Naskah buku kamus sejarah terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menuai kontroversi. Penyusunan sampai penyuntingannya dinilai tidak taat ilmu sejarah. Hal seperti itu mengulang kesalahan penulisan di era Orba.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penulisan kamus sejarah Indonesia semestinya utuh, obyektif, dan menjangkau pengalaman historis masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Sejarawan dari berbagai keahlian dan kampus di seluruh Indonesia perlu dilibatkan dalam penyusunan.
”Pemerintah seharusnya punya inventaris akademisi dan sejarawan dengan berbagai keahlian. Universitas yang memiliki jurusan ilmu sejarah tersebar di Indonesia,” ujar visiting Profesor Bidang Kajian Islam dan Dunia Arab di Universitas Ghent Belgia Ayang Utriza Yakin dalam dialog ”Kisruh Kamus Sejarah”, Jumat (23/4/2021), di Jakarta.
Dia mengatakan, masyarakat Indonesia pernah mengalami masa 32 tahun berhadapan dengan buku sejarah Indonesia yang ditulis secara tidak benar. Hal seperti itu semestinya jangan lagi terulang.
Namun, dalam naskah Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang belakang viral karena dituding menghilangkan jejak tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratus Syech Hasyim Asy’ari, Ayang menilai, teknis penyusunan sejarah yang tidak benar kembali terulang.
Dari sampul bagian depan naskah tertulis judul Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dan subjudul Nation Formation 1900-1950. Ayang berpendapat, judul seperti itu memperlihatkan ketidakjelasan sasaran pembaca, apakah untuk warga Indonesia atau orang asing.
Kemudian, metodologi penulisan dia nilai tidak dilakukan secara ketat. Sebab, naskah hanya mencantumkan periode 1900-1950. Padahal, dalam ilmu sejarah, Ayang menerangkan batasan di atas 100 tahun.
Kalau mau menyebut sejarah Indonesia, semestinya dimulai dari abad ke-4 dan ke-5. (Ayang Utriza Yakin)
”Kalau mau menyebut sejarah Indonesia, semestinya dimulai dari abad ke-4 dan ke-5,” katanya.
Adapun dari sisi substansi, dia memandang, kesalahan mendasar penyusunan naskah itu tidak lengkap. Selain menghilangkan lema jejak tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratus Syech Hasyim Asy’ari, seperti yang banyak ditudingkan, jejak sejarah penting juga tidak tercantum. Sebagai contoh, Mathla’ul Anwar sebagai organisasi muslim besar di Banten semasa Hindia Belanda. Padahal, ahli sejarah yang menekuni topik itu sebenarnya ada.
Terlepas dari kisruh naskah buku Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, Ayang memandang, penyusunan konten sejarah di Indonesia masih cenderung terfokus pada tokoh, peristiwa, dan organisasi. Padahal, gaya penulisan seperti itu telah banyak dikritik karena tidak menyertakan pembahasan tentang rakyat.
”Penyusunan konten sejarah juga masih cenderung tidak obyektif. Padahal, berbagai aliran politik, kepercayaan, ataupun agama yang ada pada masa lalu merupakan pembentuk sejarah Indonesia saat ini,” katanya.
Apabila pemerintah tetap menginginkan punya buku kamus sejarah, Ayang memandang perlunya menyusun dari awal, bukan menyempurnakan naskah buku yang kini diperdebatkan itu.
Dengan menyusun dari awal, pemerintah dapat mengundang ahli sejarah dan akademisi dari seluruh universitas di Tanah Air yang punya jurusan ilmu sejarah. Lalu, metodologi penyusunan kamus sampai penyuntingan naskah juga harus ketat.
”Direktorat sejarah yang pernah dilikuidasi semestinya dihidupkan kembali. Bagaimana mau menulis konten sejarah jika direktoratnya tidak ada,” kata Ayang.
Secara terpisah, Pengurus Pusat Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (PP AGSI) mengimbau kepada guru mata pelajaran Sejarah agar selalu melek terhadap berbagai jenis informasi atau pemberitaan yang bersifat aktual. Guru mata pelajaran Sejarah semestinya selalu mengedepankan prinsip kritik dan interpretasi untuk menghasilkan kesimpulan.
”Kata kuncinya adalah ’penghilangan’. Dunia pendidikan Indonesia belakangan sering menghadapi isu penghilangan, mulai dari mata pelajaran Sejarah di rencana penyederhanaan kurikulum sampai isu tudingan penghilangan jejak tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratus Syech Hasyim Asy’ari,” ujar Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Sumardiansyah Perdana Kusuma dalam konferensi pers daring, Jumat siang.
Menurut dia, guru mata pelajaran Sejarah perlu mendukung terciptanya narasi-narasi yang menguatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. AGSI berharap kompetensi guru mata pelajaran Sejarah semakin ditingkatkan.
Lebih jauh, Sumardiansyah menekankan bahwa sejarah memegang peranan penting dalam pengarusutamaan karakter bangsa dan mencegah amnesia sejarah di tengah arus globalisasi. Naskah Kamus Sejarah Indonesia Jilid I perlu disempurnakan secara obyektif dan komprehensif untuk memperkuat jati diri sebuah bangsa.
AGSI berharap ada pendekatan kebijakan khusus dari pemerintah pusat dan daerah yang berpihak pada sejarah. Senada dengan Ayang, dia memandang, perlunya menghidupkan kembali Direktorat Sejarah di bawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sementara itu, dalam kunjungan ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kamis (22/4), Mendikbud Nadiem Anwar Makarim bertemu dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj beserta jajaran. Turut hadir pula Yenny Wahid, putri almarhum Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid. Dia menyampaikan komitmennya untuk menyempurnakan naskah Kamus Sejarah Indonesia Jilid I. Kemdikbud akan membentuk tim baru.
”Walaupun naskah buku Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dirancang sebelum saya menjadi menteri, tetapi sebagai menteri yang sekarang, itu tanggung jawab saya untuk mengoreksi. Kami akan segera melakukan revisi naskah,” kata Nadiem.