Kebiri Kimia Beri Efek Jera Pada Pelaku Kekerasan Seksual
Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani PP 70/2020 yang mengatur tentang kebiri kimia pemasangan alat pendeteksi elektronik bagi pelaku kekerasan seksual. Pengumuman PP ini mengundang pro dan kontra.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
ERIK UNTUK KOMPAS
Tiga orang pelaku pelecehan dan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur ditangkap aparat Polres Konawe, Sultra, seperti terlihat pada Rabu (30/12/2020). Perlindungan terhadap anak dan perempuan mendesak dilakukan di tengah tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi.
JAKARTA, KOMPAS – Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2o2o Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak, mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berharap PP tersebut akan memberikan efek jera bagi para pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul. Sebab, kasus kekerasan seksual merupakan kejahatan serius yang mengingkari hak asasi anak, menimbulkan trauma bagi korban dan keluarga, menghancurkan masa depan anak serta mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Kekerasan seksual terhadap anak harus mendapatkan penanganan secara luar biasa seperti melalui kebiri kimia karena para pelakunya telah merusak masa depan bangsa Indonesia.(Nahar)
“Kekerasan seksual terhadap anak harus mendapatkan penanganan secara luar biasa seperti melalui kebiri kimia karena para pelakunya telah merusak masa depan bangsa Indonesia,” ujar Nahar, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Senin (4/1/2020).
Apalagi, fenomena kasus kekerasan seksual semakin memprihatinkan. Berdasarkan Laporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada periode 1 Januari 2020 hingga 11 Desember 2020, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 5.640 kasus.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah terus mengupayakan agar anak-anak di Indonesia terlindungi dari setiap tindak kekerasan dan eksploitasi melalui sejumlah peraturan perundang-undangan. “Itu sebabnya kami menyambut gembira ditetapkannya PP Nomor 70 tahun 2020 ini yang diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku persetubuhan dan pelaku tindak pencabulan,” tegas Nahar.
PP Nomor 70 tahun 2020 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 7 Desember 2020 merupakan peraturan pelaksana dari amanat Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sejumlah tersangka kekerasan seksual terhadap anak ditampilkan dalam konferensi pers di Cirebon, Senin (16/11/2020), di Mapolresta Cirebon. Kasus kekerasan seksual tersebut dilakukan oleh orang terdekat korban. Bahkan, seorang ayah tega menghamili anak kandungnya sendiri.
Pelaku persetubuhan dan percabulan
Dalam PP tersebut pelaku kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul. Sedangkan pelaku anak tidak dapat dikenakan tindakan kebiri kimia dan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Tindakan kebiri kimia yang disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku persetubuhan dan perbuatan cabul berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sementara itu, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku diberikan baik kepada pelaku persetubuhan maupun pelaku perbuatan cabul.
Tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Tindakan kebiri dilakukan dalam tiga tahap yakni penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan.
Pelaku baru dapat diberikan tindakan kebiri kimia apabila kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan layak dikenakan tindakan kebiri kimia. “Selain itu, pelaku tidak semata-mata disuntikkan kebiri kimia, namun harus disertai rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual berlebih pelaku dan agar perilaku penyimpangan seksual pelaku dapat dihilangkan,” papar Nahar.
Adapun rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku yang dikenakan tindakan kebiri kimia berupa rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik.
Secara teknis, tindakan kebiri kimia merupakan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku persetubuhan yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Tindakan kebiri kimia dikenakan apabila pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari satu orang korban, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Adapun pelaksanaan tindakan kebiri kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi di bidangnya atas perintah Jaksa. Pemasangan alat pendeteksi elektronik tujuannya agar pelaku tidak melarikan diri.
Kompas/Raditya Helabumi
Para pegiat hak-hak perempuan mengikuti aksi 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/11/2020). Aksi tersebut merupakan bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Banyak masalah
Sementara itu, terpisah, The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai selain ada beberapa aspek dalam PP tersebut tidak dijelaskan, PP tersebut juga memuat banyak permasalahan karena tidak memberikan keterangan yang rinci terkait mekanisme pengawasan, pelaksanaan, dan pendanaan.
“Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya,” ujar Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif ICJR dalam keterangan pers, Senin.
Menurut Erasmus, dalam PP tersebut tidak dijelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan, PP ini bahkan melempar ketentuan mengenai penilaian, kesimpulan dan pelaksanaan yang bersifat klinis pada aturan yang lebih rendah.
ICJR menilai bahwa hukuman kebiri kimia adalah aturan yang bersifat populis. Sebab, sampai saat ini komitmen pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung mundur.
“Sedari awal ICJR tekankan, mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tidak bisa berbasis hukuman seperti apa yang dimuat dalam UU 17/2016. Sampai detik ini, efektivitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti. Maka jelas pelaksanaannya yang melibatkan profesi yang harus melakukan tindakan berdasarkan kondisi klinis dan berbasis ilmiah akan bermasalah,” kata Erasmus.