Hadapi Pseudosains dengan Perbanyak Literatur Sains
Agar tidak terjadi misinformasi dan disinformasi, jurnalis harus memahami cara memverifikasi isu atau klaim-klaim dengan kaidah-kaidah jurnalistik yang berlaku.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19, kian banyak muncul pemberitaan dan isu pseudosains yang diklaim sepihak oleh salah satu orang ataupun tokoh publik. Agar tidak terjadi misinformasi dan disinformasi, jurnalis harus memahami cara memverifikasi isu tersebut dengan kaidah-kaidah jurnalistik yang berlaku.
Direktur Eksekutif Society of Indonesia Science Journalist (SISJ) Dyna Rochmyaningsih menyampaikan, jurnalis harus memahami sains dan kebenaran ilmiahnya saat meliput isu terkait dengan pseudosains di tengah pandemi Covid-19. Pseudosains atau ilmu semu merupakan suatu sistem pemikiran dan teori yang dibuat dengan tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah atau tidak rasional.
”Strategi meliput pseudosains itu kita juga harus memahami metode ilmiah, banyak membaca berita-berita sains dan jurnal ilmiah, serta membangun jejaring dengan ilmuwan. Komunitas ilmiah itu benar-benar berbeda dengan dunia jurnalis sehingga kita harus memahami isu,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Bagaimana Memverifikasi Pseudosains Covid-19?”, Senin (22/2/2021).
Jurnalis patut skeptis dan mempertanyakan jika tokoh tersebut tidak memiliki rekam jejak akademis dan pengalaman keilmuan lainnya.
Menurut Dyna, terdapat empat hal yang perlu dipahami jurnalis ketika melaporkan penemuan ilmiah ataupun pseudosains. Pertama, ilmuwan selalu terhubung dengan komunitasnya khususnya terkait dengan penerbitan hasil riset. Jurnalis harus curiga jika ilmuwan tersebut tidak bersikap terbuka terhadap hasil risetnya.
Kedua, ilmuwan kerap menggunakan istilah teknis yang seringkali membuat jurnalis enggan meneliti lebih jauh. Ketidaktahuan dan kemalasan jurnalis dalam memahami istilah-istilah teknis dalam dunia sains akan membuat orang-orang baru mudah mengklaim hasil penelitian dari ilmuwan lain.
Ketiga, ilmuwan juga kerap berbicara dalam angka atau statistik sehingga jurnalis harus memahami metode dalam penelitian yang bersifat kontroversial. Terakhir, jurnalis perlu mengetahui bahwa pembenaran ilmiah sering berubah karena perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu cepat terutama pada masa pandemi.
Jurnalis data BBC, Aghnia Adzkia, menyampaikan, jurnalis harus melakukan sejumlah hal untuk memverifikasi keabsahan dari isu Covid-19 yang beredar luas di publik. Sebab, jurnalis tidak memiliki kapasitas atau keilmuan lebih terkait segala hal yang berhubungan dengan Covid-19 karena salah satu jenis penyakit baru.
Menurut Aghnia, jurnalis harus memeriksa setiap klaim yang disampaikan oleh salah satu tokoh di situs resmi lembaga yang berwenang mengurus soal kesehatan, baik soal penemuan obat Covid-19 maupun pernyataan kontroversial lainnya. Cara lainnya juga dapat dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap ahli yang lebih otoritatif.
Selain itu, jurnalis juga perlu meriset profil tokoh penyebar disinformasi tentang Covid-19 melalui pemberitaan media lain hingga dari situs pangkalan data pendidikan tinggi. Jurnalis patut skeptis dan mempertanyakan jika tokoh tersebut tidak memiliki rekam jejak akademis ataupun pengalaman keilmuan lainnya.
”Jika kita menemukan satu misinformasi atau disinformasi dan belum ada tokoh yang berbicara, kita bisa melakukan literature review. Ini harus bertahap, tipsnya bisa memilih lembaga yang otoritatif dalam riset. Jika isu kedokteran, bisa mencari di British Medical Journal yang sudah diakui dan spesifik pandemi ada di WHO,” katanya.