Hentikan Perundungan dan Intimidasi lewat Aturan Busana
Pemaksaan atau pelarangan seragam dengan atribut khas agama tertentu di sekolah tidak sejalan dengan prinsip pendidikan yang sejatinya nondiskriminatif, tanpa kekerasan, dan menghormati HAM.
Oleh
Ester Lince Napitupulu
·5 menit baca
KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI
Siswa sedang memilih ukuran seragam olahraga di halaman SMA Negeri 1 Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (13/7/2020). Dalam kegiatan masa pengenalan lingkungan sekolah, siswa juga diminta menentukan ukuran seragam olahraga.
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan sejatinya diselenggarakan dengan prinsip nondiskriminatif, tanpa kekerasan, dan menghargai hak asasi manusia. Karena itu, pemaksaan atau pelarangan seragam dengan atribut khas agama tertentu di sekolah, terutama pada perempuan dan siswa perempuan, harus dihentikan untuk menghadirkan suasana belajar yang aman dan menyenangkan. Sebab, masa depan Indonesia bergantung pada generasi muda yang terbiasa hidup dalam keberagaman.
Berbagai elemen masyarakat, perseorangan dan organisasi kemasyarakatan lintas bidang dan profesi dari seluruh Indonesia, mengeluarkan petisi bertajuk ”Seruan Indonesia: Hentikan Perundungan dan Intimidasi lewat Aturan Busana”, Jumat (4/6/2021). Petisi dikirimkan kepada Presiden; Menteri Dalam Negeri; Menteri Agama; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Komisi Yudisial; dan ditembuskan kepada Mahkamah Agung.
Seruan dari berbagai elemen masyarakat itu didorong oleh keprihatinan akibat aturan berbusana bagi perempuan dan anak perempuan yang diatur sedemikian rupa, bahkan ada ancaman dan intimidasi jika aturan tidak dilaksanakan. Korban sudah berjatuhan akibat diskriminasi, perudungan, dan pemaksaan berbusana, khususnya tentang jilbab, di berbagai institusi pendidikan hingga dunia kerja.
Berdasarkan data Komisi Nasional Perempuan, setidaknya ada 62 aturan wajib jilbab di seluruh Indonesia. Adapun Human Rights Watch mengatakan, aturan wajib jilbab efektif pada minimal 24 dari 34 provinsi.
”Para psikolog di jaringan kami kini menangani pasien gangguan jiwa, termasuk percobaan bunuh diri, akibat trauma perundungan karena kewajiban berbusana tertentu,” kata psikolog klinik di Bandung, Ifa Hanifah Misbach.
Payung hukum yang melarang pemaksaan berbusana khas agama tertentu di lingkungan sekolah diperkuat dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri soal Seragam Sekolah Negeri pada 3 Februari 2021. Aturan ini memberikan kesempatan kepada siswi dan perempuan guru untuk memilih busana mereka, baik memilih memakai atribut keagaman maupun tidak. Namun, pada 3 Mei, SKB ini dibatalkan Mahkamah Agung setelah sebagai putusan atas perkara yang diajukan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minagkabau Sumatera Barat.
Para psikolog di jaringan kami kini menangani pasien gangguan jiwa, termasuk percobaan bunuh diri, akibat trauma perundungan karena kewajiban berbusana tertentu. (Ifa Hanifah Misbach)
Hingga saat ini pertimbangan MA terhadap pembatalan SKB Tiga Menteri tentang Seragam Sekolah belum bisa diakses publik. Putusan hakim dinilai terburu-buru, tidak meminta masukan dari Komisi Nasional Perempuan serta unsur masyarakat yang dirugikan oleh kewajiban berjilbab.
Inspektur Jenderal (Itjen) Kemendikbud Ristek Chatarina Muliana Girsang mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih menanti putusan MA dan belum menerima salinan putusan. Namun, Itjen Kemendikbud Ristek dibantu kelompok masyarakat mengumpulkan data terkait dengan pemaksaan atau pelarangan seragam sekolah dengan atribut khas agama tertentu.
Petisi ini menuntut keadilan bagi perempuan dan anak perempuan Indonesia untuk memilih identitas dirinya. Sebab, mendidik perempuan sama dengan mendidik generasi bangsa. Masa depan keindonesiaan ditentukan oleh seberapa banyak generasi muda mampu menghargai konstitusi, keberagaman, dan kemanusiaan.
Kompas/Priyombodo
Calon siswa mengabadikan panduan seragam di posko penerimaan peserta didik baru di SMK Negeri 15 Jakarta Selatan, Selasa (23/6/2020). Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama Empat Menteri menetapkan sekolah bisa dibuka di zona hijau Covid-19 dengan syarat memenuhi protokol kesehatan, ada izin pemerintah daerah dan izin orangtua siswa. Namun, sekolah diminta tidak terburu-buru menyelenggarakan pembelajaran tatap muka meski berada di zona hijau Covid-19.
Direktur Eksekutif Kalyanamitra Lilis Listyowati mengatakan, gagasan petisi yang didukung banyak orang ini menandakan perjuangan kebebasan untuk menentukan pilihan ada pada diri sendiri. Dalam konstitusi dan kebijakan di negara Indonesia, hak untuk mempunyai kebebasan menentukan pilihan bagi diri sendiri setiap warga negara dilindungi.
”Kita bicara Indonesia, ya, keberagaman, enggak satu kultur, satu agama, satu ras. Karena Indonesia itu dari Sabang-Merauke beragam. Poinnya tidak boleh ada pemaksaan terhadap apa pun, terhadap pilihan dirinya. Untuk memilih busana, kebebasan dan keberagaman dijunjung tinggi,” kata Lilis.
Menurut Lilis, SKB Tiga Menteri tentang Seragam Sekolah di sekolah milik pemerintah sudah mengakomodasi kebutuhan masyaraka agar tidak ada pemaksaan. Aturan ini juga tidak melarang menggunakan pakaian dengan atribut keagamaan, asal tidak ada pemaksaan terhadap pilihan orang.
Aturan berbusana dengan atribut keagamaan tertentu yang dipaksakan di sekolah menimbulkan ketidakamanan dan ketidaknyamanan dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini dapat berimbas pada kelangsungan masa depan bangsa jika hak anak perempuan dalam menntukan pilihan tidak terpenuhi.
”Sebagai gerakan organisasi masyarakat sipil dan advokasi hak perempuan dan anak perempuan, kami menjunjung perbedaan dalam menentukan pilihan. Tiap perempuan punya hak atas tubuh dan pilihan dalam hidup. Unsur pemaksaan dan perundungan atas pilihan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,” tutur Lilis.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Dua siswa Kristen (tidak berjilbab) berinteraksi dengan teman-temannya yang beragama Islam di salah satu kelas SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021). Mulai Selasa, siswa perempuan non-Muslim di sekolah ini mulai tidak berjilbab ke sekolah karena ada penegasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tidak boleh ada pemaksaan siswa mengenakan atribut keagamaan tertentu di sekolah. Sebelumnya, orangtua salah seorang siswa non-Muslim di SMKN 2 Padang dipanggil ke sekolah dan diminta untuk menandatangani surat pernyataan karena putrinya tidak bersedia mengenakan jilbab.
Kepala Ombudsman Sumatera Barat Yefri Heriani mengatakan, ada beberapa laporan tentang pemaksaan busana, khususnya jilbab. Ada masyarakat yang melaporkan perempuan harus memakai jilbab untuk bisa mendapatkan pelayanan publik di instansi pemerintah.
Terkait dengan kasus siswi non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang yang dipaksa menggunakan jilbab, kata Yefri, awalnya tidak ada laporan kepada Ombudsman Sumbar. Namun, Ombudsman Sumbar menginisiasi penyelidikan. Akhirnya memang ditemukan ada diskriminasi, ada tindakan tidak patut karena guru-guru berulang-ulang menyalahkan siswi dengan pilihan seragam dan menanyai pilihan siswi sehingga siswi merasa tidak nyaman dan pilihan mereka tidak dihargai.
”Masyarakat bisa mengawasi penyelenggaraan layanan publik dengan melaporkan jika diduga ada malaadministrasi atau penyalahgunaan wewenang. Hal ini menjadi hak masyarakat supaya mendapat layanan publik lebih berkualitas sehingga kondisi adil bagi masyarakat Indonesia bisa terwujud,” kata Yefri.
Tertekan dan trauma
Dalam webinar ”Seruan Indonesia”, seorang guru perempuan di SMK negeri di Yogyakarta mengaku tertekan karena diharuskan memakai jilbab oleh pihak sekolah. Meskipun dirinya seorang Muslim, dia yakin tidak harus berjilbab. Padahal, saat melamar menjadi calon pegawai negeri sipil, dia memahami tidak ada ketentuan harus berpakaian jilbab bagi guru perempuan. Saat di sekolah justru sebaliknya.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Anggota perwakilan daerah berpakaian adat Nusantara saat parade busana adat mengawali Festival Kepemimpinan Perempuan dan SDG’s dan Kongres Nasional V di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (20/2/2020). Kegiatan ini bertujuan sebagai ajang kampanye dan menyusun strategi bersama untuk merespons isu-isu strategis yang berkaitan dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), seperti pendidikan sepanjang hayat, kesehatan perempuan, remaja dan anak, pemenuhan hak atas pangan dan keamanan, demokrasi dan perdamaian, serta penghapusan pernikahan anak.
Ketika ada rekreasi sekolah, guru ini menentukan pilihan kaus berlengan pendek, ternyata tidak dibolehkan. Kaus rekreasi yang diberikan tetap berlengan panjang.
”Saya sampai mengajukan pengunduran diri jadi guru PNS. Akhirnya tidak jadi setelah dimediasi. Namun, sampai saat ini saya tetap merasakan intimidasi, malah kini dituding mencemarkan nama baik kepala sekolah dan sekolah akibat laporan yang mempermasalahkan keharusan pemakaian jilbab,” ujar guru tersebut.
Ada pula ibu dua siswi perempuan di Lampung yang memperjuangkan anaknya supaya bisa memilih tidak memakai jilbab di sekolah negeri. Dalam ketentuan tertulis seragam sekolah sebenarnya tidak ada yang eksplisit mengharuskan berpakaian muslim bagi siswa perempuan. Namun, semua anak perempuan di sekolah anak-anaknya berjilbab.
”Yang paling parah anak saya yang di SMP. Dia dirundung oleh kakak kelas supaya pakai jilbab. Sekolah tidak bertindak apa-apa karena sudah jadi kebiasaan perempuan harus berjilbab. Bahkan, anak saya pernah ditakut-takuti kalau dia berdosa dan membuat orangtua serta saudara laki-lakinya nanti jadi tersiksa. Anak saya sampai stres dan tidak mau sekolah jika tidak saya dampingi,” kata ibu itu.
Ifa mengatakan, pemaksaan terhadap guru perempuan ataupun siswa perempuan memakai jilbab di sekolah negeri tampaknya berjalan sistemis sejak tahun 1999. Di dalam kurikulum Pelajaran Agama Islam, ada kompetensi berpakaian sesuai dengan syariat Islam yang dimaknai sempit anak perempuan harus berjilbab, rok panjang, dan baju panjang. Makna diimbau pun bergeser menjadi intimidasi, ancaman, dan perundungan.