Rencana pembelajaran tatap muka yang santer digaungkan mulai 1 Januari 2021 perlu kesiapan protokol kesehatan semua eleman pelaksana pendidikan, tak terkecuali anak.
Oleh
Mediana
·6 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Murid-murid SDIT Nurul Amal, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, mengikuti kegiatan belajar mengajar secara tatap muka, Kamis (12/11/2020). Kegiatan belajar mengajar secara luring ini telah dilakukan sejak Agustus 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan kesepakatan dari orangtua murid.
JAKARTA, KOMPAS — Satuan pendidikan tidak perlu terburu-buru memutuskan menyelenggarakan pembelajaran tatap muka di sekolah mulai 1 Januari 2021. Kesiapan anak, keluarga, sekolah, sarana prasarana protokol kesehatan, dan pemerintah daerah harus terpenuhi secara bersamaan terlebih dulu.
Hal itu mengemuka dalam rapat koordinasi nasional (Rakornas) ”Hasil Pengawasan Penyiapan Pembelajaran Tatap Muka di Masa Pandemi”, Senin (30/11/2020), di Jakarta. Rakornas ini diselenggarakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan dihadiri beberapa kementerian/lembaga, di antaranya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Komisi X DPR.
Sebelumnya, pada 20 November 2020, pemerintah mengeluarkan Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/ 2021 di Masa Pandemi Covid-19. Panduan ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri. Peta zonasi penyebaran Covid-19 yang dalam dua SKB empat menteri sebelumnya menjadi acuan pembukaan pembelajaran tatap muka di sekolah tidak lagi berlaku. Kini pemerintah daerah (pemda) diberi kewenangan dalam pemberian izin pembelajaran tatap muka mulai 1 Januari 2021. Ini karena pemda dianggap paling mengetahui dan memahami kondisi, kebutuhan, dan kapasitas daerahnya.
Dalam panduan itu, pembelajaran tatap muka dapat dilakukan dengan dimulai dari pemberian izin oleh pemerintah daerah/kantor wilayah/kantor Kementerian Agama yang kemudian dilanjutkan dengan izin berjenjang dari satuan pendidikan dan orangtua.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menilai kebijakan itu diambil di tengah situasi sulit. Di satu sisi, pembelajaran yang terjadi karena kondisi darurat Covid-19 menyebabkan penurunan kualitas anak. Di sisi lain, satuan pendidikan dihadapkan pada tuntutan memenuhi sarana prasarana protokol kesehatan Covid-19. Dana yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut besar dan diperkirakan kemampuan sekolah terbatas.
”Semua pihak tidak perlu saling menyalahkan. Siswa, keluarga, sekolah, ataupun pemerintah daerah tidak perlu tergesa-gesa memutuskan pembelajaran tatap muka. Jika dimungkinkan, saya berharap pemerintah pusat membantu pendanaan pemenuhan sarana prasarana protokol kesehatan di luar anggaran bantuan operasional dan kuota data internet,” ujarnya.
Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bidang Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin menyampaikan, pihaknya merekomendasikan pembelajaran tatap muka boleh dilakukan dengan syarat utama kasus Covid-19 menurun lebih dari dua minggu. Selanjutnya semua ekosistem pendidikan bersama-sama memastikan ”lima siap”, yaitu anak siap, keluarga siap, satuan pendidikan siap, infrastruktur protokol kesehatan siap, dan pemerintah daerah siap.
Jika salah satu di antaranya belum siap, pembelajaran tatap muka jangan diselenggarakan. (Lenny N Rosalin)
”Jika salah satu di antaranya belum siap, pembelajaran tatap muka jangan diselenggarakan,” ujarnya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Guru memberikan pelindung muka kepada pelajar kelas I sebelum kegiatan tatap muka di sekolah mereka di SD Negeri 2 Tlogolele, Desa Tlogolele, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (16/11/2020). Sekolah yang berada dalam radius 5 kilometer dari puncak Gunung Merapi itu menggelar kegiatan tatap muka selama satu jam per hari dengan diikuti sebagian murid secara bergiliran untuk sarana pembagian dan pengumpulan tugas sekolah.
Tatanan baru
Sesuai survei ”Opini tentang Normal Baru dan Kebijakan Dibukanya Sekolah” yang dilakukan kementerian pada Juli 2020, 93 persen anak memahami arti dan makna dari tatanan kehidupan normal baru. Sebanyak 88 persen anak memahami protokol kesehatan secara utuh. Tiga dari empat orang anak telah mengetahui rencana pemerintah untuk membuka kembali sekolah suatu hari nanti. Sebagian besar anak menyetujui rencana itu.
”Sebanyak 72 persen anak menjawab orangtua atau wali mereka setuju jika harus memulai kembali aktivitas di sekolah dengan tatanan normal baru,” kata Lenny.
Lenny menyampaikan agar semua pemangku kepentingan di ekosistem pendidikan mengantisipasi kemunculan kluster keluarga dan sekolah dengan kesiapan protokol kesehatan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 akan mengeluarkan protokol kesehatan untuk keluarga. Komite sekolah juga perlu bergotong-royong mengusahakan infrastruktur SOP AKB (Prosedur Standar Operasi Adaptasi Kebiasaan Baru) terpenuhi tanpa menunggu dari pemerintah.
Berdasarkan hasil pengawasan KPAI kepada 49 satuan pendidikan jenjang sekolah dasar sampai menengah di 21 kabupaten/kota di 8 provinsi, 100 persen sekolah menambah wastafel meskipun sebagian sekolah belum memenuhi rasio dengan jumlah peserta didik. Seluruh sekolah yang disurvei mempunyai alat ukur suhu tubuh tembak meski jumlahnya belum sesuai rasio siswa. Semua sekolah menetapkan wajib masker, tetapi tak dipraktikkan dengan optimal.
Dilihat dari sisi sarana prasarana protokol kesehatan lainnya, hanya 14,28 persen sekolah yang disurvei menyiapkan cairan antiseptik semprot. Baru 8,16 persen sekolah menyediakan ruang isolasi sementara. Hanya 40,81 persen sekolah telah memasang tanda jaga jarak untuk setiap ruangan yang akan dipakai beraktivitas siswa atau guru. Baru 8,16 persen sekolah dari total yang disurvei telah melakukan pemetaan warga sekolah yang mempunyai komorbid.
Lalu, hanya 4,08 persen sekolah dari total yang disurvei menjalankan tes cepat Covid-19 bagi seluruh guru, karyawan, dan siswa yang akan melakukan pembelajaran tatap muka. Pemerintah daerah membiayai tes itu.
Mengenai SOP AKB, hasil survei KPAI menemukan baru 4,08 persen satuan pendidikan menempel SOP AKB di lingkungan sekolah. Baru 20,40 persen sosialisasi SOP AKB kepada orangtua dan siswa.
Berdasarkan temuan tersebut, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, berpendapat, pemerintah harus memetakan kesiapan satuan pendidikan menjadi beberapa kategori, antara lain, ”sangat siap”, ”cukup siap”, dan ”belum siap”. Pemetaan seperti ini akan memudahkan memitigasi risiko.
”Jika semua kesiapan telah dilakukan, praktik pembelajaran tatap muka di sekolah dapat dimulai dari jenjang paling atas baru paling rendah. Jadi, pembelajaran tatap muka di jenjang pendidikan anak usia dini paling akhir dilakukan. Mereka harus mencontoh terlebih dulu anak yang usianya lebih tua,” saran Retno.
Berdasarkan temuan Kemendikbud per 18 November 2020 kepada 151.696 satuan pendidikan, 13 persen dari sekolah tersebut menjalankan pembelajaran tatap muka dan 87 persen sisanya menerapkan belajar dari rumah.
Jika dirinci sesuai zona penyebaran Covid-19, sebanyak 75 persen sekolah di zona hijau menjalankan pembelajaran tatap muka dan 25 persen sekolah menerapkan belajar dari rumah. Sebanyak 20 persen sekolah di zona kuning telah menerapkan pembelajaran tatap muka dan 80 persen lainnya belajar dari rumah.
Sebanyak 12 persen sekolah di zona oranye Covid-19 telah melangsungkan pembelajaran tatap muka dan 88 persen menerapkan belajar dari rumah. Sebanyak 8 persen sekolah di zona merah Covid-19 telah menyelenggarakan pembelajaran tatap muka dan 92 persen belajar dari rumah.
Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Jumeri mengatakan, SKB empat menteri yang dikeluarkan 20 November 2020 bukan untuk melegitimasi pembukaan kembali sekolah di zona oranye dan merah Covid-19. SKB empat menteri itu harus dimaknai bahwa pemerintah menyadari dampak buruk pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berkepanjangan, seperti disparitas kualitas pendidikan dan hambatan tumbuh kembang anak yang semakin tinggi.
Menurut dia, SKB empat menteri terbaru telah menyertakan secara lengkap daftar periksa dan kesiapan yang wajib dipenuhi sebelum pembelajaran tatap muka dijalankan. Berbagai faktor risiko yang jadi pertimbangan pun ikut disertakan, seperti mobilitas warga sekolah dan kondisi geografis daerah.
”Kami akan menggunakan waktu sebulan ini untuk menggelar diklat sarana prasarana protokol kesehatan yang harus disiapkan satuan pendidikan. Diklat diperuntukkan dinas. Bentuknya bukan konferensi video, tetapi langsung sehingga mereka benar-benar paham,” kata Jumeri.
Dia menambahkan, Kemendikbud berkomitmen meminta dinas-dinas membantu pengawasan pelaksanaan protokol kesehatan sekolah. Laporannya harus ada secara periodik.