Pemutaran musik bervolume tinggi di ruang publik kini kerap mengundang kegelisahan karena dianggap cepat menyebabkan kebisingan dan polusi suara.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
”Kita semua pernah datang ke sebuah kedai kopi (kafe) untuk bertemu teman ataupun kolega. Pertemuan itu bertujuan untuk berdiskusi atau rapat. Namun, volume suara musik di kafe itu diputar kencang dan dirasa bising mengganggu. Kita beberapa kali meminta pelayan untuk mengecilkan volume, tetapi tidak ada perubahan. Kita bertahan dengan kebisingan itu, beradaptasi, dan volume suara kitalah yang akhirnya dinaikkan agar perbincangan tetap lancar.”
Ilustrasi di atas dialami juga oleh Ary Budiyanto, antropolog dari Universitas Brawijaya, Malang. Salah seorang teman sekaligus kolega dia merasakan kegelisahan sama.
Di pemberitaan media massa daring pernah terdapat seorang pengunjung kafe menegur kafe bersangkutan agar tidak memutar musik dengan volume tinggi. Malangnya, pengunjung bersangkutan malah dianiaya.
Merasa kebisingan terhadap suara, termasuk musik, bahkan sebenarnya terjadi di sekitar tempat tinggal warga. Sebagai contoh, check sound musik untuk kebutuhan geladi bersih acara resepsi pernikahan yang berlokasi di kompleks permukiman. Volumenya cenderung besar sehingga kerap menimbulkan kegelisahan yang mengganggu.
Contoh lain adalah pemutaran musik pengajian dari tempat ibadah bervolume kencang dalam durasi waktu panjang. Ada sejumlah warga merasa gelisah dan merasa terganggu, tetapi dilema ingin menegur.
Lalu, angkutan umum yang biasa memutar musik dengan volume tinggi juga tak luput dari serbuan kegelisahan karena dianggap berisik. Sejumlah penumpang ada yang cepat berani menegur.
Pasca-reformasi 1998, Ary mengamati pawai yang cenderung menonjolkan jumlah pengeras suara untuk memutar musik. Tidak heran, bisnis penyewaan perangkat pengeras suara semakin diminati.
Mereka pun punya promo jitu agar bisnisnya semakin laris. Ketika pawai berlangsung, semakin banyak jumlah pengeras suara, volume musik semakin kencang, dan tidak jarang membuat pengguna jalan merasa risi.
Sejarah
Pemutaran musik di tempat publik beserta ”kebisingannya” memiliki cerita sejarah dan budaya yang panjang. Tahun 1676, pemandangan Masjid Jepara dalam sketsa Coenraet Decket, Jacob Van Meurs, Joannes van Someren memperlihatkan keramaian di bagian luar. Kota-kota di Jawa tanpa benteng, selalu punya pasar yang terbuka penuh keramaian oleh kapal-kapal dagang.
”Bahkan, itu berlanjut di era sandiwara radio dan televisi awal. Tetangga memutar radio dengan suara kencang ataupun menonton siaran apa pun, termasuk musik, di televisi bersama tetangga lainnya. Anehnya, sampai era tersebut, tingginya volume suara musik dianggap biasa,” ujar Ary, Sabtu (17/4/2021), dalam webinar ”Music Pollution” yang diselenggarakan oleh forum Karavan Cendekia bersama Diskusi Soedjatmoko.
Masa masyarakat terkesan memaklumi kebisingan berlanjut sampai era compo yang ditandai harga radio tape semakin terjangkau. Semakin banyak individu memiliki sendiri radio tape. Memutar musik bervolume kencang dari rumah masing-masing masih dianggap lumrah. Tetangga sekitar malah merasa hal itu sebagai ajang berbagi.
Terkait pengeras suara di masjid, Direktorat Jenderal Bidang Masyarakat Islam Kementerian Agama sebenarnya telah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.
Sejumlah batasan-batasan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah. Pelaksanaan pengajian rutin di masjid, misalnya, hanya boleh menggunakan pengeras suara yang diarahkan ke dalam, bukan ke luar. Pengeras suara boleh diarahkan ke luar jika memperingati hari besar Islam. Namun, tak semua masjid benar-benar mematuhi. Tidak pula warga yang protes di tahun-tahun itu.
Tahun 2000-an gawai bermunculan. Pilihan harga sampai spesifikasi gawai tersedia sehingga individu dimudahkan memiliki.
”Apakah era itu menjadikan sejumlah orang menjadi suka merasa cepat kebisingan dengan volume tinggi musik di tempat publik? Padahal, sejarah budaya menunjukkan masyarakat terbentuk dari keramaian dan kebisingan pasar ke kota,” ujarnya.
Etnomusikolog Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Aris Setiawan, mencontohkan, sebuah festival gamelan akbar di Surakarta belakangan dibuat dengan format waktu serba cepat. Sejumlah warga penikmat gamelan dan paham pesan-pesan kontemplatif di baliknya merasa kecewa.
Contoh lainnya, kelompok suporter sepak bola melakukan servis motor masing-masing. Mereka beranggapan, knalpot motor menghasikan suara bak musikal yang dapat mendukung perayaan kemenangan kesebelasan mereka. Aktivitas seperti itu jika dilanjutkan, menurut Aris, bisa terancam kena razia knalpot yang belakangan marak.
”Saat (muncul) fenomena gelisah atau suka merasa bising akibat volume suara dan musik, ada fenomena lain yang kontras. Kita bisa mengamati teman atau kolega sekitar kita yang lekas-lekas membuka gawai ketika perangkat komunikasi itu mengeluarkan bunyi musik atau sejenisnya sebagai penanda notifikasi pesan,” paparnya.
Seniman Bambang Dwiatmoko berpendapat, seiring dengan perkembangan kota, masyarakat beradaptasi terhadap volume suara. Teknologi juga memengaruhi.
Dia mencontohkan kaset dan piringan hitam. Pada zamannya, ketika kaset ataupun piringan hitam dimainkan terdengar suara bising (noise) dan siapa pun memaklumi. Dengan teknologi digital, produk musik yang dihasilkan bisa tanpa noise. Pengatur volume perangkat pemutar musik juga semakin canggih.
”Beberapa kelompok masyarakat dengan latar budaya tertentu sebenarnya nyaman dengan keramaian dan kebisingan. Orang juga menyukai genre musik berbeda-beda, seperti rock dengan keramaiannya,” kata Bambang.