Anak-anak masih rentan mengalami eksploitasi seksual, baik di ruang daring maupun luring. Upaya perlindungan anak perlu melibatkan semua pihak, baik pemerintah, organisasi, maupun anak-anak serta orang muda.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eksploitasi seksual anak masih jadi kendala dalam upaya perlindungan anak. Penguatan kebijakan pemerintah dan peran para pemangku kepentingan menjadi penting. Partisipasi anak dan orang muda dalam penyusunan kebijakan pun perlu dipertimbangkan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring oleh Aliansi Down to Zero di bawah ECPAT Indonesia, Terre des Hommes, dan Yayasan Plan International Indonesia, Rabu (23/6/2021). Ada sembilan organisasi anak dan orang muda yang terlibat. Mereka berasal dari delapan daerah, yaitu Solo, Surabaya, Jakarta, Bali, Medan, Batam, Indramayu, dan Lombok.
Organisasi anak dan orang muda tersebut berkolaborasi mengidentifikasi masalah, memetakan kasus, dan melakukan advokasi isu eksploitasi seksual anak. Mereka juga memberi rekomendasi solusi kepada pemangku kebijakan.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Kepala Polda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana (kedua dari kiri) bersama Menteri Sosial Juliari Batubara (kedua dari kanan) didampingi Direskrimum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat (kiri) dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto merilis penangkapan pria warga negara Perancis berinisial FAC alias Frans (65) di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (9/7/2020). Pria tersebut melakukan eksploitasi secara ekonomi dan seksual terhadap 305 anak di bawah umur di beberapa hotel di kawasan Jakarta.
Adapun bentuk eksploitasi seksual pada anak di Indonesia antara lain pelacuran anak, dijadikan obyek pornografi, serta eksploitasi seksual di ranah daring seperti grooming dan sexting. Pandemi Covid-19 menambah kerentanan anak terhadap eksploitasi seksual. Salah satu alasannya karena tingginya penggunaan internet selama pandemi.
ECPAT Indonesia pada April 2020 melakukan survei terhadap 1.203 anak berusia 6-17 tahun. Sebagian besar responden menggunakan internet lebih dari enam jam dalam sehari. Dari semua responden, ditemukan 287 pengalaman buruk saat berinternet. Contohnya dikirimi tulisan atau pesan teks tidak sopan dan tidak senonoh (112 responden), dikirimi gambar atau video yang membuat tidak nyaman (66 responden), dan dikirimi gambar atau video pornografi (27 responden).
Koordinator KOMPAK Jakarta Enrich Samuel mengatakan, salah satu alasan penyebab eksploitasi seksual adalah penelantaran anak oleh keluarga. Ini memicu anak mencari kasih sayang atau perlindungan di tempat lain sehingga rentan dieksploitasi.
Literasi digital dan pemahaman penting untuk mencegah anak mengalami eksploitasi seksual. Sebab, eksploitasi itu banyak bentuknya sehingga kita harus waspada. (Enrich Samuel)
Pemahaman anak muda pun dinilai masih belum memadai untuk menjaga diri dari ancaman kejahatan seksual daring. ”Literasi digital dan pemahaman penting untuk mencegah anak mengalami eksploitasi seksual. Sebab, eksploitasi itu banyak bentuknya sehingga kita harus waspada,” kata Enrich.
HUMAS KEPOLISIAN RESOR KOTA BOGOR
Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Bogor Ajun Komisaris Besar Arsal Sahban menginterogasi AS (47), pelaku kekerasan seksual anak di bawah umur, dan SE (38), pelaku kekerasan fisik kepada empat anaknya, di Polresta Bogor.
Faktor lain penyebab eksploitasi seksual anak adalah masih ada anak yang tinggal di lingkungan rentan eksploitasi, kondisi ekonomi yang lemah, hingga masih lemahnya peran pemangku kebijakan untuk melindungi anak. Pemerintah hingga kepolisian diharapkan menguatkan peran mereka untuk mencegah dan mengatasi eksploitasi seksual anak.
”Kami harap tempat usaha yang rentan eksploitasi juga membatasi akses anak, misalnya tempat karaoke. Kami juga minta peningkatan kesadaran pemangku kepentingan akan bahaya eksploitasi seksual anak. Jika penanganan tidak tepat, korban bisa menjadi korban lagi,” kata perwakilan Yayasan Kepedulian untuk Anak Surakarta, Afiq Putra.
Upaya pemerintah
Kepala Subkelembagaan Badan Usaha Milik Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Sari Arta Aritonang mengatakan, kementeriannya bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) membuat program desa keberlanjutan. Program itu mencakup penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Menurut dia, desa perlu dibangun agar menciptakan rasa aman dan nyaman ke anak. Pengembangan desa menjadi desa wisata pun perlu dikawal agak eksploitasi seksual anak tidak terjadi. ”Desa wisata agar nyaman dan aman bagi perempuan dan anak. Mereka digali dan diberdayakan, bukan dieksploitasi,” ucapnya.
Adapun Kementerian Sosial membuka Telepon Pelayanan Sosial Anak dengan nomor 1500771. Pengaduan indikasi atau kasus eksploitasi seksual anak dapat dilaporkan ke nomor itu. Kementerian PPPA juga membuat layanan telepon serupa dengan nomor 129.
Partisipasi anak
Koordinator Nasional ECPAT Indonesia Ahmad Sofian mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan partisipasi anak dan orang muda dalam menyusun kebijakan perlindungan anak. Ini karena pendapat anak patut dihargai. Ini juga untuk memeriksa apakah kebijakan yang disusun sudah sesuai dengan kebutuhan anak atau belum.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar mengapresiasi masukan dari anak dan orang muda. Ini mendorong kementerian/lembaga untuk mengulas lagi kebijakan perlindungan anak yang sudah ada. Ia menambahkan, pihaknya sedang melengkapi dokumen pengantar peta jalan perlindungan anak di internet.
”Kami akan kawal beberapa rekomendasi yang sudah disampaikan. Mohon agar kita sama-sama memastikan rekomendasi dilaksanakan sebaik-baiknya,” kata Nahar.