kelompok yang lemah serta mengakomodasi dan menghormati perlindungan kepada seluruh penganut agama atau kepercayaan dari kekerasan seksual.
Definisi
Valentina Sagala dari Tim Substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang ikut mengawal RUU tersebut sejak periode DPR lalu, mengatakan, hingga kini masih terjadi multitafsir dan cara membaca yang keliru soal definisi kekerasan seksual.
Padahal, definisi kekerasan seksual dalam RUU tersebut berbunyi, ”Setiap perbuatan yang merendahkan dan/atau menyerang terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, dengan memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang berdasarkan jenis kelamin, yang dapat disertai dengan status sosial lainnya, yang berakibat atau dapat mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan menggelar aksi diam dalam peringatan Hari Perempuan Internasional di jalan depan Kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, Sumbar, Senin (8/3/2021). Melalu tulisan di kertas karton, mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena angka kekerasan seksual masih relatif tinggi, termasuk di Sumbar.
Artinya, tindak pidana kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sesuai ketentuan dalam UU tersebut. Ada sembilan jenis tindak pidana yang masuk dalam draf RUU tersebut, yakni tindak pidana kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
”Jadi, tidak sembarang orang masuk penjara, harus memenuhi unsur-unsur tindak pidananya,” ujar Valentina.
Apakah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bertentangan dengan nilai-nilai agama, Masruchah dari Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menegaskan bahwa kekerasan seksual secara normatif sejatinya dilarang oleh agama mana pun dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Islam mengharamkan kekerasan seksual baik di dalam maupun di luar rumah tangga, seperti hubungan seksual suami istri pada saat istri sedang haid atau nifas, hubungan seks melalui anus (seks anal/liwath), dan inses (hubungan seksual sedarah), karena nyata bahayanya.
Demikian pula perkosaan, pelecehan seksual, perbudakan seksual, eksploitasi seksual, dan tindakan kekerasan seksual lainnya. ”Apalagi kalau bicara dampaknya, kondisi fisik, psikis, kondisi sosial, dan lain-lain, itu membuat korban trauma,” katanya.
Oleh karena itulah, KUPI mendukung pembahasan dan pengesahan segera RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU. Sebab, UU Penghapusan Kekerasan Seksual penting ada sebagai instrumen membangun peradaban bangsa yang berkemajuan dan berkeadilan bagi seluruh warga negara agar bebas dari segala bentuk kezaliman, termasuk kekerasan dan diskriminasi.
RUU tersebut sejalan dengan kearifan Nusantara yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai implementasi nilai-nilai ketauhidan.