Mahaguru para penyair, Umbu Landu Paranggi (77), berpulang ke rumah puisi, Selasa (6/4/2021), di RS Bali Mandara, Sanur, Denpasar, Bali.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·4 menit baca
KOMPAS/EDDY HASBY
Umbu Landu Paranggi
DENPASAR, KOMPAS — Mahaguru para penyair, Umbu Landu Paranggi (77), berpulang ke rumah puisi, Selasa (6/4/2021) pukul 03.55 Wita, di RS Bali Mandara, Sanur, Denpasar, Bali. Umbu mengembuskan napas terakhir setelah dilarikan ke rumah sakit pada Sabtu (3/4) malam. Para dokter yang merawat Umbu menyatakan, penyair kelahiran Waingapu, Sumba, itu mengalami gangguan pernapasan dan gagal ginjal.
Penyair Ketut Syahruwardi Abbas yang turut mengevakuasi Umbu dari rumahnya di Lembah Pujian Denpasar Utara mengatakan, ketika masuk rumah sakit, saturasi oksigen Umbu hanya 85 persen. ”Saturasi oksigen itu terus menurun sejak Sabtu malam, sampai Senin,” kata Abbas di RS Bali Mandara, Selasa.
Menurut Abbas, tim dokter yang merawat Umbu sebenarnya akan melakukan cuci darah pada Senin. Akan tetapi, karena tensi darahnya meninggi, tindakan itu dibatalkan. ”Sejak Senin malam, dokter bilang kondisi Umbu sudah kritis. Jadi, bersiap untuk menerima yang terburuk,” katanya.
Sampai Selasa siang, para penyair yang selama ini menjadi ”murid-murid” Umbu di Bali masih menunggu kehadiran putra bungsu Umbu dari Kupang. Menurut penyair I Wayan Jengki Sunarta, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, putra bungsu Umbu, sedang terbang dari Kupang menuju Denpasar.
”Saat ini, jenazah Umbu sudah disemayamkan di ruang jenazah RS Bali Mandara. Jadi, kita semua sedang menunggu rundingan antara keluarga dan pihak rumah sakit,” katanya.
KOMPAS/EDDY HASBY
Umbu Landu Paranggi
Penyair Warih Wisatsana yang sempat menelepon Umbu, Sabtu siang, mengatakan, sudah beberapa pekan terakhir penyair berjuluk Presiden Malioboro itu ingin segera pulang ke Tanah Sumba. ”Dia selalu katakan ingin segera pulang ke Sumba. Mungkin itu semacam isyarat ia akan segera pergi,” kata Warih.
Dalam rekaman percakapan Warih, suara Umbu terdengar terbata-bata dan mengatakan, ”Lagi sedang masa transisi, apakah cukup tiga hari ataukah seminggu... (suaranya menghilang).” Warih menafsir Umbu sedang mempersiapkan diri untuk berangkat pulang. ”Ia tahu kapan harus pulang, suaranya sudah melayang,” kata Warih.
Ketika Warih mencoba mengatakan,”Halo, Bung,”... Umbu sudah tidak menjawab lagi, cuma terdengar suara ”ha...”.
Menurut Dwi, yang ”ditugasi” menjaga Umbu oleh Emha Ainun Nadjib, Umbu sudah tiga hari menjalani laku berpuasa. Makanan yang diantar Dwi ke kamarnya di lantai 2 sama sekali tidak disentuhnya.
Bekerja dalam diam
Umbu berpindah dari Yogyakarta ke Bali tahun 1978 dan menjadi redaktur sastra di harian Bali Post. Sekitar tahun 1960-an, saat di Yogyakarta, Umbu melahirkan penyair-penyair kawakan, seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG (alm), Imam Budi Santoso (alm), Teguh Ranu Sastra Asmara (alm), Ragil Suwarna Pragolapati (alm), Korrie Layun Rampan (alm), dan Yudistira Adi Nugraha. Di Bali, Umbu kemudian melahirkan penyair-penyair, seperti Warih Wisatsana, IDK Raka Kusuma, Nyoman Wirata, Ali S Rini, Cok Sawitri, Oka Rusmini, Tan Lioe Ie, I Wayan Jengki Sunarta, Raudal Tanjung Banua, Riki Dhamparan Putra, serta Ni Made Purnamasari.
Banyak hal yang misterius dari penyair yang bekerja dalam sunyi ini. Umbu tidak pernah banyak bercakap, tetapi selalu dianggap sebagai guru oleh para penyair generasi berikutnya. Secara diam-diam, ia selalu membuat catatan di atas kertas untuk dikirim kepada penyair atau penulis yang dianggapnya berpotensi untuk berkembang. Pada 1980-an sampai 1990-an, Umbu berkeliling Bali secara diam-diam untuk kemudian membentuk komunitas-komunitas sastra di berbagai daerah. Komunitas inilah yang kemudian ia persatukan di halaman budaya harian Bali Post.
Umbu lahir di Waingapu, Sumba Timur, 10 Agustus 1943, kemudian melanjutkan studi di SMA Bopkri Yogyakarta. ”Saya diantar orang satu kampung dengan naik kuda ketika meninggalkan desa menuju Yogya,” kata Umbu suatu hari. Beberapa penghargaan yang dia raih saat menjalani profesi sebagai penyair antara lain Anugerah Kebudayaan dari Fakultas Ilmu Budaya UI (2018), penghargaan Dharma Kusuma dari Pemerintah Provinsi Bali (2018), Penghargaan Akademi Jakarta (2019), dan Bali Jani Nugraha (2020) dari Pemerintah Provinsi Bali.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Umbu Landu Paranggi (tengah) bersama sejumlah sastrawan dan penyair Bali ketika menghadiri acara peluncuran buku puisi, lukisan, dan sketsa berjudul ”Gajah Mina” di Komaneka Resort, Blahbatuh, Gianyar, Selasa (23/2/2021).
Menurut I Wayan Juniarta, penulis yang berguru hidup kepada Umbu, Umbu bukan hanya memberi keteladanan dalam melakoni profesi penyair, tetapi lebih-lebih menjadi contoh hidup tentang totalitas berkesenian. ”Dia tak pernah setengah-setengah, apa pun harus dilakukan secara total. Oleh karena itu, sulit membedakan mana puisi dan mana hidup sesungguhnya pada Umbu,” kata Juniarta.
Kata Juniarta, tidak berlebihan jika Umbu diberi julukan ”mahaguru” penyair Indonesia karena lewat puisi ia mengajarkan tentang bagaimana menjalani dan memaknai kehidupan. Dengan segala kerendahan hatinya, banyak penyair kemudian ”merasa” berguru kepada Umbu meskipun tak pernah diajarkan secara langsung bagaimana menulis puisi yang baik. ”Semua bermula dari rasa hormat,” kata Juniarta.