Undang-Undang untuk Lindungi dan Hentikan Kriminalisasi pada Korban
Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja. Karena itu, tidak ada alasan lagi untuk menunda pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Harapan kepada DPR hingga kini terus disuarakan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Peserta aksi mengenakan pakaian bernada protes dalam aksi damai memperingati Hari Perempuan Sedunia (International Women\'s Day) 2020 bersama Aliansi Gerakan Perempuan Anti Kekerasan (Gerak Perempuan) di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (8/3/2020). Aksi tersebut menuntut pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, dan rativikasi konvensi ILO 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan dunia kerja.
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual tidak bisa ditunda lagi karena kasus-kasus kekerasan seksual terus terjadi di masyarakat. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting, selain untuk melindungi para korban, juga untuk menghentikan krimalisasi terhadap korban.
”Korban seringkali diposisikan sebagai pelaku. Pemerkosaan seringkali disamakan dengan zina. Akibatnya, perempuan korban bukan hanya tidak mendapatkan perlindungan, korban bahkan mendapatkan sanksi hukum dan sosial,” ujar Nina Nurmila, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung pada Webinar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual: Payung Hukum untuk Hentikan Kekerasan Seksual di Sumatera Barat, Rabu (17/2/2021).
Pada webinar yang diselenggarakan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Society Empowerment and Development Institute (SCEDEI), Nina yang juga anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mencontohkan, ketika ada seorang perempuan diperkosa kemudian hamil, dia justru dituduh berzina.
Perempuan korban sering mendapatkan sanksi hukum dan sosial sebagai pelaku karena perempuan mempunyai jejak biologis yang beragam dan berjangka panjang, mulai robeknya selaput dara, hamil, hingga memiliki anak.
Pemerkosaan sangat berdampak buruk pada perempuan, ada yang sampai mengurung diri di kamar dan hanya ingin bunuh diri.
Padahal, kekerasan seksual yang dialami perempuan secara nyata berdampak pada keterpurukan perempuan dalam berbagai aspek, mulai dari kesehatan fisik dan psikis, pendidikan, ekonomi, sosial, hingga kriminalisasi. ”Pemerkosaan sangat berdampak buruk pada perempuan, ada yang sampai mengurung diri di kamar dan hanya ingin bunuh diri,” ujar Nina.
Oleh karena itulah, dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia pertama yang diselenggarakan pada 25-27 April 2017 di Cirebon disebutkan fatwa yang menyatakan kekerasan seksual diharamkan baik di dalam maupun di luar perkawinan. Karena itulah, KUPI mendukung payung hukum yang mencegah dan menangani kekerasan seksual melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Kompas/Priyombodo
Peserta aksi membentangkan poster protes dalam aksi damai memperingati Hari Perempuan Sedunia (International Women\'s Day) 2020 bersama Aliansi Gerakan Perempuan Anti Kekerasan (Gerak Perempuan) di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (8/3/2020).
Perubahan kalimat
Urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, menurut Valentina Sagala, Senior Independent Expert on Legal, Human Rights, and Gender, mengungkapkan, seharusnya dengan draf RUU yang ada saat ini, yang mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian, DPR segera melanjutkan pembahasan RUU tersebut.
Ia mencontohkan, jumlah bab RUU dalam draf yang dipegang DPR pada tahun 2017 yang jumlahnya 15 bab sekarang menjadi 11 bab. Sejumlah perubahan misalnya dalam Bab I, soal pengertian kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang merendahkan dan/atau menyerang terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, dengan memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang berdasarkan jenis kelamin, yang dapat disertai dengan status sosial lainnya, yang berakibat atau dapat mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
”Kata hasrat seksual yang ada dalam draf sebelumnya sekarang diganti menjadi keinginan seksual. Jadi, kalimat-kalimat yang biasanya ditolak oleh kelompok tertentu sudah diganti sedikit demi sedikit, tetapi tidak mengubah substansi kekerasan seksual. Begitu juga pengertian korban adalah seseorang yang mengalami tindak pidana kekerasan seksual. Jadi, semua orang bisa mengalami kekerasan seksual,” tutur Valentina.
Dalam konteks perlindungan HAM perempuan di Sumbar, Afrizal, Guru Besar Sosiologi Universitas Andalas, Padang, mengungkapkan, walaupun menganut sistem kekerabatan matrilineal, tidak berarti HAM perempuan terhadap tubuh dan diri terlaksana secara memuaskan. ”Sumbar kurang ramah HAM, karena itu penentangan terhadap UU Penghapusan Kekerasan Seksual diperkirakan tinggi. Tokoh agama, adat, dan bahkan pejabat pemerintah menafikan perempuan mempunyai hak atas dirinya dan tubuhnya,” katanya.
Rahmi Meri Yenti dari Nurani Perempuan Women’s Crisis Center, Sumbar, mengungkapkan, selama beberapa tahun terakhir pihaknya menerima laporan kekerasan terhadap perempuan di Sumbar yang tertinggi adalah kasus pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan pada tahun 2020 kasus yang paling banyak dilaporkan adalah pemerkosaan.
Direktur INFID Sugeng Bahagijo dalam sambutannya menyatakan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting, sebagai bentuk komitmen negara dalam melindungi warga negara, para perempuan, dan korban kekerasan seksual. ”Kemajuan bangsa tidak hanya diukur oleh hal-hal yang fisik, seperti gedung, jembatan, dan jalan, tetapi juga seberapa jauh institusi negara memiliki komitmen dan kebijakan dalam melindungi warga negara,” kata Sugeng.