Kehilangan Pengalaman Belajar Tak Terbendung Meski Sekolah Mulai Dibuka
Belajar dari rumah karena pandemi Covid-19 memperparah potensi hilangnya pengalaman belajar atau ”learning loss” anak. Potensi itu kemungkinan tetap berlanjut ketika sekolah dibuka kembali.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hilangnya pengalaman belajar anak yang terjadi selama masa pembelajaran jarak jauh karena pandemi Covid-19 berpotensi berlanjut meskipun sekolah kembali buka. Sekolah mesti segera membuat perencanaan langkah yang memprioritaskan pengembalian keterampilan dasar anak.
”Sekolah perlu meninjau terlebih dulu tingkat pengalaman ataupun kemampuan belajar setiap anak. Setiap anak punya tingkat hilang pengalaman belajar (learning loss) berbeda,” ujar Research Fellow of Research on Improving Systems of Education (RISE) Program, Michelle Kaffenberger, dalam webinar ”Mitigasi Learning Loss untuk Mencegah Kerugian Ekonomi dan Sosial di Masa Depan akibat PJJ Berkepanjangan”, Kamis (11/2/2021), di Jakarta.
Berdasarkan pengalaman gempa bumi di Pakistan tahun 2019, misalnya, learning loss dapat terus menumpuk, bahkan setelah anak-anak kembali ke sekolah. Bukti studi saat itu menunjukkan, selama 14 minggu anak tidak bersekolah mengakibatkan mereka selama dua tahun tidak bisa mengikuti pembelajaran untuk empat tahun kemudian.
Sesuai hasil riset pemodelan learning loss jangka panjang akibat penutupan sekolah karena Covid-19, siswa kelas III sekolah dasar yang melewatkan waktu belajar selama setengah tahun dapat mengurangi hasil pembelajaran jangka panjang hingga 1,5 tahun.
Sementara, untuk siswa kelas I sekolah dasar, melewatkan pembelajaran selama setengah tahun dapat mengurangi hasil pembelajaran jangka panjang hingga 2,2 tahun.
Michelle mengatakan, hilangnya pengalaman belajar yang besar dapat menimbulkan konsekuensi ekonomi dan sosial yang besar pula. Hasil riset menunjukkan, kehilangan waktu belajar selama 1,5 tahun berpotensi mengurangi penghasilan anak ketika dewasa sekitar 15 persen per tahun. Selain itu, kehilangan waktu belajar selama dua tahun berpotensi bisa memangkas pendapatan anak pada masa depan sekitar 20 persen per tahun.
Perencanaan harus dimulai sekarang untuk mengantisipasi potensi kerugian tersebut. Ketika anak-anak kembali belajar tatap muka di sekolah, sistem pendidikan telah dibangun untuk hanya memprioritaskan keterampilan dasar, yakni numerasi dan literasi. Artinya, pemimpin politik dan sekolah harus fokus agar langkah prioritas itu tercapai.
Karena tingkat hilangnya kemampuan belajar siswa berbeda, anak dapat diberikan asesmen dari kelas sebelumnya. Opsi lainnya adalah pemerintah mengurangi penilaian nasional sehingga dapat melihat berapa banyak kehilangan kemampuan.
”Semua pilihan itu membutuhkan dukungan dari guru. Maka, mereka harus dibekali dulu,” kata Michelle.
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Borneo Tarakan Suyadi berpendapat, orangtua perlu dilibatkan dalam langkah penanganan dampak hilangnya pengalaman belajar anak. Pemerintah dan sekolah mesti menyadarkan orangtua agar mau kooperatif.
Dampak hilang pengalaman belajar paling nyata adalah menurunnya kemampuan membaca dan matematika. Maka, langkah prioritas adalah pengembalian keterampilan dasar berupa literasi dan numerasi. Kurikulum darurat yang dibuat juga mesti memperhitungkan langkah itu.
”Dampak hilang pengalaman belajar paling nyata adalah menurunnya kemampuan membaca dan matematika. Maka, langkah prioritas adalah pengembalian keterampilan dasar berupa literasi dan numerasi. Kurikulum darurat yang dibuat juga mesti memperhitungkan langkah itu,” ujarnya.
Suyadi mengatakan, sebelum belajar dari rumah karena pandemi Covid-19, hilang pengalaman belajar sudah terjadi. Ini umumnya dialami oleh siswa yang punya keterbatasan akses ke layanan pendidikan.
Sementara saat bersamaan, Indonesia masuk masa perolehan bonus demografi dan diperkirakan sampai sekitar 2035. Jika langkah mitigasi penanganan dampak hilang pengalaman belajar tidak segera dipunyai, Indonesia tidak akan menikmati bonus demografi.
Memetakan
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara, Jafar Sidik mengatakan, pihaknya telah menyadari potensi hilangnya pengalaman belajar anak beserta dampak sosial ekonomi sejak belajar dari rumah berjalan. Dinas pendidikan melakukan sejumlah terobosan guna menekan potensi itu.
Sebagai contoh, selama Maret-Juni 2020, Dinas Pendidikan Kabupaten Tana Tidung memetakan moda belajar anak selama pembelajaran jarak jauh. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan efektivitas pembelajaran.
Ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kurikulum darurat, Dinas Pendidikan Kabupaten Tana Tidung segera melatih guru agar mampu memahami kurikulum itu dan menerapkannya. Dinas juga melakukan pendampingan guru selama mengajar.
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama (Kemenag), Suyitno mengatakan, hasil survei internal Kemenag menemukan tiga bentuk pembelajaran jarak jauh selama pandemi. Bentuk pertama adalah pembelajaran menggunakan metode daring secara penuh, kedua bercampur dengan metode luring, dan ketiga metode luring. Untuk mengatasi keterbatasan sarana pembelajaran, kementerian berkoordinasi dengan lembaga lain, seperti PLN dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Selain itu, Kementerian Agama melakukan pemetaan kondisi pembelajaran siswa dan kompetensi guru. Hasilnya dipakai untuk perumusan kebijakan menanggulangi dampak hilang pengalaman pembelajaran.
”Kepada para guru, kami mengupayakan selalu ada pendampingan dan pelatihan kompetensi pedagogi sehingga mereka siap menghadapi berbagai tantangan,” kata Suyitno.