Ketiadaan Hukum Membuat Daftar Korban Makin Panjang
Kekerasan seksual adalah fakta dan setiap hari perempuan dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, jadi korban. Saatnya semua melindungi korban dengan menghadirkan UU yang berpihak kepada korban.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
ERIK UNTUK KOMPAS
Tiga pelaku pelecehan dan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur ditangkap aparat porles Konawe, Sultra, seperti terlihat pada Rabu (30/12/2020). Perlindungan terhadap anak dan perempuan mendesak dilakukan di tengah tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi.
JAKARTA, KOMPAS — Kekosongan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual seharusnya semakin mendorong negara mewujudkan hadirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Sebab, peraturan perundang-undangan tersebut akan berkontribusi pada lahirnya budaya baru yang lebih adil dan beradab dalam melihat persoalan kekerasan seksual dan dampaknya bagi korban, keluarga, komunitas, dan negara.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi undang-undang juga akan memberikan landasan hukum yang kuat tentang jaminan rasa aman dan keadilan bagi korban. Ketiadaan perangkat hukum yang memadai menyebabkan daftar korban semakin panjang, dan korban terus terpuruk dengan dampak kekerasan berkepanjangan.
Harapan ini disampaikan perwakilan organisasi masyarakat yang mendukung RUU PKS dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (13/7/2021). Sehari sebelumnya, dalam RDPU yang terkait penyusunan RUU PKS, Baleg juga mendengarkan pandangan dari perwakilan masyarakat yang keberatan dengan RUU tersebut.
”Kongres Ulama Perempuan Indonesia meyakini DPR dan anggota dewan yang terhormat, dengan kearifan dan kenegarawanannya akan mampu menghadirkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang adil dan solutif sebagai wujud dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang memberi perlindungan kepada segenap warga bangsa dari kekerasan seksual, khususnya kelompok dhuafa (lemah) dan mustadh’afin (terlemahkan secara struktural),” ujar Ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Badriyah Fayumi.
Peraturan perundang-undangan yang ada belum menyediakan skema perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban yang komprehensif, terintegrasi, berkualitas, dan berkelanjutan.
Kendati berharap RUU PKS segera dibahas dan disahkan menjadi UU, KUPI mengingatkan agar DPR tetap mengedepankan unsur kehati-hatian dan kejelasan norma yang akan diatur agar tidak terbuka pintu multitafsir dan penyalahgunaan dalam implementasi apabila RUU ini sudah disahkan.
Oleh karena itu, jika ada hal-hal yang masih dikhawatirkan, Badriyah berharap hal tersebut harus bisa dijawab melalui rumusan pasal dan norma dalam RUU yang akan dibahas DPR.
Selain dari KUPI, pada RDPU yang dipimpin secara daring oleh Ketua Panitia Kerja RUU PKS Willy Aditya, juga mendengarkan pandangan dari Mike Verawati Tangka (Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)), Vitria Lazzarini Latief (Psikolog Tenaga Ahli Psikolog Klinis di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jakarta), Sri Wiyanti Eddyono (Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Nur Rofiah (Cendekiawan Muslimah/Dosen Paskasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ) Jakarta), dan Topo Santoso (Guru Besar Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia).
Sri Wiyanti menegaskan, RUU PKS mendesak disahkan menjadi UU karena hingga kini ada problem hukum dalam perlindungan korban kekerasan, menyusul kekosongan hukum dalam mengatur kekerasan seksual. Selain Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak berorientasi kepada hak korban, tetapi tersangka/terdakwa, peraturan perundang-undangan yang ada belum menyediakan skema perlindungan, penanganan dan pemulihan korban yang komprehensif, terintegrasi, berkualitas, dan berkelanjutan.
”Selama ini terjadi peradilan tidak independen, menyangkal keterangan korban, menstigma atau menyalahkan. Bahkan kasus kekerasan dengan perempuan sebagai korban, kasusnya sulit diproses secara hukum dan hukumannya rendah, kecuali anak yang menjadi korban,” ujar Sri Wiyanti.
Topo Santoso berpendapat bahwa materi dalam draf RUU PKS sebagian ada irisan/kesamaan dengan UU yang sudah ada, baik nama maupun substansinya, tetapi rumusannya (unsur-unsurnya) serta ancaman pidananya berbeda. Sebagian rumusan tindak pidananya juga belum ada dalam UU lainya. ”Di samping itu, RUU ini mengatur secara lebih holistik penyelesaian atas masalah kekerasan seksual di Indonesia,” kata Topo.
Kendati demikian, Topo menyarankan sebaiknya tindak pidana pemerkosaan dalam RUU PKS dihilangkan karena sudah diatur dalam KUHP. Selain itu, dalam Rancangan KUHP yang dibahas DPR saat ini, pengaturannya lebih berkembang dibandingkan ketentuan dalam Pasal 285 KUHP yang masih digunakan saat ini.
Pembiaraan negara
Mike Verawati menegaskan, RUU PKS mendesak disahkan sebagai UU karena ketika korban banyak berjatuhan dan tidak mendapatkan keadilan dan perlindungan itu artinya negara melakukan ”pembiaran”. Ia pun menegaskan pentingnya penguatan peran dan kerja lintas sektor lewat UU PKS nanti.
”Kebijakan yang komprehensif mengatur soal kekerasan seksual, akan memperbaiki kultur kekerasan atau tradisi pelestarian kekerasan seksual,” ujar Mike.
Nur Rofiah menyatakan, pengesahan RUU PKS adalah ikhtiyar mewujudkan keadilan hakiki bagi perempuan melalui kebijakan negara. Karena perempuan memiliki pengalaman khas perempuan secara biologis, yakni menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Selain itu, secara sosial karena perempuan rentan mengalami stigmatisasi, subordinasi, marjinalisasi, kekerasan, dan beban ganda.
Vitria mengingatkan akan dampak dari kekerasan seksual bukan hanya korban, melainkan juga keluarga, bahkan komunitas. Ketika menjadi korban kekerasan seksual, dampak psikologis segera muncul dalah reaksi syok dan emosi negatif (takut, marah, sedih/duka, bingung, dan cemas). Ketika berada dalam kondisi shock, korban sangat mungkin mengalami kelumpuhan akibat rasa takut yang luar biasa (tonic immobility).
”Kelumpuhan ini menyebabkan mereka tidak dapat menggerakkan tungkai lengan maupun kaki, sehingga menjadi tidak mungkin melakukan perlawanan. Ini merupakan respons otomatis dari tubuh untuk melindungi diri bukan menandakan korban menginginkan terjadinya tindakan kekerasan seksual,” paparnya.
Taufik Basari, anggota Baleg dari Fraksi Nasdem, mengapresiasi paparan para pembicara yang didasarkan pada data, fakta, dan pengalaman terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi selama ini.
Seharusnya hal tersebut menjadi dasar yang paling valid dan sumber primer dibandingkan dengan dasar dugaan, bayang-bayangan ketakutan, isu-isu tentang teori konspirasi budaya barat, dan berbagai kecurigaan yang akhirnya membuat sejumlah pihak terjebak pada kesalapahaman. ”Karena itu, penting meluruskan kesalapahaman yang terjadi melalui dialog seperti ini,” kata Taufik.