Philofest ID 2020, Sebuah Awalan untuk Mencegah Kemerosotan Filsafat di Indonesia
Filsafat di Indonesia belum berkembang karena ekosistem yang memungkinkan filsafat berumur panjang dan berkelanjutan belum terbentuk.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Kegiatan filsafat masih berjalan secara sporadis dan sering kali para peminatnya tak saling terhubung satu sama lain. Padahal, filsafat bukanlah sesuatu yang soliter. Sebagaimana kesusastraan, filsafat pun butuh keterhubungan antara penulis, penerbit, dan yang tak kalah terpenting adalah pembaca.
Pandangan ini disampaikan oleh penulis filsafat sekaligus kritikus sastra Martin Surajaya pada hari pertama Philofest ID 2020, Senin (7/12/2020). Philofest ID 2020 merupakan festival filsafat terbesar di Indonesia yang diselenggarakan oleh komunitas filsafat, akademisi, penerbit, dan para penulis filsafat. Dalam helatan selama 7-13 Desember 2020, akan ada 65 paparan terkait problem filsafat di Indonesia.
Paparan Martin bertajuk ”Ekosistem Filsafat di Indonesia”. Berfilsafat, katanya, bukan soal merenung seorang diri di dalam kamar dan terpisah dari dunia luar. Filsafat adalah soal interaksi dengan sekitar dan menjaga keberlanjutan produksi, distribusi, dan konsumsi.
Pada tahun 2009, ketika masih berstatus mahasiswa S-1 filsafat, Martin merasakan betapa berat menjalin hubungan antar-pegiat filsafat. Kampus dengan pendidikan formal filsafat bergerak sendiri.
Komunitas filsafat yang berada di luar kampus pun demikian. Dia pernah diskusi bersama komunitas sendiri, menerbitkan buku sendiri, bahkan menjual buku terbitan sendiri. Dia menyimpulkan bahwa filsafat tak akan berkembang dan berumur panjang dengan metode itu.
Pada saat bersamaan, di sejumlah daerah, akses terhadap bacaan filsafat belum memadai. Kalaupun ada individu-individu yang meminati filsafat, tak banyak orang yang bisa diajak berdiskusi. Akibatnya, pertukaran gagasan menjadi sangat minim.
Di tingkat komunitas, minimnya pertukaran gagasan dengan komunitas lain membuat diskusi tak berkembang. Kekuatan gagasan di setiap komunitas tidak bisa diukur. Akhirnya, komunitas menjadi rabun jauh.
”Rabun jauh dalam artian, sesuatu hanya punya arti ketika didiskusikan dalam komunitas sendiri, di luar komunitas pasti jelek, pasti tidak bagus, semacam
chauvinisme yang konyol,” katanya.
Untuk itulah, lanjutnya, filsafat membutuhkan ekosistem. Filsafat butuh penulis yang tekun dan ulet dalam melakukan riset, baik di level individu maupun di perguruan tinggi. Di tingkat distribusi, harus ada penerbit yang konsisten menerbitkan atau menerjemahkan bacaan filsafat. Lalu di tingkat hilir, harus dipastikan ada pembaca yang akan mengonsumsi wacana filsafat. Ketiga aspek itu harus berjalan.
Untuk meyakinkan publik pembaca, filsafat harus punya asosiasi profesi yang menjaga kualitas terbitan buku ataupun artikel. Apabila perlu, adakan penghargaan tahunan bagi penulis filsafat atau simposium pembaca filsafat.
Ekosistem seperti di atas sudah berjalan di bidang kesusastraan. ”Terbukti, dibandingkan sastra, filsafat ketinggalan jauh. Ajang penghargaan tahunan sastra itu, selain untuk mempromosikan karya, juga akan memandu para pembaca untuk mendapat karya terbaik. Ini yang belum ada di filsafat. Oleh sebab itu, Philofest ID 2020 merupakan langkah awal untuk membentuk ekosistem filsafat,” ujarnya.
Philofest ID 2020 mengusung tema ”Dunia setelah Pandemi: Filsafat dari Masa Depan”. Acara dibuka oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid atau yang akrab disapa Fay.
Menurut Fay, pandemi Covid-19 ibarat game changer yang mengubah kondisi ekonomi, sosial-politik, bahkan gaya hidup. Dalam dunia yang berubah, sulit membayangkan seperti apa masa depan. Dalam ketidakpastian, orang sibuk mencari jawaban. Kalau perlu ada petunjuk pelaksanaan serta petunjuk teknis tentang masa depan.
Filsafat menawarkan hal lain. Alih-alih memberi jawaban, lanjutnya, filsafat mengajak orang untuk mengajukan pertanyaan yang tepat.
”Ada yang beranggapan bahwa filsafat merupakan kemewahan di masa krisis. Saya justru beranggapan sebaliknya, filsafat di masa krisis justru penting untuk memetakan dengan tepat di mana kita berada dan apa pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu dijawab sebelum mencari solusi. Kultur instan dan serba cepat untuk mendapatkan sesuatu dengan mudah harus mulai ditinggalkan,” katanya.
Lebih filosofis
Pendiri Inovator 4.0, Budiman Sudjatmiko, dalam paparan ”Keahlian Vs Kebijaksanaan, Pentingnya Filsafat di Era 4.0”, menjelaskan, manusia harus menjadi lebih filosofis dalam banyak hal ketika mesin cerdas dengan kecerdasan buatan mulai ditemukan. Berbeda dengan mesin uap di zaman revolusi industri, mesin cerdas bisa menjalankan banyak fungsi.
Semakin lama digunakan, mesin cerdas akan semakin bagus dan berkembang karena menyerap dan belajar dari data, bukannya malah kian rusak seperti mesin dengan teknologi awal. Dalam temuan mutakhir itu, kerja fisik manusia perlahan tetapi pasti digantikan oleh mesin. Lalu, manusia akan jadi apa? ”Menjadi manusia paripurna dengan memiliki cinta, cita-cita, dan daya cipta,” ujarnya.
Filsafat, kata Budiman, terdiri atas empat kuadran. Kuadran pertama adalah mengetahui apa yang diketahui. Ini disebut kebiasaan. Kedua, mengetahui apa yang tidak diketahui atau imajinasi. Dengan disokong oleh sains, imajinasi akan menjadi pengetahuan. Ketiga, tak mengetahui apa yang diketahui, disebut hasrat atau impian. Kuadran terakhir adalah tak mengetahui apa yang tak diketahui. Bagian ini disebut spiritualitas.
”Sejak ribuan tahun kita selalu berdebat tentang Tuhan. Ini bukti ketidaktahuan, tetapi kita meyakini ada sesuatu yang mengatur hidup kita. Itu disebut spiritualitas,” ujarnya.
Manusia paripurna, lanjutnya, tidak berhenti di satu kuadran saja. Ia melalui setiap kuadran. Seorang saintis yang hanya fokus kepada pengetahuan, misalnya, bisa berubah menjadi teroris. Itu karena ia tak memiliki dimensi lain, seperti memiliki empati karena memahami kebiasaan masyarakatnya. Bahkan, seorang pemimpin akan menghalalkan segala cara jika hanya mengutamakan hasrat terhadap kekuasaan.