Isu penghapusan kekerasan seksual terus gencar disuarakan dalam tiga tahun terakhir, menyusul berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Diharapkan segera muncul UU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBPR
Pameran seni rupa instalasi atau Shoes Art Installation ”The Body Shop®️ Indonesia: Semua Peduli Semua Terlindungi Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” yang ditampilkan di Kantor Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Selasa (8/12/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Kampanye dan edukasi penghapusan kekerasan seksual mesti menjadi gerakan bersama agar bisa mendorong perhatian publik terhadap ancaman kekerasan seksual. Meskipun banyak terjadi kasus, termasuk di masa pandemi Covid-19, kekerasan seksual masih dipandang masyarakat bukan sebagai kasus yang penting.
Padahal, kasus kekerasan seksual setiap saat mengancam perempuan dan anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki. Penegakan hukum pun masih jauh dari harapan. Sering terjadi salah kaprah. Ketika ada kasus kekerasan seksual, bukan pelaku yang dihukum, melainkan korban yang dijerat hukum.
Karena itulah dalam Educational Webinar: ”Ambil Bagian! Bersama Lawan Kekerasan Seksual” yang digelar The Body Shop® Indonesia, Rabu (27/1/2021), harapan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan mengesahkannya menjadi undang-undang terus disuarakan para pembicara dan peserta webinar.
Ada salah kaprah di tingkat masyarakat soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini adalah produk Barat. (Yulianti Muthmainnah)
”Ada salah kaprah di tingkat masyarakat soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini adalah produk Barat,” ujar Yulianti Muthmainnah, Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta, salah satu pembicara dalam webinar tersebut.
Padahal, kasus kekerasan seksual menyita perhatian dunia karena ini (terjadi) di lintas negara, agama, benua, dan suku bangsa. Jadi hampir setiap perempuan di dunia mengalami kasus bersama. Artinya, kekerasan seksual merupakan persoalan bersama, termasuk di Indonesia.
Karena itu, saat membuka webinar tersebut, Aryo Widiwardhono, CEO The Body Shop® Indonesia, menyatakan, edukasi kepada publik tentang pentingnya penghapusan kekerasan seksual, dan mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus terus dilakukan. Sebab, dalam perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih banyak pengertian yang salah bahkan menyesatkan sehingga RUU PKS menjadi sulit disahkan.
Padahal, dari berbagai data, seperti Catatan Tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bahwa tiap dua jam ada tiga korban kekerasan seksual, membuktikan betapa kekerasan seksual pada tingkat yang sangat memprihatinkan. ”Hanya sedikit yang bicara, atau buka suara. Sebagian besar, sekitar 93 persen diam, tidak berdaya, depresi, trauma, dan tidak sedikit (yang) mengakhiri hidupnya,” kata Aryo.
Berangkat dari situasi dan kondisi tersebut, maka The Body Shop® Indonesia, Aryo menegaskan, sebagai feminist brand yang sejak awal didirikan berkomitmen ikut berjuang demi perubahan baik, terutama bagi perempuan, kemanusiaan, dan lingkungan, tidak ada alasan untuk tidak mendukung kampanye stop kekerasan seksual. Sudah saatnya Indonesia memiliki payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Kompas/Raditya Helabumi
Para pegiat hak-hak perempuan mengikuti aksi 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/11/2020). Aksi tersebut merupakan bagian dari Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Komnas Perempuan mendesak legislatif untuk menjadikan RUU PKS yang menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual agar masuk dalam Prolegnas 2021.
”Toxic” maskulinitas
Wawan Suwandi, Public Relations Yayasan Pulih, mengingatkan bahwa kekerasan seksual terjadi karena secara psikologis dan sosial, pelaku merasa memiki kuasa atas tubuh perempuan. Selain dipengaruhi oleh pola asuh yang patriarki dalam keluarga, dalam konteks toxic masculinity masyarakat sering menganggap wajar jika laki-laki menganggu perempuan.
”Bahkan dalam pertemanan, semakin banyak perempuan yang diganggu semakin menunjukkan kalau dia laki-laki keren. Jadi pekerjaan rumah selanjutnya adalah mengajak laki-laki membincang toxic maskulinitas yang selain merugikan orang lain juga merugikan laki-laki itu sendiri,” tegas Wawan.
Upaya mendorong lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga disuarakan pembicara lain, yakni Ratu Ommaya (Public Relations and Community Manager The Body Shop® Indonesia), Kalis Mardiasih (penulis dan gender equality campaigner), Amanda Normanita (mahasiswi), dan Nur Aisyah Maullidah (girl ambassador for peace).
Pada awal acara tersebut, Kartika Jahja (penyanyi dan aktivis) membagikan suaranya untuk bisa berbagi perspektif korban. Video ini diharapkan dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap korban kekerasan seksual juga memberikan edukasi.
Untuk mengajak generasi muda bersama dalam gerakan menghentikan kekerasan seksual, hingga Februari mendatang, The Body Shop® Indonesia menggelar seri webinar yang bekerja sama dengan perguruan tinggi di sejumlah daerah.
”Kami juga akan menggandeng 500.000 orang lewat pengumpulan petisi dan materi edukasi mengenai sex education yang mudah dipahami masyarakat awam, yang dapat diakses melalui #TBSFightForSisterhood,” ungkap Ratu Ommaya.