Kekerasan Seksual Tak Sejalan dengan Nilai-nilai Agama Apa Pun
Kekerasan seksual merupakan bentuk dari kejahatan kemanusiaan yang merendahkan martabat manusia. Karena itulah kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak untuk melindungi para korban.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Kompas/Raditya Helabumi
Beragam sepatu diletakkan di depan gerbang Gedung DPR, Senayan, Jakarta, dalam aksi 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), Rabu (25/11/2020). Aksi tersebut merupakan bagian dari Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Komnas Perempuan mendesak legislatif untuk menjadikan RUU PKS yang menjadi payung hukum bagi korban Kekerasan Seksual agar masuk dalam Prolegnas 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan dalam bentuk apa pun tak terkecuali kekerasan seksual sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi cinta kasih dan perdamaian. Kekerasan tidak sejalan dengan upaya untuk mewujudkan sistem kehidupan yang adil bagi semua pihak termasuk perempuan. Oleh karena itu, sejumlah tokoh lintas agama, Rabu (9/6/2021), mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Desakan tersebut disampaikan dalam pernyataan sikap perwakilan tokoh lintas agama seusai Dialog Publik ”Perspektif Agama-agama atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” yang digelar BPN Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati) dan Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Hadir juga sebagai pembicara dari perwakilan tokoh lintas agama, Venita (Wanita Buddhis Indonesia), Yanto Jaya (Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat), Marzuki Wahid (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), Ponnie Wijaya (Perempuan Khonghucu), Henrek Lokra (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia), Ira Imelda (WCC Pasundan Durebang), dan Juwita Jatikusumah Putri (Komunitas Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan).
”Negara harus hadir untuk menyikapi kasus kekerasan seksual. Negara adalah media bagi manusia untuk mewujudkan sistem kehidupan yang adil bagi semua pihak termasuk warga negara perempuan. Negara wajib melindungi setiap warga negara dari menjadi pelaku ataupun korban kekerasan seksual,” ujar Erna Kusuma (Wanita Katolik) saat membacakan pernyataan sikap.
Negara harus melindungi korban kekerasan seksual karena selain memiliki konstitusi UUD 1945 yang menjamin perlindungan terhadap setiap warga negaranya, Indonesia juga mengakui Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan meratifikasinya melalui UU No 7 Tahun 1984 sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan dari diskriminasi ataupun kekerasan.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan menggelar aksi diam dalam peringatan Hari Perempuan Internasional di jalan depan kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, Sumbar, Senin (8/3/2021). Melalui tulisan di kertas karton mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena angka kekerasan seksual masih relatif tinggi, termasuk di Sumbar.
Para tokoh lintas agama bersama Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU PKS menyatakan, wujud kehadiran negara untuk melindungi para korban kekerasan seksual adalah dengan memberikan payung hukum dalam bentuk undang-undang. Kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting untuk melindungi korban kekerasan seksual dan juga para pendamping korban kekerasan seksual.
Substansi dari RUU PKS ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, cinta kasih dan berkeadilan sejalan dengan ajaran agama mana pun. ”Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi negara dalam melakukan perlindungan secara hukum atas warga negara dari kejahatan kekerasan seksual,” kata Erna.
Negara harus hadir untuk menyikapi kasus kekerasan seksual. Negara adalah media bagi manusia untuk mewujudkan sistem kehidupan yang adil bagi semua pihak termasuk warga negara perempuan
Tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia dengan korban kebanyakan perempuan tergambar dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2020. Terdapat 1.983 kasus kekerasan seksual yang terlapor ke lembaga pendamping di tahun itu. Namun, tidak tertutup kemungkinan masih banyak kasus yang tidak terlapor atau tidak diketahui.
Di lapangan, banyak ketidakadilan dan kekerasan seksual akibat adanya ketimpangan relasi jender dan seksualitas masih berlangsung.
Dalam dialog publik tersebut, Marzuki yang juga Pendiri Fahmina-Institut Cirebon menegaskan, semua agama harus bersama mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU karena kekerasan seksual makin merajalela. ”Kekerasan seksual dalam segala bentuk adalah haram, baik dilakukan di luar maupun di dalam perkawinan karena kekerasan seksual, bertentangan dengan ajaran Islam,” kata Marzuki yang membacakan beberapa hasil KUPI tahun 2017.
Henrek Lokra dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia menyatakan, konsolidasi masyarakat sipil menjadi penting untuk terus mengawal jalannya proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR. Adapun Juwita Jatikusumah Putri dari Komunitas Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan mengungkapkan keprihatinannya atas berbagai kekerasan seksual yang masih terus terjadi sampai saat ini, yang menghancurkan nilai kemanusiaan.
Sementara Venita dari Wanita Buddhis Indonesia menyatakan, seperti semua agama, prinsip dalam agama Buddha semua perbuatan buruk akan berakibat buruk. Karena itu, kekerasan seksual juga bagian dari kejahatan kemanusiaan sebab dampaknya seumur hidup.